2
Nirwala menyeruput es tehnya dengan pikiran kosong. matanya menatap ke arah matahari terbenam dan karpet cahaya jingga yang menyinari sebidang tanah serupa bukit yang menjadi pembatas antara lapangan kecil mereka dengan lautan di seberang sana. Debur ombak terdengar samar-samar di sela kicauan camar dan seruan seru anak-anak yang bermain bola di seberang sana.
Di pinggir lapangan, Nirwala duduk di salah satu bangku kosong dan menyeruput es tehnya sampai kering, berharap tendangan salah satu pemain yang tolol tidak mengenai dirinya saat sedang duduk di dipan ini.
Kesepian, kata anak-anak lelaki itu saat ia datang dan bengong sendrii, tapi buat Nirwala ini tidak masalah.
Setidaknya dia tidak perlu berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan tak perlu, mata-mata yang penasaran atau mulut-mulut yang seenaknya berkomentar soal dirinya. Di sini, ia setidaknya bisa mencicipi sedikit dari apa yang disebut orang-orang sebagai kebebasan.
Bebas sendiri, bebas berpikir di kepalanya sendiri, bebas bertingkah laku sesuai kemauannya sendiri. Itu saja sudah lebih dari cukup.
Meski tidak membentangkan sayap seperti burung atau berenang lincah seperi ikan, di sini ia bisa merasa menjadi manusia yang bebas diam dan termenung, Manusia yang bebas menyelami pikirannya sendiri dalam diam, tanpa perlu terkekang tugas atau ekspektasi siapa-siap.
Di sini, di momen senja ini, dia hanyalah seorang Nirwala. Seorang gadis biasa yang bukan siapa-siapa, tidak punya siapa-siapa, dan tidak bisa melakukan apa-apa.
Entah kenapa, pemikiran nihilistik seperti itu, justru membawa benak kecilnya ke dalam kedamaian.
Bengong, kata orang tuanya, adalah aktivitas tidak berguna. Buang-buang waktu dan hanya membuatmu tampak bodoh.
Tapi memang apa salahnya tampak bodoh?
Tidak bisakah Niwrala tampak bodoh sekali saja? Jadi orang bodoh dan bukan jadi tumpuan orang tua yang gagal pada masa depannya dan menjadikannya pelampiasan?
Tidak bisakah sekali saja ... dia sungguh-sungguh jadi anak tidak berguna yang memang tak bisa diharapkan jadi apa-apa sehingga orang tuanya akan melepas semua beban ekspektasi mereka dan ... dirinya bisa bebas?
Seandainya saja bisa semudah itu.
Ah, Nirwala menyadari, saat bengong, pikirannya justru lebih sibuk daripada saat ia bekerja. Rasanya saat ia belajar, pikirannya hanya terfokus pada satu cabang dan satu arah, tak bisa berkembang ke arah lain. Tak bisa melihat ke arah lain. Tapi di sini, dia bisa melihat apa pun. Rasanya ia bisa menjadi apa pun dan dunia mendadak saja ... tampak sangat luas.
"Bengong lagi?" Nirwala mendengkus. Kedamaiannya telah berakhir. Seseorang duduk di sisinya. "Sendirian aja di sini? Nggak mau gabung ke yang lain?"
"Cewek nggak boleh main bola." Nirwala berpangku tangan. "Kamu sendiri juga tau, aku nggak bisa main bola, kan, Santos?"
Bocah lelaki di sebelah Nirwala dan langsung menyemburkan tawa. "Ya, ya, mana mungkin juga aku lupa kamu yang jatuh sendiri pas mau tendang bola? Bolanya diem, kamunya jatuh ke belakang."
"Yang kayak begituan aja, kamu inget banget."
"Itu lucu, kenapa aku harus lupa?"
Nirwala hanya menggeleng tak habis pikir.
"Hei." Suara Santos berubah pelan dan Nirwala pun menoleh. Santos berbisik. "Kalau mau ikut main, tinggal gabung aja, aku akan bilangin mereka dan siapin satu posisi buat kamu main nanti."
Nirwala menggeleng sopan. Menolak untuk terakhir kali. "Kecuali kamu butuh orang buat tangkap-tangkapin bola kalian yang terbang entah ke mana."
Mata Santos berbinar. "Nir, itu brilian! Tunggu di sini sebentar!"
Tanpa menunggu, anak lelaki itu pun berlari menghampiri teman-temannya. Permainan bola terhenti sejenak. Santos mengajak mereka berkumpul dan langsung bicara. Mereka saling berbisik satu sama lain dan salah satu anak di antara kerumunan itu menatap Nirwala penuh curiga.
Oh, astaga, Nirwala membatin. Kenapa tadi aku menawarkan diri, ya?
***
Di pinggir lapangan, Nirwala jongkok dan memerhatikan anak-anak lelaki itu bermain bola dengan bosan.
"Benar juga, kenapa tadi aku mau-mau saja ditawari posisi seksi repot memungut bola begini?" gumamnya sendirian. Dari jauh, ia memperhatikan Santos menggiring bola bersama rekan-rekannya dengan seru. Sementara Epen mencoba menjegal dengan semangat.
Dalam diam, gadis kecil itu tersenyum. Sebentar lagi Epen akan naik ke kelas enam. Epen menjadi yang paling tua di antara mereka dan akan jadi yang paling pertama naik SMP, satu tahun sebelum Nirwala naik ke SMP juga. Nirwala pun bertanya-tanya, apakah semua ini akan bertahan saat mereka sudah mengenakan rok dan celana biru? Dia jarang melihat anak-anak yang lebih dewasa bermain bersama. Dia lebih sering melihat mereka nongkrong dan bermain-main dengan putung rokok yang tak enak baunya itu daripada bermain bola seperti sekarang, jadi ia sedikit risau.
Apakah semua akan berubah setelah ini? Berubah dan tidak akan sama lagi?
Memikirkan itu hanya membuat Nirwala semakin muram. Hingga tanpa sadar dia melewatkan satu tendangan bola yang melenting jauh ke luar arena. Gadis kecil itu baru menyadarinya ketika bola itu sudah jauh dari pandangan dan jatuh jauh sekali dari lapangan bola. Nirwala bangkit dengan kaget.
Apa bola itu jatuh di tepi laut sana?
"Alah, bolanya jauh banget lagi!" Seorang anak lelaki menoleh kepadanya. "Eh, Nir, bolanya masih ada berapa?"
Nirwala melirik bola plastik terakhir di sisinya.
"Pante!" Anak lelaki itu mengumpat. "Mana itu bola abis patungan, lagi! Abis aku!"
Anak-anak lain menggaruki rambut masing-masing dengan frustrasi. Tampak gusar. Nirwala menyadari bola plastik itu sepertinya sangat penting. Mungkin hasil dibeli dari duit patungan sisa uang jajan.
Sebagai orang yang sudah menawarkan diri sebagai seksi repot memungut bola, Nirwala tak enak hati. Sepertinya tak bisa memilih dalam situasi ini.
"Aku yang ambil." Nirwala membersihkan celana pendek dan bajunya dari pasir sebelum bangkti berdiri dan membawa bola yang tersisa pada anak-anak yang masih bermain.
"Nirwala, itu jauh lho tadi mentalnya!" Santos menghampiri, mengingatkan dengan khawatir. "Udah, nggak usah ambil, nggak usah nekat! Kita masih bisa beli bola—
"Ndasmu!" Epen memaki. "Darimana uangku beli bola lagi? Itu uang terakhir dari bapakku! Bisa habis aku dibotaki kalau sampai bola itu berubah warna jadi bola lain kalau aku pulang sore ini!"
Segitunya? Nirwala ingin bertanya begitu, tapi saat ia ingat seperti apa tabiat Bapak Hutagalung sudah terkenal di lingkungan tetangga, gadis mungil itu pun jadi urung bertanya.Dia pun kadang merasa Bapak Hutagalung dan bapaknya sama dalam satu hal: sangat tertarik pada kekerasan dan efek mereka pada anak-anak.
"Nggak apa-apa. Aku aja yang ambil. Udah tugas aku, kan? Tadi aku yang mengajukan diri jadi pemungut bola."
"Weissh, Nirwala emang terbaik, deh!" Epen dengan antusiasnya langsung mengacungkan jempol tanpa ragu. "Mantap! Tolong ambilin, ya! Butuh banget nih!"
"Ya, ya, aku ambilin—
"Eh, kau gila, ya?!" Santos bicara lagi, kali ini pada Epen. Logat aslinya dari Riau pun muncul. "Kau pikir laut di seberang tembok ini macam kucing jinak, kah? Sekarang bulan Januari! Ombak lagi tinggi, tau?"
"Tidak apalah. Tuh anak sendiri yang inisiatif mau ambil, kan? Tugas dia pula!" Teman-temannya menyahut. Melihat konflik mulai meruncing, Nirwala dengan segera pergi dari tempat itu. Dia tidak mau pusing dan dia pun merasa itu bukan pembicaraan yang seharusnya ia dengar.
Itu pembicaraan laki-laki dan perempuan seperti dirinya tidak boleh ikut camput.
Tapi, sebelum Nirwala melangkah terlalu jauh, terdengar ucapan anak-anak itu ke telinga Nirwala: "Kalau ada apa-apa, bukan salah kita. Dia sendiri yang mau."
Nirwala terdiam sejenak sebelum mengembuskan napas. Belum apa-apa dan semua orang sudah menduga hal terburuk akan terjadi. Belum apa-apa dan semua orang sudah siap cuci tangan dan angkat kaki jika sesuatu yang buruk menimpanya.
Santos pun bahkan tak berkata apa-apa terhadap kata-kata itu. Dia hanya terdiam mengikuti kata teman-temannya. Mungkin, ia memang berkata sesuatu, tapi Nirwala sudah keburu pergi dan tidak peduli.
Dia berjalan ke arah tembok pemecah ombak, tak jauh dari tempat mereka bermain bola, sendirian, dan mulai mencari.
***
Pantai-pantai di Klungkung kala senja, tak akan pernah surut keindahannya. Nirwala memahami betul hal itu dan menikmatinya dengan sepenuh hati. Menyaksikan matahari tenggelam di kejauhan sembari melihat burung-burung camar terbang kembali ke sarang dan mengakhiri hari selalu jadi kegiatan favoritnya jika saja senjakala tak menjadi waktu yang menakutkan bagi para orang tua.
Nirwala tak memahami darimana ketakutan itu berasal. Dia hanya diajari untuk tidak keluar rumah kala senja menjelang dan langit mulai mengabur antara merah dan biru. Katanya itu adalah saat bagi makhluk bernama Butakala mulai menampakkan tanduknya dan mencari anak-anak kecil nakal yang membangkang perintah orang tua dan masih berkeliaran menjelang malam.
Tapi itu cerita masa lalu. Mana mungkin masih ada sekarang, kan?
Nirwala ingin menanggapinya begitu, tapi jauh di dalam hati ... jauh di sudut tergelapnya, Nirwala tahu dia diam-diam bertanya-tanya: apa rasanya diculik Butakala?
Apakah dia akan mati atau justru sebaliknya ... dia akan bebas?
Apa jadinya jika ia tidak bisa kembali ke rumah, tak perlu lagi mengerjakan PR, tak perlu lagi berusaha jadi nomor satu dan memuaskan kedua orang tuanya? Apakah itu ... sebegitunya menakutkan?
Aneh, ketika Nirwala membayangkan kalau dirinya akan diculik monster, dia sama sekali tidak takut.
Dia justru penasaran.
Bagaimana rasanya? Bagaimana rasanya jauh dari rumah dan terpisah dari kedua orangtuanya? Apa mereka akan mencari dirinya? Apa mereka akan mulai sedikit saja memikirkannya? Apa mereka akan takut dan sekali saja akan melonggarkan peraturan yang mencekik ini untuknya? Nirwala melihat kebebasan Santos dan Epen yang setiap hari bermain dan gembira, dengan rasa iri.
Meski secara teknis, dia sama sekali tidak menyentuh bola dan hanya memerhatikan mereka bermain, tapi jauh di sudut hatinya, Nirwala ikut merasa puas. Rasanya, dia juga ikut bermain bersama mereka, berlari dan tersenyum bebas bersama anak-anak lelaki itu dan bermain bola sampai peluh membanjiri tubuh dan kedua kaki mereka sakit.
Setidaknya, jika ia bisa sebebas itu, untuk sekali saja—satu momen saja— Nirwala akan merasa sudah menggenggam dunia.
"Seandainya saja..." ia menggumam.
Tiba-tiba debur ombak menyembur ke wajahnya. Seolah tak setuju dengan lamunannya.
Dengan kesal dan wajah basah, gadis itu pun bangun.
"Benar juga, cari bola itu." Ia pun mulai mengedarkan pandang dan melihat bolanya ternyata terombang-ambing di salah satu kolam kecil di balik tembok-tembok pemecah karang. "Ah, itu dia!"
Nirwala langsung menuruni tanggul pemecah karang dengan hati-hati. Kaki-kaki mungilnya nyaris tak bisa menapak ke pijakan selanjutnya. Berkali-kali ia tersangkut dan terpeleset, hampir jatuh ke atas batu yang keras dan mungkin akan membuatnya terluka.
Tidak, ia tidak boleh terluka. Ia tidak boleh jatuh atau orang tuanya akan melarangnya keluar bermain dengan Santos dan Epen untuk selamanya.
Dia pun menuruni bagian-bagian tembok yang berbentuk seperti hurutf T raksasa itu dengan hati-hati dan mengambil bola plastik itu. Tapi kemudian, ia menyadari di salah satu bagian tembok pemecah karang ... di salah satu kolam yng terbentuk di tepi laut, ada sesuatu yang tersangkut.
Sesuatu yang besar. Lebih besar dari ikan teri dan kakap.
Nirwala langsung pucat pasi ketika menyadari sesuatu itu punya tangan dan kepala yang tidak bergerak di atas batu, tertelungkup.
Itu tubuh manusia!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro