1. B - Mbok Sarjem
"Kowe maling, ya?"
Hardikan itu membuat Djoerijah menggeleng keras. "Bukan. Aku bukan maling!"
" Terus kalau bukan maling, ngopo kowe di situ? Njalok sumbangan?"
Djoerijah berbalik tetapi matanya melihat ke arah tanah. Gadis itu masih tak berani menatap lawan bicaranya. "Ndak, aku mau cari Mbok Sarjem," lirihnya.
"Kowe siapa? Ada perlu apa dengan Mbok Sarjem."
"Aku Ijah, Djoerijah. Simbokku bernama Soenarti. Dia juga pernah jadi babu di rumah Tuan William setahun lalu," ujar Djoerijah masih sambil menunduk.
Perempuan itu menatap Djoerijah dari atas hingga bawah. Gadis kecil kurus dengan kebaya putih kebesaran yang sudah pudar kekuningan dan tak beralas kaki. Sungguh terlihat seperti peminta-minta. "Aku Ningroem. Mbok Sarjem ndak ada di sini. Dia ada di belakang."
Seketika Djoerijah menatap seseorang di hadapannya itu. Perempuan yang menegur tadi sepertinya sebaya dengannya. Djoerijah sedikit tenang. Paling tidak bukan sang pemilik rumahlah yang memergokinya.
"Ayo, ikuti aku," ajak perempuan berkebaya jingga itu.
Djoerijah mengekorinya memasuki pintu kecil yang tak jauh dari gerbang. Melewati pintu, hamparan halaman luas dengan lampu-lampu kecil yang tersebar di berbagai sudut. Seumur hidup, dia tak pernah melihat banyak lampu menyala dalam satu rumah. Dia tak dapat membayangkan seberapa kayanya Tuan William yang dapat membayar tagihan listrik untuk menyalakan lampu-lampu itu. Tak sebanding dengan gubuknya dulu hanya diterangi temaram lentera minyak.
Sampailah mereka di paviliun yang tak jauh dari kediaman utama yang megah. Di sanalah tempat babu dan kacung tinggal. Setelah pekerjaan selesai, mereka akan kembali ke tempat ini. Namun, mereka harus siap sewaktu-waktu tuan mereka memanggil dan memberi perintah.
Ningroem mengetuk pintu. Tak lama seseorang muncul dari sana. Pria paruh baya kurus bagai tulang berbalut kulit dengan pakaian yang tak dikancing dan memperlihatkan barisan tulang iga yang begitu kentara. Mata laki-laki itu tertuju pada Djoerijah. "Siapa, Roem? Koncomu?"
"Bukan, Pak. Dia ingin bertemu Mbok Sarjem," kata Ningroem.
Pria itu seketika bertanya pada Djoerijah. "Ada perlu apa kau hendak menemui istriku malam-malam begini? Apa kau diutus seseorang? Siapa tuanmu?"
Pertanyaan bertubi-tubi yang dilemparkan membuat Djoerijah takut. Dia mencondongkan badan ke belakang Ningroem. "Aku Ijah. Djoerijah. Simbokku bernama Soenarti yang pernah jadi babu di sini juga."
Sepersekon kemudian Mbok Sarjem datang menghampiri mereka. "Ada apa, Pak? Siapa yang datang?" Wanita tambun itu sedikit terkejut mendapati Djoerijah ada di tempatnya. "Lho, Nduk. Ada apa malam-malam ke sini?"
Djoerijah tampak kebingungan. Wanita itu menggandeng tangan Djoerijah masuk ke dalam. Mempersilakan gadis kecil itu duduk. "Apa kau sudah makan, Nduk?"
Djoerijah menggeleng sembari memegang perut. Melihat hal itu, Mbok Sarjem melirik ke arah sang anak. "Roem, ambilkan singkong rebus untuk Ijah di pawon."
Ningroem memberi tatapan tak suka pada Djoerijah. Walau pun akhirnya melaksanakan perintah sang ibu untuk memberi gadis itu makanan. Dia benar-benar menilai Ijah sebagai peminta-minta yang tak tahu diri.
"Ada apa, Nduk? Ceritakan saja padaku. Apa yang bisa aku bantu."
Djoerijah menunduk. Dia sebenarnya tak enak hati. Dia tak ingin merepotkan orang lain, tetapi hal ini terpaksa dia lakukan karena dia benar-benar tak punya sanak saudara. Dia sebatang kara. "Rumahku dibakar. Kini aku tak punya tempat tinggal lagi, Mbok. Aku ingin menumpang di sini untuk sementara sampai mendapat pekerjaan."
Mbok Sarjem tersenyum. "Kau boleh tinggal di sini, Nduk."
Seketika mata Djoerijah berbinar-binar. Dia meraih tangan Mbok Sarjem dan berlutut. "Matur suwun, Mbok."
Tak berapa kemudian Ningroem datang membawa sepiring singkong rebus. Djoerijah tersenyum melihat piring isi makanan itu, lalu pandangannya beralih ke Mbok Sarjem.
Mbok Sarjem mengangguk. "Silakan dimakan, Nduk."
Djoerijah melahapnya dengan rakus. Perutnya memang belum diisi sejak kemarin.
Ningroem yang sedikit kesal melihat perlakuan sang ibu pada gadis itu, lalu dia meninggalkan ruangan menuju teras. Terlihat bapaknya sedang duduk di dipan bambu mengisap lintingan tembakau sambil menikmati kopi hitam. Gadis itu duduk di sebelah sang ayah.
Sambil mengembuskan asap, sang ayah bertanya,"Ngopo, Nduk?"
"Ndak apa-apa, Pak," jawab Ningroem dengan ekspresi masam.
***
Pagi hari semua sibuk. Mbok Sarjem sibuk memasak, Ningroem menyapu dan Pak Giman mengurus kuda. Sementara Djoerijah bingung harus berbuat apa. Gadis itu berjalan melihat-lihat rumah Tuan William yang besar itu. Semalam Ijah tak begitu melihat jelas pemandangan dan kecantikan hunian itu. Setelah matahari muncul, rumah itu tampak lebih indah dari yang dia kira.
Terdengar musik dari dalam rumah utama. Rasa ingin tahu Ijah lebih besar dari apa pun. Dia berlari menuju sumber suara. Ijah mengintip dari luar jendela besar. Suara merdu itu berasal dari piringan hitam yang terus berputar pada sebuah alat yang mirip terompet. Gramophone. Melodi indah yang belum pernah Ijah dengar sebelumnya, bagaikan magnet yang membuatnya terus berada di sana. Hingga dia tertangkap basah sedang menikmati lagu-lagu itu oleh seseorang.
"Sedang apa kau di sini?"
***
Catatan :
Ngopo kowe : kenapa kau/kamu
Ngopo : kenapa
Njalok : minta
Koncomu : temanmu
Matur suwun : terima kasih
Baca juga cerita Serat Sang Putri Jawa - Dee_ane dan Surat Keluarga - Broonaw
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro