Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Zona Baper


Ada perpisahan yang berakhir dengan kepulangan, namun ada pula perpisahan yang tak mengenal pertemuan ulang. Berpisah bisa berarti sementara, namun berpisah pula bisa berarti selamanya.

Jiver berdiri tegap di depan ruang Rektor. Ia menghela napasnya sebelum memutuskan untuk masuk. Desakan dari beberapa pihak dan ormawa selingkup kampus membuatnya pada akhirnya menemui Wakil Rektor tiga untuk membicarakan rencana yang telah disusun oleh teman-temannya. Yakni, demo penolakan eksploitasi minyak di sebuah daerah perbatasan dua provinsi di pulau Jawa. Beberapa pengurus ormawa di lingkup fakultas sudah mengurus izin pada Wakil Dekan tiga fakultas mereka masing-masing, kini tinggal gilirannya untuk menyelesaikan tugas yang tersisa.

"Saya ingin bertemu Pak Imam, beliau ada?" tanya Jiver pada Emi—sekretaris Rektor di kampusnya.

"Ada, silakan masuk."

Jiver mengangguk kecil dan masuk ke dalam ruang kerja Pak Imam. Tampak di sana beliau sedang sibuk dengan beberapa tumpukkan kertas bersama kaca mata bulat besar khas miliknya.

"Permisi, Pak Imam."

Pak Imam mendengak, matanya menyipit, berusaha mengenali Jiver, setelahnya beliau tersenyum dan mempersilakan Jiver duduk.

"Ada apa?"

"Saya ingin membicarakan mengenai perizinan pihak kampus untuk kami melakukan demo di kementrian ESDM, Pak."

Jiver menjawab dengan tegas, sementara Pak Imam memilih diam sambil mengamati laki-laki itu, beliau lantas melepas kaca mata yang sedari tadi ia gunakan, memijit batang hidungnya sejenak sebelum menjawab permintaan Jiver.

"Demo? Apa alasanmu untuk demo? Kamu pikir demo itu bisa main-main?"

"Demo ini untuk menyampaikan aspirasi mahasiswa dan rakyat, Pak. Kenapa kami memilih demo, karena aspirasi kami sudah tidak didengarkan, eksploitasi minyak besar-besaran dilakukan di daerah, rakyat tetap miskin, uang lebih banyak masuk ke perusahaan asing dan pejabat daripada ke kas negara, kalau diterus-teruskan rakyat bisa rugi, lingkungan bisa semakin hancur, satu kasus misalnya, teman-teman saya yang berasal dari daerah setempat memberi informasi jika di lingkungan tempat eksploitasi minyak tersebut menjadi kering dan panas, sehingga tanaman tembakau yang ada di sekitarnya menjadi mati dan lahannya tidak lagi subur. Sebagai mahasiswa, walaupun hanya sekedar demo, tapi ini adalah bentuk aspirasi kami, kami tidak bisa diam melihatnya."

"Apa kamu tidak pernah melihat berita? Mereka sudah diberi ganti rugi."

"Saya tahu, ganti rugi yang tidak seberapa. Hanya sekali tanam, lalu untuk seterusnya? Saya yakin, perusahaan yang bersangkutan tidak akan lagi memberi ganti rugi."

Pak Imam mengelus jambang tipisnya, ia menghela napas dan berpikir lagi.

"Bapak bilang mahasiswa adalah motor reformasi, kami adalah kaum yang seharusnya menjadi barisan paling depan untuk negara ini. Kata-kata bapak itu masih saya ingat sampai saat ini, kata-kata yang bapak sampaikan ketika pembukaan OSPEK sewaktu saya menjadi mahasiswa baru. Tidak mungkin seorang pemimpin amanah seperti bapak, hanya sekedar pencitraan, saya percaya bapak adalah orang baik, saya juga tahu dulu bapak salah satu aktivis mahasiswa yang aktif menuntut aspirasi."

"Benar. Saya memang pernah mengucapkan seperti itu, tapi demo juga bukan perkara mudah, kamu tentu tahu beberapa demo berakhir ricuh dan menelan korba, saya memang aktivis mahasiswa dulu, demo sekarang meski tidak berisiko sebesar dulu tapi tetap saja memiliki risiko."

"Saya akan berusaha tidak ada kericuhan. Sebagai mantan aktivis mahasiswa saya juga tahu bapak tidak akan membiarkan rakyat menerima ketidakadilan, pembelaan kami memang kecil, Pak, bahkan kadang tidak berpengaruh, tapi kami berusaha, kami tidak ingin diam sebagai generasi muda yang hanya memangku tangan. Dan...lagi pula, ini akan menjadi demontrasi terakhir saya di sini. Saya harap Pak Imam mengerti."

Pak Imam kembali diam, ia berdiri menatap ke arah jendela di ruang kerjanya yang menampilkan gedung-gedung kampus yang lebih pendek, dan luasnya kota sisi barat kota. Gedung rektorat adalah bangunan yang tertinggi di kampus. Pria itu menumpukan kedua tangannya di kusen jendela. Ia ingat banyak kasus demo yang menelan korban, bahkan satu ingatannya berada pada titik penculikan beberapa mahasiswa yang sampai saat ini tak menemui titik akhir, sewaktu penggulingan penguasa di era reformasi, dan ia memikirkan itu semua. Menatap Jiver, pria itu menghela napasnya. Ia percaya, Jiver bisa diandalkan.

"Silakan urus surat izinnya. Saya percaya padamu," ucapnya, membuat senyum Jiver terkembang. Ia bernapas lega.

***

Hari yang melelahkan, ia merasakan penat luar biasa dalam dirinya. seharian wara-wiri mengurus segala perizinan mengenai demo yang akan dilangsungkan minggu depan membuatnya dilanda lelah. Perkara demo dalam jumlah masa besar dan dilakukan di luar kampus memang bukan perkara mudah. Biasanya ia hanya melakukan demo di lingkup kampus saja, menolak kenaikan UKT dan menolak kebijaksanaan kampus yang tidak mau meng-ACC penurunan UKT mahasiswa, tapi demo kali ini lain urusannya, lebih lagi juga akan menjadi demo terakhir baginya. Beberapa bulan lagi Jiver sudah harus lengser dari jabatannya, sudah waktunya menyelesaikan skripsi, ia sudah kalah start dengan teman-teman sekelasnya.

Jiver memasukki rumah keluarga Keya ketika sore tiba, laki-laki itu sedang malas pulang ke rumahnya dan bertatap muka dengan papanya, mumpung bundanya sedang tak di rumah, ia pikir tak ada salahnya ia berada di rumah Keya, siapa yang akan melarang? Mereka suami istri.

"Loh Jiver, ayo masuk," kata Lastri begitu ia melihat Jiver di muka pintu.

Wanita itu terlihat semringah menyambut menantunya, hampir seminggu Jiver tak menampakkan dirinya, pikir Lastri menantunya itu pasti sibuk dengan urusan di kampus.

"Bagaimana kabar mama?"

"Alhamdulillah mama baik, kamu kelihatan nggak baik? Sudah makan?"

Lastri memberondong Jiver dengan pertanyaannya, membuat Jiver tersenyum kecil.

"Baik, Ma. Sudah. Keya ada, Ma?"

"Ada, dia di kamarnya."

"Kalau begitu, saya ke kamarnya dulu ya, Ma."

Lastri mengangguk dan membiarkan Jiver pergi menemui Keya. Sampai di kamar Keya, ia melihat istrinya itu sedang menangis sambil mengarahkan tatapannya pada layar laptop yang menampilan...drama Korea? Jiver sedikit terkejut mendapati Keya menangis, dipikirnya Keya ada masalah, tahunya gadis itu sedang menangis karena menonton drama Korea di atas kasurnya.

"Huhuhu kejam banget sih, masa ending-nya si cewek meninggal? Apaan nih, nggak kasihan sama ceweknya, gue juga, udah nonton berkali-kali masih aja nangis, najis amat."

Keya mengomeli dirinya sendiri, sambil melihat drama Korea berjudul 49 days yang sedang diputarnya di laptop. Jiver yang melihatnya sempat membatu. Satu ingatannya terusik, ia memejamkan matanya sebelum mengusir bayangan itu, rasanya sudah cukup ia bermuram durja selama ini. Yang pergi tak akan kembali, yang lenyap tak akan muncul lagi dan yang menjauh tak akan berbalik lagi untuk pulang. Tersenyum kecil, ia meraih laptop Keya dan meletakannya di atas nakas, membuat gadis itu terkejut dengan muka sembab.

"Ihhh apaan sih, Per? Tiba-tiba muncul kayak jelangkung, main asal ambil laptop gue lagi."

Keya mendumel, bukannya membujuk Keya untuk berhenti mengoceh, Jiver malah naik ke kasur Keya dan merebahkan dirinya di sana, ia menjadikan paha Keya sebagai bantal. Rasanya nyaman baginya, Keya seperti sebuah rumah yang memang dipersiapkan untuknya pulang. Sedangkan gadis itu duduk dengan kaku akibat tingkah Jiver yang tiba-tiba, ia merasa jantungnya berdetak tak semestinya, membuat ia bungkam untuk sesaat.

"Aku capek, Ke."

"Hah?"

Tidak ada tempat yang lebih nyaman untuk pulang selain seseorang yang sudah dimiliki. Ia pernah memiliki rumah, dulu—tapi rumah yang sempat dipunyainya sudah berpulang pada Tuhan. Karena kesalahanya pula, semesta membawa pergi rumahnya, membuatnya sempat terlunta-lunta, hingga semesta mengirimkan Keya dalam hidupnya. Meski, tak tahu jenis perasaan apa yang ia miliki, tapi Jiver tahu Keya memang tempat semestinya ia pulang, sekarang.

Keya duduk dalam gelisah, ia tak berani menatap Jiver yang sudah memejamkan matanya. Keya tidak tahu selama seminggu ini apa saja yang dilakukan Jiver di kampus, laki-laki itu jarang menemuinya, mungkin saja sibuk. Ia bisa melihat gurat lelah di wajah Jiver tadi, juga baju laki-laki itu yang Keya yakin adalah baju yang Jiver kenakan untuk kuliah tadi. Sebegitu sibuknyakah Jiver? Hingga mengurus dirinya saja nyaris tak bisa.

"Kok gue deg-degan sih, anjir napa lagi, sakit jantung kali ya," kata Keya.

Jiver membuka matanya, menatap Keya heran. Deg-degan?

"Kenapa? Kamu sakit jantung?"

"Hah? Gue? Sakit jantung?"

"Tadi kamu ngomong deg-degan., terus sakit jantung."

"Hah?"

Keya membeliakkan matanya, ia tadi tak sadar telah menyuarakan pikirannya. Gadis itu berdecak, pipinya bersemu merah. Otaknya sudah tak mampu mengontrol mulut sepertinya.

"Ish apaan sih nggak!"

Jiver sempat melihat gurat merah di pipi Keya, lalu ia sadar dengan posisinya yang sedang tiduran di atas pangkuan Keya, tadi gadis itu bilang ia sedang deg-degan, apa Keya merasa malu dan canggung dengan posisi seperti ini? Jiver malah terkekeh.

"Ke..."

"Apa sih?"

"Pipi kamu merah. Kenapa? Demam, atau malu?" kata Jiver dengan wajahnya yang biasa saja, seolah ucapannya tadi adalah hal yang tidak penting, ia hanya tak tahu dampak ucapannya bagi Keya.

Keya menelan ludahnya susah payah. Jiver ini mengapa mulutnya tidak bisa dikontrol, malu, tentu saja. Siapa yang tidak malu berada dalam posisinya saat ini bersama laki-laki yang katanya dipuja satu kampus, lebay, sisi lain pikirannya menyelutuk. Terlebih lagi, Keya belum pernah berada dalam posisi sedekat ini dengan laki-laki mana pun sebelumnya, tidak pula dengan para mantan pacarnya. Ia merasa rishi jika berdekatan dengan laki-laki, tapi bersama Jiver tubuhnya seperti berkhianat.

"Ishhh apaan sih lo, Per! Minggir, mau pipis gue."

"Ke..."

"Apa sihhhh..."

Keya geram, ia menatap Jiver dengan pandangan kesal.

"Mau ditemani?"

"Sialan. Nggak perlu!"

"Hahaha..."

Keya memindahan kepala Jiver dari atas pangkuannya dengan kasar, ia tak peduli sekalipun laki-laki itu berakhir dengan gegar otak, Jiver membuatnya kesal sekaligus malu hari ini. Mau apa sebenarnya laki-laki itu?

"Jangan bikin gue baper kalau akhirnya lo sama brengseknya dengan mantan-mantan gue, woi," ucap Keya dalam hati, ia lalu tertawa miris, menertawakan dirinya sendiri yang mudah baper pada laki-laki.

***

"Ma, saya boleh nginep kan?" tanya Jiver pada Lastri ketika mereka sedang makan malam.

"Kenapa harus izin sama mama? Kalau kamu mau menginap, ya langsung saja, Nak. Mama nggak akan ngelarang kamu, anggap saja kami keluargamu sendiri."

"Terima kasih, Ma."

"Nginep, Ma? Mau tidur di mana? Kamar kosongnya kan udah mama jadiin gudang semenjak papa pindah tugas ke Bandung karena nggak dipakai ruang kerja lagi," ucap Keya menggebu, ia tak terima Jiver menginap, Keya yakin hidupnya akan rusuh jika ia terus-terusan berada di dekat Jiver.

"Loh mantu-mantu mama juga, terserah dong, mau nginep di sini. Ya tidur sama kamulah, masa sama mama? Yang istrinya kan kamu," ucap Lastri, Keya menggeleng tidak terima.

"Ogah, Ma! Nggak mau! Ih mama..."

"Keyaaa..."

Lastri melotot, menatap Keya dengan tatapan peringatan.

"Kalau Keya nggak mau, saya bisa tidur di sofa saja, Ma."

"Nggak, nggak bisa. Keya ini harus bisa dewasa dan nggak kekanak-kanakan. Memang kenapa kalau kalian tidur bersama? Sudah halal juga."

Keya memberengut, ia tak bisa membantah. Selalu seperti ini, mama adalah sosok yang mampu mengendalikannya, jika mamanya sudah berkata A atau B, maka ia harus menurut. Karena Keya anak tunggal, sejak kecil ia sudah didik untuk selalu patuh pada mama dan papanya, meski sikap manjanya sebagai anak tunggal masih tampak, namun, sebagai anak ia cukup penurut.

"Kalian habiskan makannya, lalu cepat istirahat. Nanti ambilin baju Kak Dinno di lemari belakang buat Jiver, Ke."

Dinno adalah sepupu Keya yang sempat tinggal dengan keluarga Keya ketika menyelesaikan kuliahnya dulu.

"Iya," balas Keya ketus, ia tak sadar Jiver sedari tadi sibuk menahan senyumnya.

Usai makan malam, Keya mengambil baju milik Dinno untuk dikenakan oleh Jiver. Keya pikir malam ini akan menjadi waktu yang panjang bersama Jiver. Karena ia harus berada dekat dengan laki-laki itu sementara ia mulai bingung dengan perasaannya sendiri.

Keya masuk ke dalam kamarnya dan tak menemukan Jiver berada di sana, gadis itu mengendikkan bahunya tak peduli, sampai ketika Keya melihat Jiver sedang berada di balkon kamarnya, tampak merenungi sesuatu, laki-laki itu sedang menatap malam tanpa bintang, karena memang sedang mendung.

Ia memerhatikan Jiver sejenak, ada gurat kesedihan yang tampak samar di wajah laki-laki itu, entah mengapa, membuatnya sedikit terusik, lalu ia memutuskan untuk berjalan menghampiri Jiver sambil membawa kaus dan celana training milik Dinno.

"Per...lo lagi sedih?"

"Nggak."

"Lo nggak pernah cerita apa-apa ke gue, kata mama suami istri itu harus saling terbuka, itu kalau lo ngakuin pernikahan kita sih."

Jiver tertawa kecil, ia mengalihkan tatapannya dari langit malam, dilihatnya Keya yang sedang berdiri di sampingnya.'

"Memang kamu mengakuiku sebagai suamimu?"

Keya melongo, ia melihat setengah hati ke arah Jiver. Benar juga, bukannya dirinya sendiri yang tak mau mengakui Jiver sebagai suami?

"Ish bukan gitu maksudnya, oke urusan kemarin gue minta maaf, tapi lo tahu kan kalau mereka tahu kita nikah, gimana hebohnya orang-orang satu kampus, dan gue belum siap jadi bahan gosip."

Tertawa, Jiver menatap jenaka pada Keya. Ia tahu alasan Keya dan ia mengerti, hanya ingin menggoda Keya, Jiver suka melihat wajah cemberut Keya. Kalau ada yang bertanya apa ia menyesal telah menikahi, Keya, dengan lantang, Jiver akan menjawab tidak, ia tidak pernah menyesal, sewaktu dulu mamanya meminta dirinya untuk menikahi Keya. Kenyataannya, menikah dengan Keya adalah satu-satunya permintaan dari keluarganya yang tak pernah ia sesali sampai saat ini.

Ketika pertama kali melihat Keya dari selembar foto yang diberikan oleh mamanya, Jiver tahu, gadis inilah yang harus ia lindungi sampai akhir, Jiver seperti melihat sosok lain dalam diri Keya persis sepertinya, namun bukan karena itu, tapi karena ia tahu Keya adalah takdirnya, semesta mengirimkan Keya padanya saat ia membutuhkan bukan ketika ia menginginkan, seperti Tuhan mengirimkan Rania dulu karena ia menginginkan Rania, namun dengan Keya, lain perkara.

"Kamu bisa panggil aku Mas Jiver mungkin, jangan memanggilku dengan sebutan lo-gue, kamu istriku, Ke."

"Nggak mau. Apaan mas-mas, cukup mama pernah maksa dulu, nggak bisa tahu manggil lo pakai sebutan mas mah, aneh lidah gue."

"Kalau begitu, aku-kamu jangan lo-gue. Bisa kan?"

Keya berpikir sejenak, kata-kata Jiver memang ada benarnya juga. Mereka sudah menjadi suami istri, masa iya ia terus-terusan memanggil Jiver dengan cara tidak sopan seperti itu.

"Yaudah gu—eh aku coba."

Jiver tersenyum lagi, membuat jantung Keya semakin kembang kempis. Ia pikir akan kehilangan napasnya sebentar lagi. Apa ia sudah masuk dalam zona baper dari seorang Jiver Erlangga Ajidarma? Mungkin saja. Keya bahkan tak bisa berkutik ketika Jiver memeluknya setelah mereka diterpa keheningan tadi, tahu-tahu laki-laki itu mencium puncak kepalanya dan memeluknya cukup lama, bersama malam tanpa bintang dan sejuta pertanyaan dalam hati Keya sendiri. Sedalam apakah zona baper yang sudah ia masuki? Keya takut ia masuk ke dalam zona baper yang berbatasan dengan zona suka lalu mencapai dasar zona yang bernama cinta.

Orang bilang, cinta berawal dari baper dan menjadi rasa sayang, syukur-syukur kalau bisa saling bersama, kalau yang mencintai hanya satu pihak, maka sudah dapat dipastikan pihak yang lain akan menerima luka.

Dan Keya tidak mau.

"Jangan hilang, jangan pergi, tetap temani aku ya, Ke. Sampai kita bisa bahagia sama-sama," kata Jiver, serupa bisikan angin malam, membuat Keya membatu saat itu, pikirannya mendadak buyar, permintaan Jiver seakan menjadi magis, laki-laki itu seperti buah manis dalam hidupnya. Keya pikir, ia mendekati zona nadir.


***

IG Keya : KeyanaMarleni

IG Jiver : JiverErlangga

Terima kasih yang sudah mau membaca dan menunggu gue update, maaf ya lama, gue mau UTS dulu jadi updatenya kalau udah selesai UTS. bye bye...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro