Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

She's My Wife

Meski dia yang menjadi titik awal dari perjuangan saya, tapi kamu adalah akhir dari segala perjuangan saya.
***

Jiver bersikap tak acuh terhadap orang-orang yang menatapnya heran ketika ia tak kunjung keluar dari ruang kesehatan. Keya masih terbaring lemah di atas brangkar usai diberi pertolongan pertama oleh panitia kesehatan dan seorang tenaga kesehatan yang berjaga di sana. Katanya, Keya mengalami kelelahan dan kurang tidur sehingga kondisi badannya menjadi drop.

Beberapa panitia kesehatan perempuan dan beberapa maba sakit yang ada di sana sibuk berbisik membuat hipotesis tentang Jiver yang menunggui seorang mahasiswa baru bernama Keyana, masih ada dalam benak mereka bagaimana tadi Jiver membuat heboh dengan tindakannya yang menggendong Keya dari atas panggung dan ditambah menunggui Keya saat ini.

Jiver mengalihkan tatapannya dari wajah pucat Keya begitu Amir menyibak tirai setengah tertutup di mana Keya berbaring di atas brangkar. Amir menaikkan sebelah alisnya, menatap Jiver heran sekaligus penasaran.

"Lo kenal dia?"

Amir berkata. Jiver tak langsung menjawab, ia memilih menyeka keringan dingin yang keluar dari pori-pori di dahi Keya.

"Ver..." Kata Amir lagi.
"Penting buat lo?"
"Yaelah kan penasaran gue."

Jiver terkekeh kecil, melempar tatapannya pada Amir tanpa menjawab pertanyaan Amir.

"Lo suka sama dia?"
"Lo tahu jawabannya."

Jiver tersenyum masam. Amir menghela napasnya malas. Ia paham maksud Jiver.

"Ahela ribet ya ngomong sama lo kayak ngomong sama cewek PMS muter-muter malah bikin naik darah. Sue lo!"

"Mulut lo perlu dijahit, Mir."
"Lah..."
"Jam ishoma sudah habis, sana balik ke acara."

Jiver mengibaskan tangannya--mengusir Amir, membuat laki-laki itu mendengus lalu pergi meninggalkan Jiver bersama Keya. Jiver melihat lagi sisa tempat yang tadi menjadi titik Amir berdiri, laki-laki itu lantas berdiri dan menutup kembali tirai yang tadi sempat dibuka oleh Amir.

"Ehhhmm...aduh pusing," kata Keya pelan.

Jiver melihat istrinya yang sudah terbangun, ia tersenyum kecil sambil menghampiri Keya yang tampak linglung.

"Pusing ya?"

Keya mendengus, ia menatap enggan pada Jiver. "Lo kok di sini? Ngapain coba?"

"Suami yang baik harus menunggu istrinya yang tadi pingsan di panggung."

Lalu, Jiver tertawa lagi.

"Eh eh eh...bukan lo kan yang tadi bawa gue ke sini?" Pekik Keya, seakan tersadar sesuatu.

"Memang siapa lagi?"
"Anjir! Matek, Perrrrr...kenapa kudu lo coba?"
"Kenapa?"

Keya mengusap wajahnya, seperti orang frustrasi.

"Ntar gue dikroyok fans lo gimana? Gue gak mau dibenci cewek sekampus kali!"

"Jangan berlebihan. Ini bukan novel teenlit yang biasanya kamu baca, ini kehidupan nyata, nggak ada istilah begitu, Ke."

Jiver tertawa membuat muka Keya merah padam.

"Mas Jiver disuruh ke panggung, ada Pak Rektor tadi," kata seorang panitia kesehatan membuat Jiver lalu menoleh.

"Ya, sebentar."

"Udah pergi sana," kata Keya setelah panitia kesehatan berjenis kelamin perempuan tadi pergi.

"Jangan pingsan lagi, nggak pantes. Biasanya kan kamu garang, tapi bisa pingsan begitu haha..."

"Garang? Sialan lo kira gue kucing?"

Jiver mengangkat kedua bahunya sambil menahan tawa dan pergi meninggalkan Keya.

***

Sebal! Rasanya Keya ingin menangis, hari terakhir yang seharusnya dijadikan ajang hura-hura, terbebas dari aturan Ospek Fakultas yang mengekang malah membuat Keya terbaring sakit. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, sebentar lagi acara serangkaian Ospek Fakultas akan berakhir--tidak benar-benar berakhir, tapi lima hari Ospek utama sudah selesai, meski katanya masih ada serangkaian Ospek lain , termasuk Ospek jurusan sampai satu semester ke depan.

"Dek Keya ada yang jemput?"

Suara Jia--salah satu panitia kesehatan membuat lamunannya berhamburan.

"Eh iya, Mbak. Aku nelfon mama dulu deh."

"Gimana kalau diantar Kak Faris aja? Udah malem juga, kamu lagi nggak sehat gini, nanti kelamaan nunggu mamanya."

"Mas Faris?" Keya membeo.

"Ris! Faris, sini deh. Anterin Dek Keya ya?"

Jia berseru, beberapa waktu setelahnya seorang laki-laki berambut cepak datang ke ruangan tempat Keya berbaring.

"Bisa kan nganter Keya?"
"Oh oke."

Faris tersenyum manis pada Keya, membuat Keya salah tingkah. Senyumnya memang tidak semanis senyum milik Jiver, tapi tipe wajah Faris ini tipikal orang kalem dan bisa membuat hati siapapun adem jika melihatnya.

'Gantengan Jiver, ademan Jiver kali.'

Suara lain dari pikiranya tiba-tiba saja menyahut. Membuatnya tak terima.

"Ayo Mbak bantu kamu berdiri."

Jia lantas membantu Keya berdiri dan tasnya dibawakan oleh Faris. Keya berjalan sedikit pelan dengan bantuan Jia, kepalanya masih pusing meski sudah beberapa jam beristirahat. Beberapa pasang mata tampak melihatnya sepanjang ia menuju parkiran di mana motor Faris berada. Ia berpikir mungkin saja orang-orang sudah mengenalinya akibat insiden Jiver menggendongnya tadi. Jika ingat, rasanya Keya ingin mengelupas wajahnya saja dan mungkin mengganti wajahnya dengan wajah--Gigi Hadid misalnya. Sedetik kemudian ia menggeleng pelan, tidak...ia bangga pada wajahnya, meski tidak secantik Gigi Hadid, tapi wajahnya adalah anugerah Tuhan yang harus ia syukuri.

"Kamu pulang denganku."

Entah datang dari mana, ataukah dirinya yang tidak sadar tapi Jiver sudah berada di depannya, Jia dan Faris--menghalangi jalan menuju parkiran.

"Loh Mas Jiver?" Tanya Jia terkejut.
"Biar saya yang mengatar dia pulang."

Kemunculan Jiver membuat Jia dan Faris terkejut saat tiba-tiba laki-laki itu mengambil alih Keya dan menggendong gadis itu menuju parkiran, menimbulkan tanda tanya besar di benak kedua manusia yang masih terdiam di tempat itu.

"Aku pikir Mas Jiver sejenis mahluk homosiensis. Tahu kan maksudku?"

"Sama, kupikir juga begitu...ternyata nggak begitu, ya? Tapi tadi Jiver kan bukan setan?"

"Ih Mas Faris! Mulutmu, udah malem loh, ngawur aja ngomong-ngomongin setan. Ntar ada kunti nemplok tahu rasa loh."

"Kamu kuntinya," kata Faris sambil berlari meninggalkan Jia, membuat gadis itu memekik ketakutan.

***

"Perrrrrr! Apaan sih main gendong, lo pikir gue karung beras?"

Protes Keya begitu Jiver menurunkannya di atas jok mobil.

"Bukan, tapi mirip."
"Huaaaaa resekkkk! Jadi, maksudnya gue tuh gendut?"
"Kamu sendiri yang bilang."
"Ihhhhh kesel! Punya suami ngeselin banget sih, gue sebel sama lo, Per."

Jiver hanya tertawa, bersama Keya membuatnya lebih sering tertawa, menumbuhkan sesuatu yang baru dalam hidupnya yang sudah ia anggap padam sebelumnya.

Mereka ditempa keheningan setelahnya. Keya sesekali menatap ke arah Jiver, terlintas dalam pikiran Keya mengapa Jiver membawa mobil, tumben...biasanya dia pakai motor.

"Mobilnya Amir, nggak mungkin aku membawamu naik motor sementara kamu sakit," kata Jiver seakan menjawab pertanyaan tanpa suara dari Keya.

"Tumben baik."
"Memang kapan aku jahat?"
"Tiap hari."
"Gitu? Seingatku kita hanya bertemu akhir pekan saja, kenapa bisa setiap hari aku jahat sama kamu, Ke?"

Keya tergagap, wajahnya tiba-tiba saja memerah.

"Karena gara-gara lo gue nggak bisa hidup bebas lagi, kan masih pengin pacaran, masih pengin jalan sama temen, masih pengin bebas, eh malah nikah gini."

Terkekeh pelan, Jiver mengelus rambut Keya sejenak. "Kalau kamu mau pacaran, kita bisa pacaran, malah pacaran yang halal kan. Kalau kamu mau kebebasan, aku nggak melarangmu keluar dengan teman-temanmu asal tahu batasan. Lalu, apa yang kamu permasalahkan?"

Keya menelan ludahnya, ia tak lagi menjawab, lebih memilih mengalihkan tatapannya dari Jiver dan pura-pura memejamkan matanya. Entah mengapa ia merasa aneh, ia mulai merasa ada sesuatu yang salah dalam dirinya, sesuatu yang salah tentang kedekatannya dengan Jiver saat ini.

***

"Keya tadi sakit, Ma," ucap Jiver pada Lastri, setelah membawa Keya yang tertidur di mobil Amir ke kamarnya.

"Anak itu, sudah mama duga. Sejak kecil ya begitu itu, Ver. Sering sakit kalau sudah kecapaian. Kelihatannya saja kuat tapi gampang sakit."

"Maaf ya Ma, saya tidak bisa menjaga Keya dengan baik."

Lastri menggeleng. "Jangan begitu, dia memang sudah biasa begitu, Ver. Mama percaya, kamu sudah menjaganya dengan baik."

Jiver tersenyum pada Lastri.
"Kalau begitu, Jiver pamit, Ma."
"Kamu nggak nginep di sini aja?"
"Saya masih ada perlu di kampus, Ma."

Lastri mengangguk lalu mengantarkan Jiver ke halaman depan.

"Hati-hati Ver, sudah malam."
"Iya, Ma. Assalamualikum."

Lastri tersenyum tipis menatap kepergian Jiver, lalu, cerita tentang Jiver berkelebat begitu saja dalam ingatannya ketika menatap bayangan tubuh Jiver yang sudah menghilang, membuat Lastri tertegun dan rasa iba yang tiba-tiba saja lahir. Sebelum menutup pintu ia berdoa semoga saja Keya bisa membawa kebahagiaan bagi Jiver.

Jiver menggenggam erat stir mobil Amir, peluhnya menetes cukup deras meski AC mobil sudah disetel ke suhu yang paling rendah. Ingatannya terusik, bayangan itu tiba-tiba saja datang lagi, membuat tubuhnya mengigil. Dengan tangan gemetar, Jiver menepikan mobilnya di bahu jalan, ia meraih ponselnya, menghubungi seseorang di seberang.

"Ha--halo..."
"..."
"Jemput gue, Mir."

Jiver dapat mendengar dengan jelas suara umpatan Amir yang hanya menjadi alunan tak berarti baginya.

***

"Udah gue bilang, lo itu masih dalam tahap 'sembuh', siapa suruh bawa mobil? Gue tadi sudah peringatin lo."

Amir mengomel, tak membiarkan Jiver menikmati secangkir kopinya dengan tenang. Sedangkan sosok lainnya, yang diketahui bernama Yonat--teman satu kelas mereka terlihat tak begitu berminat mendengar pembicaraan mereka, ia sibuk video call dengan pacarnya. Maklum--nasib orang LDR, hanya bisa menumpas rindu lewat layar ponsel.

"Lo dengerin gue nggak?"
"Lo mirip Mbok Sinah yang lagi ngerumpi pas belanja di tukang sayur," sahut Jiver, menyebut nama pembantunya di rumah. Telinganya panas mendengar ocehan Amir sedari tadi.

"Lagian lo bawa mobil cuma buat nganterin itu maba, emang dia siapa lo? Pacar? Gebetan? Yaelah alay lo, ini masih Ospek sudah main sepik."

Jiver memilih diam sebentar, semakin malam warung Mbak Supik bukannya sepi justru semakin ramai oleh mahasiswa yang kebanyakan sedang ngopi sambil nongkrong.

"Gue akan jadi suami durhaka kalau nelantarin dia."

Brushhh

"Sialan!"
"Wajah ganteng gue."

Jiver menatap Amir tajam sedangkan Yonat--laki-laki yang tadi duduk di samping Jiver mengusap wajahnya yang basah akibat semburan es kopi susu Amir. Mata Amir masih membeliak menatap tak percaya pada Jiver.

"Kira-kira dong Mir, sialan lo. Nih lihat wajah gue," omel Yonat tak dihiraukan Amir.

"Bego, ngaco lo Ver. Lo kebelet nikah, sampai anak orang lo akuin bini lo?"
"Dia memang istri gue. Ada masalah?"

Amir geleng-geleng kepala sambil nyebut tujuh kali. Mulutnya setengah terbuka melihat sok drama pada Jiver.

"Lo nggak lagi sakau kan?"
Jiver menggeleng, tanpa menjawab.

"Lo buntingin dia? Tsahhh...nggak nyangka gue, ternyata lo juga punya otak ngeres, kirain lo udah nggak normal."

"Bayarin, gue pergi."

Lagi-lagi Jiver tak menjawab pertanyaan Amir, ia membiarkan Amir berada pada zona kebingungannya, membuat hipotesis atas dirinya yang pasti salah kaprah. Laki-laki itu pergi, meninggalkan Amir yang berteriak memanggilnya, serta Yonat yang sibuk mengelap noda kopi susu di wajah dan kausnya.

Satu hal yang saat ini Jiver butuhkan. Melepaskan segala buah pikir dalam hatinya dan mungkin...berdamai dengan masa lalunya. Semoga...

TBC
Kita-kira kalau castnya Jiver Adipati Dolken Keyanya siapa ya?
Gue cuma bisa update seminggu sekali. Jadi...semoga maklum. Btw sorry kalau part ini agak aneh wkwk fokus ngetiknya kebagi gara-gara terlalu banyak lihat cogan di PTC :v *canda wkwk jan lupa follow ig mas jiper @jivererlangga yap

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro