1
Tidak peduli berapa kali pun Nirwala melihat kertas hasil ulangan matematika-nya, nilai 87 itu tidak pernah berubah.
Selalu ada di sana, selalu menghinanya. Angka itu diam seperti batu, tapi Nirwala entah kenapa bisa membayangkan angka itu bisa bergerak, tertawa, dan menghinanya, membuatnya sadar bahwa berjam-jam belajar sampai kepalanya sakit, sampai ia mengkonsumsi beberapa pil pereda rasa sakit itu, hanya berakhir jadi nilai yang hanya sedikit lebih baik dari minimal KKM kelas senilai 77.
Hanya berbeda sepuluh poin.
Hanya berbeda dua soal.
Jika ia tidak bisa menjawab dua soal lain secara tepat dan sempurna, dia akan terjebak di nilai KKM dan harus remed untuk mendapatkan nilai yang ia inginkan. Nilai yang pada akhirnya mungkin, akan memuaskan hatinya.
Tangan Nirwala terkepal di bawah meja sementara teman-teman lainnya selebrasi pada kelulusan mereka dari pelajaran trigonometri yang menyusahkan dan sulit. Tapi di sinilah Nirwa, hanya bisa terdiam, melihat kertas ulangannya dengan wajah yang entah bagaimana sampai tidak ada orang yang berani mendekat.
"Nirwa, kenapa?" Teman sebangkunya bertanya. "Remed kah?"
Nirwala menggeleng kaku, lalu menyembunyikan kertasnya di balik lembaran buku. Secepat mungkin.
"Wah, di atas delapan? Keren? Aku aja nggak sampai delapan, nih!" Teman sebangkunya memperlihatkan kertas ulangannya. Nilai 79. Dia benar. Ulangannya tidak sampai tiga poin lebih tinggi dari KKM. Seharusnya Nirwala bisa senang. Ada orang yang lebih buruk darinya. Nirwala bukanlah yang terburuk. Temannya itu melipat kertas ulangannya lagi, terang-terangan dengan rasa malu yang terlihat jelas di mata dan wajahnya. "Aku dengar Tiara dapat sembilan. Dia emang hebat banget, ya. Selalu dapat yang paling tinggi kalau matematika."
Seketika Nirwala terdiam.
Dari balik poni, matanya menyenter ke arah Tiara yang duduk di bangku paling depan.
Rolling chair, mereka selalu dapat giliran untuk duduk di bangku berbeda setiap minggunya. Sekarang Tiara yang paling depan. Minggu lalu, dia juga masih ada di deretan depan sementara Nirwala ada di deretan belakang. Mungkinkah itu berpengaruh? Mungkinkah karena dia ada di bangku belakang, makanya nilainya lebih rendah?
Ah, tidak, sekalipun dia duduk di bangku depan, selalu saja Tiara yang mencapai nilai tertinggi di kelas. Selalu saja gadis kecil itu mendapat nilai yang jauh lebih tinggi darinya.
Tapi setidaknya, jika ia duduk di depan, nilainya selalu tidak begitu jauh dari Tiara.
Benar, jadi pasti karena itu. Karena dia duduk di paling belakang selama seminggu kemarin. Karena itulah nilainya jadi sejelek ini.
Bahkan tidak sampai 90.
Meski sakit, saat menghibur diri bahwa posisi bangkunya juga salah, Nirwala merasa lebih baik.
Setidaknya, ini bukan sepenuhnya salah Nirwala karena tidak mampu. Ini karena salah bangku. Salah posisi duduk mereka. Makanya dia jadi lebih rendah dari Tiara. Lagi.
***
Nirwala meletakkan kertas ulangannya di atas meja dengan lesu. Di atas meja, terpempang kalender meja yang dilingkari merah di hari ini. Nirwala hapal tanda merah itu. Dia menyipit tak suka menatapnya.
Itu adalah...
"Ah, udah pulang, toh." Nirwala hampir saja terlonjak kaget saat suara itu keluar dari dapur. Nirwala melirik sedikit, melihat sosok sang ibu keluar dari dapur. Wajahnya kumal oleh keringat dan minyak dan aroma gorengan masih tercium jelas dari tubuhnya kala mendekati Nirwa.
Tak perlu ditanya, Nirwala sudah tahu ke mana ibunya akan langsung terfokus. Tangan Nirwala yang masih memegang kertas langsung terasa dingin.
"Udah dibagiin, ya?"
Dengan kaku, Nirwala mengangguk.
"Ulangan tanggal dua belas minggu kemarin?"
Sekali lagi, Nirwala mengangguk.
Tatapan tajam sang ibu langsung terasa membakar tangannya. Rasanya tangan Nirwala bisa lenyap bolong-bolong sekarang saking tajamnya delikan itu. Nirwala menanti dengan tegang. Ia sulit menelan ludah. Apa pun yang akan dikatakan oleh ibunya setelah ini, pastinya tidak akan—
"Masa ulangan gini aja perlu waktu seminggu buat dikoreksi? Lemot amat jadi guru! Kalau udah gak seneng jadi guru, bilangin Bu Guru kamu, tuh, suruh berhenti aja! Koreksi empat puluh orang aja lemot banget! Kerja lemot gini mana bisa keterima di perusahaan! Pantes cuma bisa jadi guru honorer doang di sekolah!"
Nirwala tidak bisa berbuat apa-apa ketika ocehan demi ocehan yang tidak ia mengerti itu keluar dari bibir ibunya. Memangnya koreksi akan makan waktu lama? Gurunya pernah mendemonstrasikan koreksi silang kepada para murid, membuat mereka bisa mengoreksi ulangan satu sama lain secara acak. Nirwala pernah mengetahui sulitnya memberi penilaian pada jawaban, terlebih matematika dalam jawaban tipe uraian. Saat itu ia hanya mengerjakan satu soal dan sudah kesulitan. Sementara sang guru pada kenyataannya harus mengoreksi empat puluh lebih kertas jawaban untuk setidaknya delapan kelas secara berkala selama seminggu. Ia rasa kelasnya juga bukan yang pertama dapat ulangan ini. Jadi, bukankah sedikit lebih lama itu wajar? Toh kelas lain juga dapat waktu yang lama. Dia juga bukannya terburu-buru sekali harus menyerahkan nilai ini, jadi menunggu sedikit itu tidak akan buang-buang waktu atau terasa percuma. Ibunya saja yang tidak sabar.
Tapi Nirwala tidak mengatakan semua isi hati itu. Dia hanya mendiamkan ibunya mengoceh. Dia tahu ibunya tak pernah punya teman cerita di rumah, jadi membuang sedikit keluh kesahnya pada orang lain sudah jadi kewajaran. Dia menyadari kebiasaan ini seperti jadi tren di kalangan ibu-ibu. Jadi dia pikir ini wajar. Ibunya ... juga butuh pelampiasan. Selama tidak ada orang yang disakiti, Nirwala akan anggap semua ini tidak apa-apa. Ini wajar.
"Cuma Delapan?"
Satu tanya itu hampir membuat Nirwala kena serangan jantung saking kagetnya. Tangannya ingin mengepal, tapi ia tidak berani. Ibunya akan menyadari perubahan sikap tubuh itu dan akan menggunakannya untuk semakin menyudutkan dirinya nanti, jadi Nirwala hanya bisa terdiam di tempat dan mengangguk.
"Minimal nilai buat lulus itu bukannya tujuh ya?"
Nirwala sekali lagi mengangguk, dengan lebih muram.
Ibunya bahkan tak melihat angka belakang. Hanya melihat angka di depannya.
Kemudian kertas ulangannya ditaruh lagi ke atas meja. Setengah dibanting sekarang. Mungkin jika kertas itu punya bobot lebih berat, akan ada suara keras yang mengiringinnya, tapi mumpung kertas itu berbobot ringan, hanya suara kuku sang ibu yang terdengar ke atas meja.
Nirwala sedikit terpaku pada kuku-kuku ibunya yang belum dipotong. Sesaat tadi, ia mengira kuku-kuku itu akan menampar pipinya lagi seperti saat TK dulu. Bukan hal aneh jika sang ibu menghajarnya lagi saat sedang emosi meski dia sudah kelas enam SD seperti sekarang. Kuku-kuku itu pernah menghajarnya berulang kali saat ia lebih kecil. Sekarang porsi tubuhnya masih kecil, jadi pasti ibunya bisa melakukannya lagi. Tapi untungnya, pemikiran itu tidak benar-benar terjadi dan Nirwala lolos hanya dengan satu omelan.
"Delapan lagi, delapan lagi. Mau jadi apa, sih, kamu? Dulu kamu gampang dapat sembilan! Sekarang dapat sembilan satu kali aja udah syukur! Kalau kayak gini, nasib ranking kamu gimana? Kamu mikir ke sana, nggak?"
Nirwala menunduk semakin dalam: "Maaf ... Ibu."
"Emang pelajarannya susah?"
Nirwala hampir tak berani menjawabnya. "Ya..."
"Alah, itu mah kamunya aja yang bego! Males belajar! Nonton TV mulu! Dengerin musik mulu!" Omelan Ibunya berlanjut. "Noh, setel musik kenceng-kenceng! Nonton TV lama-lama! Biar nilai kamu makin rendah! Biar ranking kamu turun dan nggak dapat sepuluh besar lagi!"
Nirwala hanya bisa terdiam di tempat saat semua omelan itu dicurahkan kepadanya.
"Heran, punya anak satu, hobinya males-malesan aja! Udah susah payah dibiayain, banting tulang, buat disekolahin jadi anak bener, malah asiiik aja main sendiri!" Terdengar bunyi panci cibanting. "Dasar anak nggak tau diuntung!"
Ah. Nirwala bisa menebak, mungkin ini buah dari pembicaraan intens orang tuanya semalam. Mungkin ini masalah biaya seragam dan biaya buku yang semakin mahal di semester ini. Bisa juga ayahnya ada masalah di kantor dan melampiaskan itu kepada ibunya lagi semalam. Sekarang ibunya melampiaskan hal itu kepada Nirwala.
Seperti biasa, tidak ada yang Niwa bisa lakukan menghadapi semua ini selain menerima saja semuanya.
Karena memang, dapat nilai serendah ini adalah salahnya sendiri. Salahnya yang tidak cukup mampu. Salahnya yang tidak cukup pintar.
Salahnya yang tidak cukup sempruna.
"Sekali lagi kamu males-malesan, Ibu akan bilangin bapakmu untuk singkirin handphone dan TV kamu, dengar kamu, Nirwala?!"
"Ya, Bu."
"Heran, dikasih hape bukannya dipake bener-bener! Bukannya tambah pinter, malah tambah bego!"
Nirwala menghela napas diam-diam. Ini tidak akan selesai. Dia pun buru-buru mengambil kertas ulangan itu—
"Tinggalin kertas itu di meja!" Ibunya berseru dari dapur. "Bapakmu harus lihat!"
"Ya..." Nirwala pun mengalah sekali lagi dan pamit, masuk ke kamarnya dan ... sekali lagi hanya bisa menghela napas dalam lelah. Setidaknya di dalam kamar ini, dia sendirian. Setidaknya, di dalam sini, jika ia ... menangis, tidak akan ada yang menghakiminya. Tidak akan ada tangan yang menamparnya atau mulut yang mengomelinya tanpa henti.
Anak tidak tahu diuntung, kata-kat aitu terus bergema dalam kepala Nirwala. Gadis itu jatuh melorot di lantai. Tanpa bisa berbuat apa-apa, dia menangis. Merutuki nasib. Merutuki dirinya sendiri. Di sela isak tangis, ia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Seragam sekolahnya masih terpasang. Nirwala tak pernah terasa semenghina dan sekotor ini seumur hidupnya.
Seragam itu seolah mengingatkan dan menampar dirinya. Menyadarkannya pada statusnya yang masih menjadi pengemis dalam keluarga. Dalam belas kasih orang tua. Tak akan bisa berbuat apa-apa jika ia sendirian. Ia tidak berdaya tanpa uang kedua orang tuanya.
Ia tidak akan bisa bebas dari kedua orang tuanya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro