3
Nirwala tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Terbengong-bengong kebingungan, dia hanya bisa terduduk diam di atas tembok batu, di dekat tubuh itu diam tak bergerak. Sekarang bengong jadi terdengar seperti sebuah pertanda bencana. Mungkin karena tadi ia bengong dan menghabiskan waktu dengan sia-sia, sekarang Tuhan menghukumnya jadi orang bodoh.
Buku-buku di sekolah tak mengajarkannya untuk bertindak seperti apa jika menemukan satu tubuh tak bergerak di tepi pantai. Harus memeriksanya? Tapi bagaimana jika ada orang lihat? Apa pendapat mereka nanti? Lalu bagaimana jika orang ini adalah mayat dan dia yang menemukan atau ... atau orang jahat yang menaruh tubuh ini masih ada di sekitar sini?
Nirwala langsung mengedarkan pandang dengan panik, mencoba mencari keberaadaan siapa pun, apa saja, di dekatnya, untuk dimintai tolong.
Sayangnya, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada orang lewat, tidak ada penjaga. Tidak ada siapa pun.
Kalau begitu...
Nirwala segera mengambil bola di dekatnya dan bangkit berdiri.
Pertama-tama ia harus menyerahkan bola ini ke Santos. Bocah lelaki itu dan Epen lebih tua jadi pasti ia tahu apa yang harus diperbuat.
Nirwala pun berbalik dan hendak pergi.
Tapi tiba-tiba satu tangan meraih kakinya.
Nirwala terjungkal. Jatuh begitu saja ke atas batu. Dia mengaduh kesakitan. Dia menoleh ke belakang dan menyadari lututnya tergores. Meneteskan darah. Dan di dekat kakinya ... orang itu, sudah bangun.
Nirwala, meski masih kebingungan, dia masih bisa menyimpulkan satu hal dengan pasti: orang ini berbeda darinya.
***
Nirwala tidak tahu, apa yang harus ia katakan atau lakukan di saat seperti ini. Televisi pernah mengajarkan padanya untuk jangan bicara dengan orang asing.
Ibunya pernah mengomel padanya yang menyapa orang terlalu akrab dengan ejekan "Anak genit!".
Ayahnya pernah menegurnya karena tetangga mengeluh pada dirinya yang tidak pernah tersenyum dan dianggap "Sombong dan anti sosial" (Apa pun itu artinya) jadi Nirwala bingung bagaimana harus bersikap. Apakah dia harus tersenyum dan disangka genit, meski ia sama sekali taka da niatan menggoda orang ini? Atau dia harus pura-pura tidak lihat saja dan dicap sombong lalu kemungkinan akan mengundang amarah orang ini? Dia tidak bisa memilih.
Jadi benaknya pun mengalihkan perhatian ke berbagai detail kecil dari orang yang kini terdiam itu.
Namun semakin diamati, semakin Nirwala merasa orang itu tidak terlihat seperti orang-orang lain yang sering ia jumpai. Rambutnya entah kenapa sangat panjang, meski tampak lurus, indah, dan serasi dengan wajahnya yang kecil, rambut itu membuatnya jadi jauh lebih menakutkan karena lebih panjang dari angannya.
Aneh.
Biasanya yang berambut panjang adalah wanita, kan? Tapi kenapa di mata Nirwala, wajah orang itu tampak seperti lelaki—ah, tidak, bocah lelaki—yang tampak tak berbeda jauh darinya.
Anak ini mungkin seusia Epen, mungkin sedikit lebih tua, tapi tidak berapa jauh. Di bawah bayang-bayang rambut dan sinar mentari yang membelakangi, wajah bocah itu tak tampak jelas, tapi Nirwala bisa melihat kulit yang sangat, sangat pucat darinya. Nyaris seperti kebiruan. Dia khawatir. Apa orang ini sedang sangat kedinginan di bawah sana sampai-sampai kulitnya membiru?
Khawatir, Nirwala pun menunduk, Tanpa sengaja mengamati tangan yang memegangi kakinya dan menyadari sesuatu lewat sinar mentari yang jatuh di kulit itu.
Sisik.
Ada belasan sisik berkilau di bawah kulit itu. Transparan dan seperti lapisan tipis kaca, sisik-sisik itu bergerak sepanjang napas yang dihela oleh anak lelaki itu. Dia hidup, sama seperti dirinya. Dia bergerak, sama seperti Nirwala. Dan saat ini, lewat kulit mereka yang bersentuhan, Nirwala bisa merasakan gemetar menjalar di kakinya. Gemetar yang entah berasal darinya atau dari anak itu, Nirwala tak tahu.
"Kamu siapa?"
Suara dari Nirwala seketika mengejutkan mereka berdua. Ah, tidak, lebih mengejutkan bagi anak lelaki itu dibanding Nirwala sendiri, meski keduanya langsung sama-sama melompat mundur, seperti tertarik oleh insting bertahan hidup masing-masing.
Agak konyol jika dipikirkan, apalagi karena Nirwala-lah yang bertanya, tapi dia juga yang kaget.
Untung bagi Nirwala, sepertinya dia sudah mematahkan insting bertahan hidupnya tadi, sampai-sampai, di tengah keraguan dan kebingungan yang melanda, dia menjadi yang lebih dulu maju kembali ke hadapan anak lelaki itu. Mendekatinya dengan rasa penasaran yang polos.
"Kamu baik-baik saja? Apa ... ada yang terluka?"
Tidak ada jawaban. Anak lelaki itu hanya memandangi Nirwala dengan sepasang mata bulat yang mengerjap bingung.
Persis seperti dirinya tadi.
Nirwala menatap mata itu dan lantas menyadari, kedua mata itu berbeda dari matanya. Mata anak itu berwarna biru dengan pupil hitam yang mengingatkannya pada mata kucing yang bergerak hidup, menyipit dan membulat setiap kali berhadapan dengan sesuatu yang aneh.
"Tadi ... kamu pegang kaki aku. Apa ada ... yang kamu butuhkan?" Nirwala menggigit bibir, mendadak tak yakin apa tadi anak ini hanya pingsan atau memang sengaja latihan tahan napas. Tidak, tunggu, siapa yang latihan tahan napas di tepian laut? "Anu, begini ... ada temanku yang sedang bermain di dekat sini, kalau kamu mau aku bisa..."
Sekali lagi tak ada jawaban. Nirwala semakin canggung. Tapi tak ragu lagi, ia pun bangkit berdiri sekali lagi. Lututnya sedikit nyeri karena berdarah, tapi ia masih bisa menahannya. Ada hal yang lebih penting yang harus dilakukan ketimbang memprioritaskan rasa sakit.
"Aku akan panggil yang lain, ya. Kamu tunggu di sini." Nirwala pun berjalan mundur. Selangkah demi selangkah. Nyaris tersandung di tiga langkah awal. Ia tidak mengerti kenapa repot-repot berjalan seperti ini, tapi sesuatu ... sesuatu dalam hatinya berkata untuk jangan berpaling dari anak ini. Jangan sekalipun membelakanginya selama dia masih ada di sana. "Tunggu, ya!"
Baru setelah jarak di antara mereka sangat jauh, Nirwala berani berbalik dan langsung berlari.
Dia berlari dan berlari memanjat dan terus menapaki satu demi satu beton pemecah karang yang lima belas kali lebih besar dari tubuhnya itu.
Kenapa?
Di sela-sela napas yang tersengal, Nirwala berpikir. Kenapa jantungku berdebar-debar? Kenapa ... aku merasa harus lari secepatnya?
Kenapa ia merasa begitu ketakutan?
Ketika sampai di tepi lapangan bola, Nirwala langsung berlari ke jalanan, menyeberang langsung ke tempat teman-temannya masih menunggu dengan pikiran kosong. Satu hal yang ia tahu: ia harus kembali ke tempat teman-temannya berada.Dia melihat, sebagian temannya sudah pergi, tapi masih cukp banyak yang tersisa. Epen dan Santos menjadi salah dua orang yang masih menunggunya dan cukup terheran-heran saat menyaksikannya kembali dengan napas hampir habis.
"Nirwala? Ada apa? Kok mukamu pucat begitu?"
"Kenapa juga kamu lari? Habis curi bola lain di warung dan dikejar jadi maling?"
Santos langsung menyikut Epen. Bocah lelaki itu mengaduh dan protes, tapi Santos langsung menghampiri dengan wajah cemas.
"Nir ... dengkul kamu berdarah, tuh," ujarnya, melirik lutut Nirwala yang ternyata entah sejak kapan, gemetar hebat. "Ayo, kasih betadine dulu..."
Nirwala tak membiarkan Santos menyelesaikan kalimatnya. Dia keburu menggenggam lengan panas pemuda dan basah peluh dari pemuda itu lalu berkata dengan lantang:
"Ada anak hanyut di pantai!"
***
"Santos, sarap kamu! Kalau ada anak tenggelam atau hanyut, kita harusnya lapor ke orang dewasa! Biar bapak-bapak dan ibu-ibu itu yang urus! Mereka tau harus gimana! Kita bocah-bocah mana tahu harus apa! Bisa aja kita harus lapor polisi, kan?"
"Justru karena kita mungkin harus lapor polisi, kita harys pastiin dulu! Kalau bukan mayat, habis kita diamuk warga karena dikira penipu!" Santos menyahut di sisinya. "Nirwala, kamu yakin, kan, kalau itu bocah?"
"Itu bocah! Dan dia belum jadi mayat!" tegasku. "Dia masih hidup! Dia tadi tatap-tatapan sama aku! Dia pegang kaki aku! Kalian lihat sendiri nanti!"
Pada akhirnya Santos dan Epen menuruti Nirwala dan ikut berlari, menaiki bukit tempat lapangan mereka ada di bawahnya, lalu berjalan melewati jalan setapak dan turun ke pembatas jalan, menuju deretan batu pemecah ombak yang mengawasi setiap bidang pantai mereka dengan tubuh beton. Nirwala mengamati sekitar.
Tidak ada sosok bocah lelaki itu di mana pun.
"Di mana dia, Nirwala? Kamu nipu kami, ya?"
"Nggak, aku nggak nipu kalian!" Nirwala mengedarkan pandang lebih jauh, mencoba mengingat-ingat. Dia lalu menunjuk satu arah. "Itu! Di sana! Aku ingat dia ada di sana tadi!"
Nirwala pun berlari lebih dulu, memimpin dua temannya yang lain dan menuruni tembok pemecah ombak.
"He-hei, Nir, hati-hati, kamu lagi luka itu!" Seruan Santos terdengar, tapi Nirwala mengabaikannya. PIkiran gadis itu begitu fokus sekarang. Begitu terpusat pada ingatan mengenai bocah lelaki tadi, bocah berkulit dan berpenampilan aneh yang baru saja ia temui di...
Nirwala berhenti.
"Nirwala!" Epen menjadi yang pertama berhasil menyusulnya. "Gila, ada apa, sih, sampai kayak gitu? Beneran kayak dikejar setan, kamu!"
Nirwala menatap sekeliling. Matanya menatap nanar, mencoba mencari-cari.
Tidak ada.
Tidak ada siapa pun di sekeliling mereka.
Sepi, hanya ada ombak dan mereka bertiga di sini.
Ke mana bocah lelaki itu?
"Nir, astaga! Kamu tuh ngapain sih, lari-lari kenceng banget begitu?"
"Aku curiga dia nggak beneran luka, tuh, Santos! Tuh, lihat saja larinya masih lincah begitu!"
"Hush, jangan bercanda! Itu anak beneran luka!"
Kedua bocah lelaki itu masih mengobrol dan berdebat di belakang, tapi Nirwala mengabaikan mereka. Sepenuhnya, dia mencari dan terus mencari, tapi tidak ada, tak ada satu pun sosok yang mirip dengan anak lelaki yang ia temui tadi. Hampir seolah anak itu tidak pernah ada.
"Jadi ... mana bocah hanyut yang kamu bilang tadi, hm? Nggak ada di mana-mana tuh? Aku nggak lihat apa-apa."
"Hush, Epen!"
"Apa? Aku bilang jujur, kok! Emang nggak ada apa-apa, kan, di sini?" Epen bersikeras, terdengar kesal sekarang. "Argh, tadi harusnya aku ikut pulang aja! Nungguin cewek nggak jelas begini, diajak lari-lari kayak orang gila, ternyata kena kibul!"
"Aku nggak bohong!" Nirwala tiba-tiba menghardik, mengagetkan kedua bocah lelaki itu. "Aku beneran lihat anak lelaki di sana!"
Nirwala menunjuk satu arah.
"Dia di sana, tenggelam separuh badan!" Lalu ia menunjuk kakinya. "Tadi dia pegangin kaki aku! Lihat! Masih ada bekasnya!"
"Alah, itu, kan emang kaki kamu lagi luka? Paling kamu jatoh di sini." Epen bersedekap. "Kamu mau caper, ya? Jatoh aja bilang ketemu anak hanyut lah! Dasar resek!"
"Udah aku bilang, aku nggak bohong tadi itu—
"Epen." Santos menyanggah. Tidak seperti Epen, bocah itu mau repot-repot menunduk dan berjongkok di dekat kaki Nirwala dan melihat lututnya. "Aku rasa NIrwala nggak bohong. Emang ada yang memegangi kakinya tadi."
Merasa benar, Nirwala langsung menatap Epen dengan galak dan menunjuk kakinya. Epen dengan setengah hati langsung ikut bersama Santos dan berjongkok di depan kaki Nirwala. Gadis itu pun menunduk memandangi kakinya dan menyadari bekas basah dari anak lelaki tadi masih ada.
Ada bekas tiga cakaran di sana.
Nirwala terdiam. Ia tidak menyadari bekas cakaran itu ada.
"Alah!" Tiba-tiba Epen kembali berdiri. "Kalau lagi tergores batu, apa pun bisa kelihatan seperti luka cakaran, tidak perlu berdrama ria, kalian berdua!"
"Epen!" Nirwala berseru tak terima, tapi Epen hanya mencebik.
"Non, kalau kamu memang segitunya ingin perhatian Santos, tinggal bilang aja! Nggak usah caper." Epen menyipitkan mata. "Emangnya kamu pikir yang nggak rela dia pergi, cuma kamu doang?"
"Eh?" Nirwala langsung menoleh pada Santos, tapi bocah itu malah sibuk memelototi Epen dan menginjak kakinya, membuat Epen langsung mengaduh. "Santos ... jadi—jadi kamu beneran...?"
Mendengar reaksiku, Santos hanya bisa mengangguk pasrah. Senyum sedih langsung muncul di wajahnya.
"Malam ini ... jadi malam terakhir kami. Papa harus segera berangkat ke Jakarta besok malam, jadi..."
Itu bukan kabar mengejutkan, memang. Rencana kepindahan Santos memang sudah bergaung di sepanjang jalan sejak satu bulan lalu, tapi kali ini, ketika waktunya benar-benar tiba secara mendadak, Nirwala baru benar-benar merasa bahwa ia tidak siap. Perpisahan pertama dengan temannya ... Nirwala tidak menyangka akan menghadapi sesuatu seperti ini seumur hidupnya.
"Yang lain udah pamit, ya?"
"Ya..." sahut Santos sedih. "Kalian berdua yang terakhir ingin aku jumpai."
Sementara Epen terdiam, Nirwala menunduk lesu. Tapi sepertinya Santos tak bisa begitu saja mebiarkan kedua temannya murung, karena sedetik kemudian, bocah lelaki itu langsung menggenggam tangannya.
"Ayo, masih ada waktu. Mumpung belum malam. Kita ke warung dan obati lukamu dulu, Nir." Santos melemparkan pandang ke arah laut. "Dan kita lupakan apapun yang tadi kamu lihat di sini. Kalau nggak ada bukti, orang dewasa mana mau percaya."
Dengan lesu, Nirwala mengangguk. Sepakat melupakan apa yang tadi ia saksikan dan ia alami di pantai ini. Ia pun memutuskan untuk menyimpannya rapat-rapat. Mungkin benar kata Epen. Mungkin dia tadi jatuh dan berhalusinasi melihat sesuatu yang ia sangka orang. Mungkin ... semua yang ia alami tadi tidak nyata.
Seiring dengan langkah yang menjauh dari tepi pantai, Nirwala melemparkan satu pandang terakhir ke langit senja yang hampir berakhir di kejauhan. Lalu ia menyadari tidak berapa jauh dari tempat mereka berada, sesuatu bergerak melompat di dalam air, berenang menjauh dari pantai. Sesuatu yang ekornya cukup besar sampai bisa ia lihat dengan jelas di sini.
Ikan...?
"Hei!" Epen tiba-tiba merangkul pundaknya. "Udah jangan terlalu dipikirin! Kalau lagi senja gini emang biasa lihat yang aneh-aneh!'
"Hush, Epen!" Santos mencoba menenangkan, tapi Epen malah cekikikan. Jelas sekali dia mau iseng denganku. "Nir, omongan Epen jangan dipikirin, ya! Ini udah sore, fokus pulang aja, yuk!"
"Ayok! Gatel aku mau mandi!"
Nirwala mengangguk mengangguk, berharap tadi memang hanya kejadian aneh di kala senja dan bukan sesuatu yang nyata terjadi.
Namun selama dalam perjalanan, benak Nirwala yang bingung mencoba memberikan penjelasan logis, tapi ia tak ambil pusing. Ia dengan segera mengubur dalam-dalam ingatan-ingatan aneh tadi, mencoba melupakannya, namun mata biru bocah lelaki itu, tak kunjung hilang dari benaknya. Malah ... tampak semakin jelas. Nirwala lantas mengingat detail-detail yang sepertinya tadi luput darinya. Bocah itu tadi sempat membuka mulut, seperti hendak bersuara, tapi sebelum bisa berkata apa-apa, Nirwala sudah keburu kabur. Tapi Nirwala ingat aroma yang samar-samar sempat tercium saat mereka sangat dekat.
Aroma amis.
Persis seperti aroma pasar ikan.
Lalu ia pun ingat, tangan bocah lelaki itu berselaput. Seperti tangan katak dan terasa dingin. Sangat, sangat dingin. Kemudian Nirwala ingat kulitnya yang biru. Bukan membiru seperti kulit manusia, tapi sungguhan pucat. Benar-benar seperti warna daging ikan yang putih.
Seperti ... bukan Manusia.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro