Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[ Dix - Stubborn Naren ]

Kamu boleh melangkah mundur,
sejauh apapun itu.
Aku yang akan melangkah maju,
memangkas jarak di antara kita.
~Narendra Rayyan Bhaskara

🎵 Honne - No song without you

❄️❄️❄️

"Saya menyukai kamu bahkan jauh sebelum kamu menyadari eksistensi saya di dunia ini."

Aeri masih terdiam setengah melamun mendengar ucapan Naren. Otaknya seolah menolak untuk memproses informasi yang baru saja diterimanya, pikirannya pun tiba-tiba saja kosong. Butuh keheningan yang mencekam selama beberapa menit, barulah Aeri bisa memahami maksud ucapan Naren. Ingatannya kembali pada cerita ibunya. Saat itu ibunya bercerita bahwa lelaki yang melamarnya tersebut sudah menyukai Aeri sejak lama. Persis seperti yang diucapkan Naren.

Oke, sekarang Aeri panik! Bagaimana bisa Naren yang baru dikenalnya sebulan lalu adalah orang yang menyukainya sejak lama. Kapan mereka bertemu? Kapan mereka kenal? Aeri mencoba menggali memorinya, tapi nihil. Aeri tidak pernah mengingat ada Naren mampir di kehidupannya.

"Ask me anything. Apapun yang ingin kamu ketahui," ucap Naren setelah sebelumnya berdeham. Dehaman yang mampu mengembalikan Aeri dari segala pemikirannya.

Aeri mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya agar tidak bereaksi berlebihan. "Bapak pernah kenal saya sebelumnya?" Suara Aeri terdengar lirih, seberapa besar pun usahanya untuk terlihat tenang, Aeri tidak bisa! Siapa yang bisa tenang setelah tahu ada seseorang yang menyukainya sejak lama, dan orang itu tidak ia kenal!

"Saya tahu kamu. Saya mengenal kamu. Sayangnya, hanya satu pihak. Saya nggak yakin, kamu mengingat saya."

Oke, Aeri semakin ngeri. Tangannya mulai bergetar. Sekuat tenaga Aeri mencoba mengendalikan rasa takut yang muncul di permukaan. Rasanya Aeri ingin menghilang saja saat ini. Meski mungkin seharusnya banyak yang ingin diketahuinya, tapi entah mengapa Aeri tidak ingin mendengar apapun cerita Naren tentang bagaimana lelaki itu bisa mengenal bahkan menyukainya.

"Baiklah." Aeri berdeham kecil –mencoba mengatasi suara yang terdengar bergetar– lalu kemudian memutuskan apa yang akan dikatakannya. "Saya menghargai perasaan Bapak. Tapi mohon maaf, saya tidak bisa menerima lamaran Bapak."

Raut wajah lelaki di hadapannya masih datar. Tidak ada raut kaget, tidak ada raut kecewa ataupun marah. Aneh. Aeri tidak yakin lelaki di hadapannya ini benar-benar menyukainya.

"Nggak ada lagi yang ingin kamu ketahui dari saya?"

Banyak!! Tapi gue nggak butuh itu.

Aeri menggeleng pelan sebagai jawaban. Senyum tipis terkembang di wajah Naren. Senyum yang beberapa minggu lalu sempat membuat Aeri terpukau, kini nampak begitu menakutkan. "Saya tahu kamu pasti akan menolak lamaran saya. Tetapi, bukankah seharusnya kamu memberi saya kesempatan. Kesempatan untuk kamu mengenal saya."

Sekuat tenaga, Aeri mengalahkan rasa takutnya. Ia tak ingin mengalah pada keadaan. Ia harus menyelesaikan ini dengan baik. Senyum miring berusaha ditampilkannya. Senyum yang ia yakin sangat tak enak dipandang. "Entah berapa lama Bapak mengenal saya. Akan tetapi, sepertinya Bapak belum benar-benar mengenal saya."

Terlihat raut kekagetan di wajah Naren meski hanya sesaat. Lelaki itu dengan mudah kembali menetralkan raut wajahnya, kembali datar. "Beri saya kesempatan untuk mengenal kamu begitu juga sebaliknya. Jika dalam batas waktu yang ditentukan kamu masih belum bisa menerima perasaan saya, maka saya akan mundur."

Luar biasa! Lelaki ini tidak akan menyerah semudah itu. Aeri menghembuskan napas lelah. Segigih apapun lelaki di hadapannya ini, sedikitpun Aeri tidak berniat memberi Naren kesempatan. "Maaf, Pak." Aeri melemparkan senyum semanis mungkin sebelum melanjutkan, "saya tidak ingin mencoba ataupun memberi kesempatan itu kepada Bapak."

"Kenapa?"

"Karena saya hanya akan menikah dengan orang yang menurut saya pantas buat saya." Terlihat kerutan di kening Naren mendengar jawaban Aeri.

"Menurutmu, saya tidak pantas?"

Aeri kembali tersenyum miring. "Memangnya Bapak merasa pantas?"

Naren menghembuskan napas berat. Aeri memang tidak menyinggung langsung mengenai statusnya, tetapi Aeri yakin Naren sadar kemana arah pertanyaannya. "Ada yang salah dengan status duda?"

Aeri menggeleng. "Tidak ada yang salah, Pak. Hanya saja, itu tidak masuk dalam kriteria pendamping hidup saya. Mohon maaf."

Aeri tahu kalimatnya sangat menyakitkan, mungkin juga hal itu membuat Naren malu dan marah. Akan tetapi memang itulah yang ada dalam benaknya. Lelaki single yang belum pernah menikah sebelumnya saja belum tentu akan ia terima, apalagi seorang duda. Duda yang ia sendiri tidak tahu alasan dibalik statusnya tersebut.

Senyum tipis kembali terkembang di wajah Naren. Sangat bertolak belakang dengan prediksi Aeri yang mengira Naren akan marah. "Kamu pasti sadar betul, eyang putrimu tidak bisa bersabar terlalu lama. Untuk saat ini, hanya saya calon potensial untuk kamu. Bahkan keluarga besarmu sudah memberi restu."

Restu my ass!

"Juga, kamu sendiri belum mempunyai calon yang bisa kamu bawa ke hadapan keluarga besar kamu," ucap Naren sambil kedua tangan bersedekap di dadanya. Lelaki itu juga nampak memundurkan badannya bersandar pada kursi dibelakangnya. Wajahnya nampak seperti berkata "you lose", membuat Aeri ingin murka rasanya.

Tak mau termakan oleh intimidasi Naren. Aeri mengeluarkan senyum pongah. "Sayangnya, saya punya calon yang bisa saya hadapkan ke keluarga besar saya."

Setelah mengucap kalimat tersebut, Aeri segera berdiri. Cukup dengan segala sopan santun. Gadis itu memilih untuk menyelesaikan pembicaraan dan segera pergi dari hadapan Naren.

"Kamu nggak bisa menolak saya begitu saja, Aeri," ucap Naren sambil menyambar satu tangan Aeri, menahannya untuk pergi.

Aeri menatap sesaat pegangan tangan Naren pada tangannya. Kemudian berganti ke wajah Naren. Wajah lelaki itu nampak datar saat mengucapkan kalimat itu. Tidak ada raut marah atapun memohon. Sangat bertolak belakang dengan pegangan tangan yang menguat.

Aeri melepas pegangan tangan Naren pelan. Meski melepaskan, terlihat jelas Naren berat untuk melakukannya. "Tentu saja bisa, Pak." Aeri tersenyum, senyum pongah seolah ingin mengejek dan menabuhkan genderang perang dengan lelaki di hadapannya. "Bapak saja bisa melamar saya begitu saja, maka saya pun bisa menolak bapak begitu saja." Begitu kalimat berakhir, tatapan Aeri berubah datar. Tak ada pula senyuman yang menghiasi wajahnya.

Setelahnya, Aeri memilih meninggalkan Naren yang nampak menahan diri dan berdiam di tempatnya. Aeri tidak terlalu peduli. Ia hanya ingin segera menghilang dari tempatnya saat ini juga.

Begitu berada di lobi hotel, secepat kilat Aeri mengambil ponselnya. Ia butuh berbicara dengan seseorang dan hanya satu orang yang terlintas di kepalanya saat ini. Sayangnya, setelah tiga kali melakukan panggilan yang tak kunjung dijawab, juga puluhan pesan yang tak terbaca, barulah Aeri tersadar akan satu hal.

There's never a moment she wouldn't share with this person.

Menghela napas panjang, Aeri memilih untuk menaiki taksi di depan pintu lobi untuk kembali ke apartemennya. Ia bisa saja langsung ke BobaMoza, bertemu dengan Anin atau siapapun yang ada di sana. Namun, suasana hatinya sedang tidak baik, dan untuk saat ini akan lebih baik untuk berdiam diri di apartemennya.

● ○ ○ ●

"Selamat Pagi." Aeri otomatis memijat pelipisnya begitu melihat siapa tamu di depan unit apartemennya. Naren —si tamu tak diundang– sudah berdiri di depan pintu unit apartemennya dengan senyum lebar selebar senyum pepsodent.

Salahnya karena tidak lebih dulu mengecek tamunya. Aeri pikir Ino yang datang ke apartemennya setelah semalaman Aeri menerornya dengan telepon dan pesan. Ia bahkan meminta tolong Any untuk mengecek Ino di rumahnya. Sayang, hasilnya nihil. Semalam, Aeri tak bisa menghubungi Ino, membuatnya uring-uringan pagi ini.

"Mau apa Bapak ke sini?"

Naren menyodorkan bungkusan makanan. "Sarapan dulu yuk."

Aeri memajukan tubuhnya sambil menutup pintu sebagian. Menghalau agar Naren tidak masuk ke apartemen.

"Saya sudah sarapan, dan nggak perlu sarapan itu," jawab Aeri sambil mengarahkan matanya ke arah bungkusan yang disodorkan Naren. "Juga, saya sedang tidak ingin diganggu SIAPAPUN, jadi silakan Bapak mencari partner sarapan yang lain." Aeri sengaja menekankan kata 'siapapun' untuk memberitahu Naren bahwa tidak akan ada pengecualian untuk siapapun.

Bilang Aeri terlalu over pede, tapi Aeri yakin setelahnya Naren pasti berkata 'Kalau begitu temani saya sarapan'. Setelah mengucapkan kalimatnya tersebut Aeri berbalik untuk masuk ke dalam unit apartemennya sebelum kemudian tangannya dicekal oleh Naren.

"Cuma menemani sarapan, Ri. Nggak akan bikin kamu rugi apapun."

Aeri menggeleng pelan memberi tanda bahwa dirinya tidak setuju dengan ucapan Naren. "Salah, Pak. Saya rugi waktu. Kenapa juga saya harus menghabiskan waktu saya percuma dengan menemani Bapak sarapan?" Setelahnya Aeri berusaha melepas cekalan tangan Naren.

Helaan napas terdengar dari mulut Naren. Lelaki itu nampak hendak akan menyerah. Namun, sepertinya dugaan Aeri salah ketika mendengar kalimat yang diucapkan Naren. "Baiklah. Untuk saat ini, saya mengalah dan pulang, Aeri. Tapi, perlu kamu ingat. Saya akan tetap berusaha meyakinkan kamu. Bahwa saya adalah yang terbaik untukmu."

Senyum tipis yang terkembang di wajah itu saat mengucapkan kalimat itu membuat Aeri mendadak mulas. Entah kenapa, ia justru mematung mendengar ucapan Naren. Ucapan yang jelas-jelas menunjukkan kepada Aeri bahwa lelaki itu tidak akan menyerah dengan mudah.

"Kamu boleh melangkah mundur, sejauh apapun itu. Aku yang akan melangkah maju, memangkas jarak di antara kita.

● ○ ○ ●

Aeri menatap jengkel ke arah Ino yang kini sedang menunggunya membuat pintu apartemen. Sahabatnya itu justru terlihat santai setelah semalam mengacuhkannya. Seharian ini Aeri memilih untuk mengurung diri di kamarnya karena suasana hatinya yang tak kunjung membaik —atau malah semakin buruk setelah kedatangan Naren. Tanpa diduga, saat malam tiba Ino akhirnya muncul di depan unit apartemennya. Senyum yang tetap terkembang di wajah Ino membuat Aeri geram.

"Kenapa semalem lo nyuekin gue?" Tabrak Aeri begitu membuka pintu apartemen. Tatapannya menghunus tajam ke arah Ino. Yang ditatap tajam justru terlihat santai. Luar biasa!

"Siapa yg nyuekin, Sy?" Ino memegang kedua pundak Aeri dan mengarahkan tubuh itu untuk berbalik dan masuk ke dalam unit apartemen gadis itu. Aeri sendiri meski jengkel memilih pasrah. Keduanya menuju ke sofa yang berada di ruang tengah.

"Lo! Gue telepon, gue chat, puluhan kali, nggak ada yg dibales. Sampe gue minta tolong Any." Jawab Aeri begitu keduanya duduk di sofa. Aeri merasakan emosinya makin tersulut mendengar pertanyaan tanpa rasa bersalah dari Ino. Apalagi ketika lelaki di hadapannya itu justru tersenyum kecil.

"Kenapa lo nyari gue sampe segitunya?"

"Kok kenapa? Aneh aja lo nggak bales chat ataupun telpon gue, No."

"Why? You feel something isn't right?" Ino mengucapkan dengan nada penuh canda, tapi entah mengapa Aeri merasakan berdebar mendengar pertanyaan itu.

Ia memang merasakan sesuatu seolah tidak benar ketika Ino tidak segera menjawab telepon atau pesannya.

"Worried that something might happen to you. Gue udah mikir yang aneh-aneh, No." Jawaban Aeri tidak sepenuhnya bohong. Aeri memang khawatir terjadi sesuatu pada Ino, meski bukan itu jawaban sebenarnya.

Ino terlihat tersenyum tipis sambil mengelus pelan kepala Aeri. Netra milik Ino menatap lekat ke arah Aeri sambil bertanya, "What would happen if i suddenly disapper from your life?"

Pertanyaan yang sukses membuat Aeri berjengit. "You wouldn't dare! Jangan pernah berpikir untuk hilang dari hidup gue, membayangkannya pun jangan."

Jantung Aeri berdetak lebih kencang membayangkan tidak ada Ino dalam hidupnya. Ada rasa nyeri yang juga menyelimuti. Lelaki yang sudah berada di sekitarnya selama hampir tiga belas tahun. Rasanya sulit membayangkan tidak ada Ino di sampingnya. Tetapi ... tidak mungkin selamanya Ino akan ada di sampingnya bukan?

Tatapan Ino berubah sendu. Aeri menangkap ada getir dalam tatapannya. "Gue nggak mungkin selamanya ada buat lo, Sy."

Benar.

"I know." Aeri menghela napas panjang sebelum kembali melanjutkan, "ada saat di mana lo bakal menemukan seseorang yang bikin prioritas utama lo berubah. Saat di mana gue harus tersingkir dari salah satu prioritas utama lo. Gue udah membayangkan itu. Puluhan kali, nggak, ratusan kali. Mungkin gue egois, tapi gue berharap, saat itu nggak akan pernah ada."

Ino memindahkan tubuhnya dengan posisi duduk berlutut di lantai persis di hadapan Aeri yang duduk di sofa. Satu tangannya menggenggam tangan Aeri.

"Gue justru nggak pernah membayangkan hal itu. Prioritas utama gue selalu orang tua gue, Any dan ... Lo, Sy. I've been doing that for past thirteen years, gue nggak yakin bisa menghilangkan lo dari prioritas utama gue. So, rest assure. You'll still be one of most important person in my life, and will always be."

Ada lega yang merasuk ke dalam hatinya mendengar ucapan Ino. Meski itu hanya sebuah janji kosong pun, tapi hatinya merasa bahagia. Sahabatnya ini memang sungguh yang terbaik. Akan tetapi, ada pula nyeri yang merasuk kalbu. Ketika menyadari akan kemungkinan kerumitan hubungan keduanya di masa mendatang.

"What are we, No?"

Hening menyelimuti keduanya selama beberapa saat. Aeri masih menatap ke arah Ino yang juga masih menatapnya. Tak ada jawaban yang segera meluncur dari bibir itu, membuat Aeri nyaris menyerah dan hendak mengalihkan pembicaraan.

"We are ... what you want us to be." Jawaban Ino tidak sedikitpun membuat Aeri merasakan lega. Terlalu ambigu. "Gue nggak tau apa yang bikin lo galau begini. Tapi yang jelas, gue akan selalu ada di samping lo, menemani dan mendukung lo. So, tell me what happen?"

Meluncurlah cerita Aeri tentang pertemuannya dengan Naren. Aeri juga mencurahkan ketakutan dan kekhawatirannya. Bagaimana ngerinya Aeri mengetahui ada seorang lelaki yang sudah sejak lama mengenal dan menyukainya melamar dirinya. Juga, ketakutan akan sebuah hubungan dengan lelaki. Tangan Aeri sedikit bergetar, membuat Ino menggenggam tangan itu untuk menenangkan. Kedua masih terdiam beberapa saat, sampai akhirnya permintaan itu kembali muncul dari mulut Aeri.

"Gue benar-benar butuh tameng gue, No."

❄️❄️❄️

Bonus Part :

❄️❄️❄️

SOLICITUDE © 2020, Nisayu | All Rights Reserved | 2 September 2020

Maaf, sedikit delay updatenya minggu ini.
Selain karena tiba-tiba ide mandeg, juga karena kesibukanku🙏🏼🙏🏼

Part ini nggak sebanyak part-part sebelumnya, tapi semoga bisa mengobati kangen kalian sama Aeri.

Naren mulai keliatan bucin belom? Jangan kaget ya, maklumin aja, baru kali ini dia deketin cewek. Jadi agak aneh gitu deh😅😅

Lalu ... gimana Aeri-Ino? Kira-kira Ino bakal mau jadi tameng Aeri nggak?

Jangan lupa vote dan komen yang banyaaakkk.

So much love for you, all❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro