Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 14

TARA menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruang keluarga tepat di samping Papa dan Mamanya yang sedang asyik menonton tayangan film yang tengah terputar di channel HBO.

Danu—Papa Tara—yang tengah mengunyah kacang goreng khas bali sebagai cemilannya nonton tv menoleh ke arah anaknya yang sudah siap dengan pakaian untuk jalan-jalannya tersebut. "Lho, Tar, kok kamu belum jalan? Katanya mau pergi jam tujuh, ini kan udah jam delapan?" tanya sang Papa sambil melirik jam dinding yang terpajang di dinding.

Arinda—Mama Tara—ikut melirik ke arah anaknya begitu mendengar ucapan suaminya. "Iya Tar, mana temen kamu? Kalo jam segini belum jalan nanti pulangnya kemaleman, lho!"

Tara semakin menekuk wajahnya yang memang agak kusut sejak pesan Alvan yang mengabarkan kalau mereka batal pergi masuk ke ponselnya dan sekarang ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan orang tuanya yang seolah sengaja meledeknya. "Gak jadi jalan," jawabnya datar.

"Lah?" Danu menghentikan gerakan tangannya yang sudah menggenggam kacang dan meletakkannya kembali ke dalam toples. Sepertinya dia lebih tertarik mengobrol dengan Tara daripada memakan cemilan kesukaannya. "Kenapa gak jadi? Temen kamu batalin?" tanyanya penasaran.

Tara mengangguk. "Dia kejebak macet," jawabnya tanpa menoleh ke arah Danu dan memilih menatap kelayar televisi—bukan untuk menonton film yang terputar melainkan hanya untuk mengalihkan dirinya dari tatapan sang Papa. Tara tidak mau memperlihatkan kekecewaannya karena batal jalan dengan Alvan. Tara juga tidak mengerti kenapa dia merasa kecewa, sepertinya bukan karena gagalnya rencana dia dan Alvan untuk pergi, tapi mungkin karena Tara tau saat ini Alvan pasti sedang berada di jalan bersama Alea.

Craps, she got jealous.

"Emangnya temen kamu—siapa namanya Papa lupa?" tanya Danu yang langsung dijawab oleh Tara dengan singkat, "Alvan."

"Nah iya Alvan, emang si Alvan rumahnya di mana kok bisa kena macet?"

"Rumahnya di Kebayoran Baru. Pa, Ma aku ganti baju dulu ya?" ujar Tara sebelum Papanya kembali bertanya-tanya soal Alvan dan membuatnya memikirkan Alvan yang pasti sekarang masih bersama Alea dan menimbulkan percikan cemburu itu kembali muncul.

Bagaimana bisa dia suka pada Alvan dalam waktu sesingkat ini? Bahkan Tara tidak menyadari sejak kapan ia mulai menaruh rasa kepada Alvan, yang ia tau ia hanya merasa nyaman setiap mengobrol dan bersama dengan Alvan. Banyaknya perbedaan di antara mereka justru menjadi magnet penyatu yang membuat selalu ada topik diantara mereka. Terlebih lagi Alvan juga humoris dan sangat menyenangkan, membuat Tara selalu merasa enjoy bersamanya. Dan tau-tau, Tara sudah menyukai Alvan.

Tapi kenapa harus saat Alvan juga sedang dekat dengan gadis lain?

Tara kemudian memilih menyelesaikan membaca novelnya yang baru ia baca sampai halaman dua puluh. Kebiasaan Tara yang langsung hanyut ke dalam cerita jika novel atau buku yang ia baca memiliki penulisan yang bagus dan jalan cerita menarik membuat Tara tidak sadar sudah menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam membaca novelnya, Tara baru sadar saat ia mendengar pintu kamarnya dibuka secara kasar oleh siapa lagi kalau bukan Dimas.

"Lah anjir, udah pulang lo kak?" tanya Dimas yang baru pulang dari kencannya dengan Savira terkejut menemukan Tara sudah berada di rumah padahal baru jam sembilan malam padahal Tara izin untuk pergi bersama Alvan jam tujuh. Masa iya jalannya hanya dua jam? Dia saja yang pergi dari jam tiga sore tadi baru pulang sekarang.

Tara yang sudah hampir lupa dengan gagalnya rencana jalan dengan Alvan kini kembali cemberut karena Dimas dengan sangat tidak tau dosa kembali mengingatkannya. "Sana gak, lo!" usirnya sambil mengangkat novelnya—bersikap seolah akan melempar buku tebal itu ke arah Dimas yang tentu saja Dimas yakini tidak akan dilakukan karena Tara terlalu menyayanginya.

Terlalu menyayangi novelnya, maksud Dimas.

"Yeee dasar nenek, galak amat!" seru Dimas sambil menutup pintu kamar Tara sebelum kakaknya itu mengamuk dan ketika pintu ditutup Dimas bisa mendengar jeritan Tara dari dalam memaki-makinya.

***

Alvan S Permana: Ra, gue lupa gang rumah lo masaa ini dari TCS kemana lagi yak?

Tara Andini: Send location

Tara Andini: lurus terus sampe lampu merah terus belok kiri, nanti lo lewatin taman buat jogging track gitu terus ada pertigaan belok kanan lurus terus aja darisitu pasti lo inget gang rumah gue

Alvan S Permana: Wuih lebih canggih nih daripada gps wkwk, oke be there soon!

Tara segera beranjak dari tempat tidurnya ketika mendapatkan balasan dari Alvan. Dengan segera Tara merapikan rambutnya yang ditata ponytail, Tara bahkan mengintip sebentar ke cermin di kamarnya untuk memastikan t-shirt yang dikenakannya tidak kusut. Tadinya Tara sempat berfikir untuk kembali ganti baju dengan pakaian yang lebih rapi, tapi Tara tentu saja gengsi untuk terlihat 'terlalu' bersiap-siap demi hanya bertemu Alvan, maka Tara memilih tetap mengenakan t-shirt kebesarannya dan celana denim selututnya.

Sesampainya di pintu depan Tara mendengar bunyi mesin motor yang dimatikan dan entah kenapa Tara tersenyum lebar saat itu juga. Apalagi saat pintu pagarnya dibuka Tara bahkan berlarian dari pintu ke pagar untuk menyambut Alvan.

"Cie gak nyas—Gio?"

Gio yang tidak menduga akan mendapat sambutan Tara juga terkejut sama seperti Tara yang tidak menduga kalau yang datang bukanlah Alvan tetapi Gio.

"Tara? Cie, lo nungguin gue?" tanya Gio semangat saat dia sudah tersadar dari keterkejutannya.

Tara yang juga sudah tersadar dari keterkejutannya langsung mendengus."Lo mau ngapain sih malem-malem kesini?" tanya Tara ketus. Sepertinya dirinya memang sudah tersetting untuk selalu ketus kepada Gio.

"Kangen sama lo lah! Hehe." Dan sepertinya juga Gio memang sudah tersetting untuk kebal dengan segala sikap ketus Tara.

Gio langsung mengangkat kedua tangannya tanda menyerah saat Tara mendorongnya keluar. "Wowowo, iya Tar bercanda kok, gue mau nginep karna diajakin Dimas!" ucapnya lagi membuat Tara menghentikan aksinya mendorong tubuh Gio yang lebih tinggi darinya keluar dari pagar rumahnya.

"Mungil-mungil tenaga lo boleh juga ya—eh iya Tar, iya ampun!" pinta Gio saat melihat Tara sudah siap akan mendorongnya lagi.

Tara mendengus lalu berbalik dan meninggalkan Gio masuk ke dalam rumah. "Tutup lagi pagernya, gak usah dikunci entar mau ada temen gue!"

Perintah Tara sebelum cewek itu menghilang dibalik pintu rumahnya.

"Siap, bos!" jawab Gio sambil memberi sikap hormat kepada Tara sampai cewek itu masuk kembali ke dalam rumah.

Gio tersenyum, lalu masih dengan senyum simpulnya Gio membuka pagar lebih lebar agar bisa memasukkan motornya ke dalam rumah Tara. Setelah berhasil memarkir motornya, Gio baru akan menarik kembali pagar yang tadi dibukanya namun kegiatannya terhenti saat sebuah mobil terparkir di depan rumah Tara dan tidak lama seorang cowok yang umurnya terlihat tidak jauh darinya turun dari mobil.

"Assalamualaikum, Tara nya ada?"tanyanya sopan.

Gio mengernyit, lalu teringat kata-kata Tara barusan soal temannya yang mau datang. Semula Gio kira teman yang Tara maksud adalah perempuan, karena selama Gio mengenal Tara, Tara tidak pernah punya teman dekat laki-laki yang cukup dekat sampai main ke rumahnya. Mungkin pernah, tetapi jelas itu siang hari dan untuk urusan tugas, bukan main—atau bisa dibilang ngapel di malam minggu seperti sekarang. Mana ada tugas dikerjakan jam setengah sepuluh malam begini?

"Siapa, ya?" tanya Gio penuh selidik.

"Alvan," ucap Alvan sambil menyodorkan lengannya mengajak berkenalan yang disambut Gio. "Giovani," ucapnya sambil menjabat Alvan.

Alvan sebenarnya juga penasaran siapa cowok di depannya ini, tetapi melihat bagaimana cowok ini masuk ke rumah Tara tanpa rasa canggung sepertinya cowok ini memang sudah sering ke rumah Tara. Alvan berspekulasi bahwa cowok ini mungkin saja saudara Tara atau temannya Dimas.

"Ada urusan apa sama cewek gue?" tanya Gio lagi setelah melepas jabatan tangannya.

Alvan merasa dunianya berhenti berputar. Rasanya hampir mirip seperti waktu dulu mengira Tara dan Dimas berpacaran, tetapi kali ini lebih terasa menusuk karena ini bukan lagi merupakan perkiraan semata namun adalah fakta. Menurutnya. "Hah?"

Gio melirik sekilas ke arah pintu rumah Tara yang terbuka, berharap supaya Tara tidak muncul saat ini. Entah kenapa Gio merasa kalau cowok yang ada di hadapannya sekarang merupakan saingannya untuk mendapatkan Tara, maka Gio harus menembakkan amunisinya sekarang juga sebelum pria ini mendahuluinya.

"Oh, e—enggak sih gue Cuma udah janji aja mau ketemu Tara," jawab Alvan kikuk. Tiba-tiba perasaan tidak enak melandanya. Dia merasa kurang ajar sekali karena sudah berani mendekati perempuan yang sudah punya pacar. Bahkan Alvan jatuh cinta padanya.

"Gue baru liat lo, lo temen sekelasnya?" tanya Gio menyelidik.

Alvan mengangguk. "Iya dan lo beneran cowoknya?" tanya Alvan yang sepertinya merupakan pertanyaan yang keluar tanpa disadarinya.

Gio jelas langsung tau kalau Alvan ini memang naksir pada Tara.

"Menurut lo?" tanyanya sambil bersedekap.

Alvan lalu menggaruk kepalanya canggung. "Oh, oke kalo gitu gue titip ini aja deh, titip salam juga buat Tara."

Gio mengangguk sambil menerima plastik berisi dua cup minuman berlogo starbucks. "Ok, ada lagi?" tanya Gio yang dijawab Alvan dengan gelengan.

"Ok, gue balik duluan ya Yo," ucap Alvan pamit yang hanya dijawab Gio dengan anggukan.

Gio memandangi Alvan yang berjalan kembali ke mobilnya sampai cowok itu melajukan mobilnya menjauh dari rumah Tara. Gio melirik plastik di tangannya dan membawa benda itu masuk setelah mengunci pagar rumah Tara.

Gio melihat Tara sedang duduk di ruang keluarga tepat di sofa di depan tv sambil memeluk lututnya sendiri. Tatapan Tara fokus ke tv namun sekali-sekali Tara melirik ke arah ponselnya. She seems looking for someone.

"Tar, starbucks nih," ujar Gio sambil melangkah mendekati Tara.

Tara mendongak dan melirik bawaan Gio. "No thanks, temen gue nanti bawa juga kok."

"Temen siapa sih dateng jam segini?" tanya Gio berusaha menutupi nada jengkelnya.

Tara memutar bola matanya. "Gak ngaca, lo juga baru dateng ya."

Gio terkekeh, "bosen ah ngaca, katanya gue ganteng."

"Bodo amat, keatas sana gih!" usir Tara yang akhirnya dituruti oleh cowok yang baru berusia lima belas tahun tersebut.

Selepas kepergian Gio, Tara kembali berjalan ke pintu dan memilih untuk duduk di kursi kayu yang berada di teras rumahnya untuk menunggu Alvan. Jarak rumah Tara dan tempat tadi Alvan berada tidak terlalu jauh kok, apa Alvan nyasari lagi, ya?

Tara lalu mengetikkan pesan untuk Alvan karena khawatir cowok itu kesasar.

Tara Andini: Van, lo dimana?

Sekitar sepuluh menit kemudian pesan Tara dibaca.

Alvan S Permana: di rumah

Tara mengernyit. Hah? Bukannya tadi Alvan akan ke rumahnya?

Tara Andini: oh, gak jadi ke rumah gue Van?

Alvan S Permana: Cuma lewat doang tadi, sori ya, udah kemaleman gak enak

Alvan S Permana: ra gue tidur duluan ya, ngantuk

Tara Andini: oh..ok night

***

Bu Hasanah—guru Bahasa Indonesia menutup pelajaran lebih cepat. Tapi bukan karena Bu Hasanah akan keluar kelas lebih cepat melainkan beliau yang ingin menjelaskan soal tugas yang akan diberikan.

"Oke, sekarang ibu akan kasih tugas kelompok untuk kalian. Satu kelompok terdiri dari tiga orang, buat kelompoknya sama yang duduk di depan atau belakangnya aja ya, intinya sekelompok anggotanya tiga orang."

Anak-anak langsung ribut saat Bu Hasanah selesai bicara, mereka mulai berdiskusi untuk memutuskan kelompok namun suara ribut anak-anak langsung terhenti saat bu Hasanah memukul meja guru dengan penghapus papan tulis dan kemudian berkata, "nah tugasnya itu adalah membuat film dokumentar tentang profesi seseorang dari kalangan menengah ke bawah. Ibu kasih waktu dua minggu ya untuk proses syuting sampai editinya, intinya kalian harus mengikuti kegiatan orang tersebut mulai dari berangkat kerja sampai pulang lagi," jelas Ibu Hasanah panjang lebar.

Anak-anak mendengarkan setiap penjelasan Bu Hasanah sampai akhirnya suara bel pulang berdering lalu Bu Hasanah keluar kelas. Beberapa murid melanjutkan diskusi mereka tentang kelompok bahasa Indonesia untuk pembuatan tugas dokumentar tetapi ada juga yang nampak tidak perduli dan memilih pulang.

Echa yang duduk di samping Tara langsung meremas lengan teman sebangkunya itu, diikuti dengan Fara dan Dewi yang duduk di depan mereka yang menatap ke arah Tara.

Tara menatap ketiga temannya itu dengan kernyitan. "Kenapa lo pada?" tanyanya sambil memasukkan buku-bukunya ke tas.

"Tar, lo sekelompok sama Alvan sama Fadhil ya...biar gue yang sekelompok Fara sama Dewi," pinta Echa sambil berbisik dan sedikit melirik ke arah kursi di belakangnya yang ditempati Fadhil dan Alvan yang juga sedang berbincang. Karena posisi meja Tara dan Echa yang ada di barisan kedua, mau tidak mau dia dan Echa harus dipencar ke kelompok yang ada di depan dan belakang mejanya.

Tara teringat kalau sejak Sabtu kemarin dia dan Alvan belum berbicara lagi, oke lebih tepatnya karena Alvan yang berubah jadi lebih cuek dan Tara yang juga tidak ingin mencoba bicara duluan dengan Alvan karena sadar jika Alvan sedang membangun jarak di antara mereka dan Tara tidak ingin bersikap annoying.

"Gak ah, yang adil kita suit aja!" tawar Tara yang kemudian diprotes oleh Echa.

"Ih gak ah, sumpah deh Tar, lo kan udah akrab tuh sama mereka berdua, apalagi sama Alvan. Kalau gue kan gak terlalu deket jadi gak enak!" pinta Echa memelas.

Tara menatap Fara dan Dewi yang memasang ekspresi setuju dengan Echa. "Iya tuh, Tar, kalo lo kan udah akrab sama mereka, kasian kalo Echa yang gabung sama mereka pasti canggung banget!"

Tara baru akan protes saat mendengar suara Fadhil memanggil namanya. Dan mau tidak mau Tara menoleh ke arah Fadhil dan juga Alvan.

Tapi tentu saja Tara mencoba sebisa mungkin untuk tidak bertukar tatap dengan Alvan dan sepertinya cowok itu juga melakukan hal yang sama.

"Kenapa, Dhil?" tanya Tara.

"Lo sekelompok sama kita?" tanya Fadhil to the point.

"Hah?" Tara mengerjap bingung. Ini Fadhil bukan lagi sekedar menawarkan tapi lebih cocok dibilang memutuskan kalau Tara sekelompok dengannya. "Eh..."

"Iya, Tara sekelompok sama lo ama Alvan katanya!" sahut Echa yang langsung membuat Tara melotot ke arahnya. Pintar sekali Echa ini mencari celah.

"Okay, kebetulan rumah kita searah dan Alvan juga deket sama rumah kakeknya, ya kan Van?" tanya Fadhil yang hanya dijawab Tara dengan deheman.

"Yaudah nanti kita omongin lewat grup chat aja nanti gue bikin," kata Fadhil yang langsung diangguki Tara serta Alvan.

"Kalian berdua mau bimbel kan?" dan pertanyaan Fadhil membuat Tara dan Alvan secara tidak sengaja bertukar pandang. Dan entah kenapa rasanya canggung sekali.

"Iya," jawab mereka hampir bersamaan.

***

a/n: maaf ya dari kemaren lama banget dan baru sempet update sekarang pun ceritanya makin bertele-tele tapi emang niat gue bikin cerita Alvan sama Tara itu banyak halangan buat bersatunya pokoknya biar mereka ngejalanin hubungan 'some' dulu wkwkwk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro