Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10

Alvan cemberut. Sepulang sekolah tadi ia sengaja kabur ke rumah Opa untuk menghindari Mama. Semua itu karena Mama memaksa Alvan untuk masuk lembaga bimbingan belajar persiapan Ujian Nasional yang juga disambung dengan persiapan SBMPTN. Tapi memang dasar Alvannya pemalas, ia merengek kepada Adri agar dimasukkan les setelah semester 2 saja, dengan dalih Alvan masih sanggup belajar sendiri dan dia masih butuh kebebasannya selama 6 bulan.

Namun dunia bahkan semesta pun tau, meskipun di keluarga Alvan sosok kepala keluarga diduduki oleh ayahnya, alias Ruliano, kendali terkuat tetap berada di tangan Mamanya, yaitu Adrianni, selaku istri dari sang kepala keluarga.

Ibaratnya, meskipun Raja yang berkuasa tetapi tanpa persetujuan Ratu, titah sang raja tentu hanya akan menjadi sebuah perintah tak terlaksana.

Ok, mungkin penggambaran seputar kuasa Ny. Adrianni di mata Alvan terlalu berlebihan. Intinya, meskipun Alvan sudah merengek dengan berjuta alasan mulai dari yang diselipi pujian sampai rajukan semua tidak sanggup mengubah keputusan Adri untuk tetap memasukkan Alvan ke lembaga bimbingan belajar hari itu juga. Dan satu-satunya cara bagi Alvan selain menolak adalah memperlambat rencana sang Mama. Maka Alvan memutar otak dan terlintas di benaknya untuk kabur.

Tapi sepertinya pemikiran dangkal Alvan dengan sangat mudah terbaca oleh Mamanya. Atau memang Tuhan sudah merencanakan berpihak kepada sang Mama? Entahlah Alvan juga tidak tau.

Yang pasti, saat menemukan Mama sedang duduk di ruang keluarga rumah Opa yang menjadi tempat tujuan Alvan kabur bersama Oma Vera dengan masing-masing secangkir teh , yang bisa Alvan lakukan hanyalah menghela nafas pasrah.

Dan saat ini, Alvan hanya bisa cenberut selagi sang Mama fokus dengan mobil yang dikendarainya.

"Van, kamu boros amat sih nafasnya daritadi ampe berisik gitu, terus lagi itu bibir manyun amat, hati-hati entar jatoh!" Ledek Adri pada putra sulungnya tersebut yang sejak tadi mengeluarkan suara dengusan dengan bibir tertekuk sempurna.

Meskipun Adri sedang sibuk menyetir, tetapi bukan berarti dia tidak bisa menangkap perilaku anak laki-lakinya itu.

Alvan yang biasanya selalu menolak disetiri sang Mama semenjak sudah bisa menyetir sendiri kini bahkan tidak perduli sama sekali jika ia duduk di kursi penumpang dan Adri yang justru menyetir, sengaja untuk mempertegas dirinya sedang dalam mode ngambek.

Begitu sang Mama sudah dengan sukses memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah yang menjadi tempat bimbingan belajar, Alvan rasanya ingin melekatkan tubuhnya saja di jok mobil.

"Maaaa... Please... Alvan belum mau les dulu! Baru juga seminggu masuk sekolah, Ma!" Pinta Alvan memelas.

Adri menatap Alvan, untuk sejenak, Adri merasa kasihan kepada anak sulungnya itu. Memang, Alvan sebenarnya tidak ada masalah sama sekali dalam bidang akademik. Meskipun tidak bisa dikatakan 'sangat' pintar, Adri sudah cukup puas dengan Alvan yang selalu stay di peringkat 9 sejak kelas sepuluh. Dan fyi, peringkat itu merupakan peringkat yang cukup bagus untuk ukuran anak laki-laki. Bahkan banyak orang tua yang punya anak laki-laki sering berucap 'udah bisa naik kelas aja syukur,' di setiap pengambilan rapor.

Tapi semua orang tua kan hanya ingin yang terbaik untuk anak-anaknya.

"Yaudah, kita daftar aja dulu. Kamu masuknya mulai minggu depan juga gak apa-apa, yang penting udah daftar."

Rupanya melihat wajah merana Alvan cukup mengetuk hati Adri, maka wanita berusia 45 itu memutuskan untuk memberi diskon pada anak sulungnya.

"Serius, Ma? Ih Mama baik banget! Tapi mama lebih baik lagi kalo mulai lesnua pas awal semester 2 aj--"

"Alvan Septian Permana!"

"I--iya Ma, iya! Alvan bercanda!"

Selagi Adri sibuk mengisi formulir ini itu dan membahas soal pembayaran, Alvan malah sibuk dengan grup chat di ponselnya.

Alvan S Permana: gak kuat gua njir, masa baru juga masuk kelas 3 udah harus bimbel
Alvan S permana: mana nyokap gak bisa dibujuk
Alvan S Permana: RIP my freedom

Ariano Devandra: turut berduka cita van
Ariano Devandra: yaudahsi tapi kan demi masa depan lo juga van
Ariano Devandra: saik banget bahasa gue udah kayak Nino Teguh

Putrandi Wijaya: turut berduka cita van (2)
Putrandi Wijaya: paansi anjing sok iye, Nino Teguh wkwkwkk
Putrandi Wijaya: lagian van, lo liat si Haryo sama Fadhil dong, mereka aja bimbel dari kelas 10 kaga ngeluh

Ariano Devandra: lah Haryo mah bimbelnya dari masih TK kali

Alvan S Permana: demi apa anjir?

Putrandi Wijaya: mana ada bego van bimbel buat anak TK. Emang TK ada UNnya? Wkwkwk

Ariano Devandra: lah beneran anjir van, tra. Coba aja tanya orangnya kalo kaga percaya

Haryo Adji P: engga njir, hoax lo no!

Ariano Devandra: lah gue kira lo ikut bimbel yo
Ariano Devandra: bimbingan belajar dari bule inggris menjadi pria jawa tulen

Alvan S Permana: pengen ketawa, sumpah

Putrandi Wijaya: no lo abis makan kerupuk ya? Kriuk-kriuknya ampe kedengeran ke sini

Haryo Adji P: you're little fckin bastard

Alvan S Permana: bah, kang mas haryo,language please!

Ariano Devandra: yo gua screenshot mampus entar gue kirim line ke eyangti lo biar diomelin

Haryo Adji P: aduin aja bangsat. Gak lo, gak nanda sama aja lo semua tukang ngadu!
Haryo Adji P: im done with this shit

Haryo Adji P left

Alvan S Permana: lah, haryo knp?

Putrandi Wijaya: mampus haryo baper ke nino

Ariano Devandra: lah anjing biasanya jg gitu kaga kenapa2

Fadhilah Akbar: berarti dia lagi ada masalah. Diemin aja entar juga baik sendiri
Fadhilah Akbar: btw emang lo masuk bimbel dimana Van?

Alvan S Permana: BTA

Alvan baru akan mengetikan balasan tambahan lagi namun panggilan Mama membuat Alvan mengurungkan niat dan dengan segera memenuhi panggilannya.

"Iya, Ma?"

"Kita nunggu Mou dulu ya sebentar," ucap Adri saat Alvan sudah berdiri di sampingnya.

Alvan mengernyit. "Hah? Ngapain Mou kesini? Mau didaftarin bimbel juga?"

Adri memutar bola matanya. "Ya enggaklah, Van. Mou kan baru kela 2 SD! Ini loh tadi kan Mou diajak pergi sama Dita dan Mamanya, nah kebetulan rumah Dita ini emang lewat sini jadi daripada Dita dan Mamanya harus muter jauh buat nganter Mou ke rumah kita mending ke sini aja."

Alvan hanya mengangguk mengiyakan. Yang penting dia tidak langsung masuk les hari ini juga.

"Eh iya, mamaku sayang laper ga?" Tanya Alvan sok perhatian. Padahal sebenarnya Alvan lah yang merasa lapar.

"Iya nih, kamu mau cari makan?"

Alvan mengangguk bersemangat.

"Bu, di depan ada tukang sate padang enak dan murah bu, kali aja ibu sama masnya minat," ucap si petugas administrasi tempat bimbel tersebut, mungkin mendengar niat Adri dan Alvan yang mau mencari makan, bapak-bapak pegawai admin itu akhirnya memberikan rekomendasi.

"Serius, mas? Wah sate padang, Van, kesukaan mama!"

Alvan mendengus saat melihat mata Mamanya yang seketika berbinar-binar seperti anak kecil mendapat mainan hanya karena satu nama makanan.

"Yaudah mana duitnya sini aku beli," pinta Alvan sambil menengadahkan tangannya. Dan setelah menerima selembar uang lima puluh ribuan, Alvan langsung berjalan untuk membelikan makanan favorite mamanya tersebut.

***

Tara yang sedang menghindar dari asap hasil pembakaran sate pesanannya justru tanpa sengaja membuatnya menubruk sesuatu atau tepatnya seseorang.

Wajah Tara tepat sekali menubruk bagian tubuh seseorang yang Tara yakini adalah bagian dada dinilai dari teksturnya yang keras. Dengan canggung Tara mendongakan wajahnya dan dengan cepat-cepat memohon maaf. "So--sori... lho, Alvan?"

Orang dadanya ditubruk Tara yang tak lain dan tak bukan adalah Alvan melongo. "What the... Tara?!"

Alvan mengibas asap sate disekitarnya dan Tara untuk bisa memandang cewek itu lwbih jelas. "Lo ngapain? Wait! Jangan bilang lo bimbel disini juga?" Tanya Alvan dengan nada tidak percaya. Iya, Alvan tidak percaya. Even he knows Tara lives around here, he doesn't expect that he would met her today. Seolah memang Alvan ditakdirkan, tidak hanya harus bertemu Tara di kelas dan di dalam pikirannya, kini mereka bertemu di sini.

Dari penggunaan kata 'juga' dalam pertanyaan Alvan tentu Tara langsung dapat menyimpulkan kalau Alvan memang les di tempat yang sama dengannya. Ngapain juga dia disini kalau emang gak les disini? Batin Tara.

"Yup dan for your information Van, gue udah bimbel di sini dari kelas sebelas ya... Jadi harusnya yang ngajuin pertanyaan itu tuh gue," terang Tara. Tentunya hanya sekedar bercanda.

Alvan menggeleng tak habis fikir. Semenjak bertemu Tara pertama kalinya di UKS dan menjadi temannya, hidup Alvan selalu dipenuhi bayang-bayang gadis itu. Mulai dari wajah gadis itu yang sering menunjukkan ekspresi datar saat dia sedang bersama orang-orang yang tidak begitu dikenalnya, bagaimana semangatnya gadis itu membahas sesuatu yang disukainya, bagaimana gadis itu menyisihkan separuh bekalnya untuk diberikan pada Alvan, bagaimana cara gadis itu membalas chatnya sampai bagaimana suara gadis itu saat berbicara terngiang-ngiang di kepalanya bahkan saat Alvan tidak sedang ada di lingkup ruang yang sama dengannya.

Alvan pasti sudah gila. Alvan sebenanya sudah sadar perasaan apa yang ia rasakan terhadap Tara. Ketertarikan sebagai lawan jenis, sederhananya sih suka. Dan sepertinya rasa itu cukup kuat mengingat bagaimana Alvan bahkan memikirkan Tara saat sedang bersama Alea yang notabennya adalah gebetannya.

Dari sekian banyak tukang sate padang di Jakarta, dari 7 hari yang ada dalam seminggu dan dari 24 jam yang tersedia dalam sehari, entah kenapa takdir mempertemukan Alvan di tempat, hari dan waktu yang sama dengan Tara.

Dan Alvan yakin, pertemuannya kali ini dengan Tara bukan hanya sekedar ketidak sengajaan Tuhan. Alvan yakin, kalau Tuhan sudah punya rencana untuknya dan Tara. Entah apapun itu. Yang pasti, Alvan ingin berusaha. Berusaha mendapatkan Tara. Yah setidaknya.

Sebelum akhirnya kehadiran sesosok cowok yang Alvan pernah lihat sebelumnya membuat senyuman Alvan memudar sekaligus memadamkan keinginan Alvan untuk berusaha mendapatkan Tara.

"Dimas! Anjir lama banget lo hp gue keburu udah mati, nih!" Seru Tara pada sosok cowok yang sudah berdiri di samping Tara tersebut membuat Alvan refleks mundur selangkah memberi jarak.

Dimas menarik gemas pipi Tara karena gadis itu terus mendumel kecil sambil menyambar power bank yang dibawanya. Kalau bukan karena perasaan bersalah Dimas karena mengorbankan Tara demi menyewa motor Gio tadi, tentu Dimas akan balik marah-marah pada kakaknya tersebut. Maka gantinya ia melampiaskan rasa gemasnya pada cubitan. Namun Dimas tidak sadar bahwa tindakan yang 'terlihat' mesra itu berhasil menyebabkan segores luka di hati laki-laki yang berdiri tidak jauh darinya.

Merasa diperhatikan akhirnya Dimas menoleh ke arah Alvan, orang yang sejak tadi memandanginya. Dan hal itu mebuat Dimas berusaha mengingat-ingat wajah Alvan yang terasa tidak asing di matanya.

Sedangkan Tara yang sempat melupakan kehadiran Alvan karena langsung fokus kepada ponselnya yang mati total langsung menatap bingung ke arah Dimas dan Alvan yang sedang bertukar tatap saling menilai.

"Van, kenalin... Ini Dimas yang waktu itu pernah ketemu lo juga di mall," ucap Tara sambil menyentuh bahu Dimas, berusaha mengusir atmosfer aneh diantara mereka.

Alvan tersenyum sekilas. "Ya, waktu itu lo udah ngenalin kok, Ra."

Ra? Tatapan Dimas secara bergantian terlempar dari Tara ke Alvan. Sedekat apa hubungan kakaknya dan cowok ini? Sebagai sesama cowok, Dimas bisa melihat tatapan Alvan terhadap kakaknya itu berbeda. Sangat jelas.

"Sweet banget ya cowok lo Ra, bela-belain nganter powerbank ke sini...hehe."

Damn you mulut sialan. Nada bicara lo itu Van, kenapa kayak orang cemburu sih? Apa emang gue cemburu? Alvan menggeleng berusaha mengenyahkan pikirannya yang sedang mengejeknya.

Tara dan Dimas saling bertatapan dan detik berikutnya, baik Dimas dan Tara langsung terbahak. Dan di saat mereka tertawa bersamaan, semua orang akan langsung tau jika mereka adalah kakak adik, dilihat dari garis wajah mereka yang mirip saat sedang tertawa.

Oke, tapi kecuali satu orang dan orang itu adalah Alvan yang sudah terlanjur berspekulasi.

Tara menghentikan tawanya susah payah. "Sorry for ruining your expectation Van, tapi Dimas ini adik gue. Adik secara harfiah ya bukan adik-adikan yang ketemu gede or else, tapi bener-bener adik kandung. Sedarah."

Dan detik itu juga untuk pertama kalinya Alvan sangat ingin memeluk seorang laki-laki. Dan laki-laki itu adalah Dimas, hanya untuk sekedar mengucapkan terima kasih.

Terima kasih karena sudah terlahir dari rahim yang sama dengan Tara.

A/n: maafkan dengan alur super lambat ini but everything's start here karena Alvan yang udah tau dan mengakui perasaannya sendiri. Btw ada mama Adri nongol tuh wkwk. Dan niatnya malem ini mau double post,semoga bisa. So, vomments?;D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro