Secarik Puisi
song: konspirasi alam semesta by Fiersa Besari
Sebab, jika cinta itu sederhana, mencintaimu tidak akan membutuhkan proses. Mencintaimu akan semudah melahirkan perasaan rindu, bukan sesulit menghapus kehilangan.
***
"Ke..."
"Keya..."
Tak ada sahutan. Jiver melirik ke kaca spion motornya, punggungnya pun terasa berat. Ia tersenyum kecil, menyadari jika Keya tertidur di tengah perjalanan dengan posisi memeluk tubuhnya dan kepala di sadarkan di punggungnya.
Laki-laki itu lalu turun perlahan dari motor dan menggendong Keya yang tak juga terjaga. Ia berjalan memasuki rumah dan mendapati Lastri sedang duduk di ruang tamu sambil membaca majalah wanita dengan wajah seriusnya.
"Loh, Keya kenapa, Ver?" tanya Lastri, ketika ia menyadari suara langkah seseorang memasuki rumah.
"Tidur, Ma. Aku antar ke kamar dulu, Ma."
"Syukurlah, mama pikir ada apa. Ya sudah, kamu antar dia ke kamar."
Jiver mengangguk kecil, dan membawa Keya ke kamarnya. Ia merebahkan tubuh Keya di tempat tidur bergambar Barbie milik gadis itu, lantas, diselimutinya tubuh Keya hingga sebatas dada. Ada segurat senyum yang diukir laki-laki itu, ia menatap Keya untuk beberapa menit, lalu Jiver beranjak ke arah meja belajar Keya. Diambilnya selembar keras dari binder dan ia menuliskan sesuatu di sana.
Cinta bukan alasan kamu hadir
Adalah takdir
Yang menjadikan kamu ada
Yang merancang kita bersama
Pada garis-garis tak kasat mata
Yang membelenggu dalam asa
Mengadakan yang dulu tiada
Dan persatukan yang dulu beda
Adalah kamu...
Keharusan yang tak lagi kusemogakan
Keharusan yang kini kuperjuangkan
Adalah kamu...
Hati yang harus kugenggam.
-Jiver Erlangga A-
Laki-laki itu lalu melekatkan double tip pada sisi belakang kertas dan menempelkan kertas itu di kaca rias milik Keya. Ia kembali mendekat pada Keya, mengamati gadis itu lagi seperti tadi. Dikecupnya dahi Keya untuk beberapa waktu yang berlalu. Ia telah berjanji akan menjaga gadis ini, istrinya, janji seorang laki-laki yang sebisa mungkin ia tepati. Namun, manusia memang boleh bejanji, akan tetapi, Tuhan adalah pengatur segela kehendak yang ada dalam semesta. Ada janji yang tidak bisa ditepati bukan karena tidak ingin, tapi karena Tuhan tidak memberi restu.
"Andai perasaan sesederhana bikin puisi, semuanya nggak akan serumit ini, Ke. Aku nggak janji buat segera jatuh cinta seutuhnya denganmu, tapi yang bisa kujanjikan adalah, doaku yang selalu menyebut namamu, Keyana."
Sekali lagi Jiver mencium kening Keya, sebelum ia beranjak meninggalkan perempuan itu, meninggalkan sejenak kegundahan hatinya dan gurat lelah yang sudah tak bisa lagi ia rasa. Pintu kamar Keya tertutup pelan, menimbulkan sedikit decitan, membuat sepasang mata terjaga, sepasang mata hitam kecokelatan milik Keya. Sepasang mata itu mengerjap, tanpa menyerukan mulutnya untuk berkata, ia hanya menarik napas, mencoba mengurai kekhawatirannya, yang entah bersumber dari mana.
***
Keya mengembuskan napasnya. Membuang segala perasaan tak nyaman dalam hatinya. Hari ini Jiver pergi ke istana negara--yang awalnya direncanakan di kementrian ESDM, untuk melakukan unjuk rasa bersama anak-anak ormawa lainnya. Kemarin malam laki-laki itu bilang jika demo ini akan diselenggarakan oleh hampir seluruh perwakilan organisasi mahasiswa se-Indonesia. Berita sudah disebar di mana-mana, televisi, surat kabar, portal online dan segala macam media massa nasional sudah menyiarkan berita ini semenjak kemarin. Awalnya memang demo ini tidak begitu menyita perhatian Keya, meski ia sudah mendengar selentingan perihal demo yang akan dilaksanakan selingkup ormawa kampusnya, namun begitu ia tahu demo itu berskala nasional, perasaan kalutnya kian membuncah. Berbagai pikiran negatif hinggap di kepalanya, memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Ia ingat, sepupunya Dinno pernah mengikuti demo seperti itu dan berakhir di rumah sakit karena terkena luka pukul benda tumpul oleh masa. Dinno bahkan sempat mengalami koma selama dua hari, mengingat hal tersebut Keya mendadak lesu.
"Lo kenapa, Ke?" tanya Maya membuyarkan lamunan Keya.
"Nggak, gue nggak papa, cuma kepikiran tugasnya si dosen princess yang gueila naudzubillah itu. Gila nggak sih esai kemarin aja belum selesai eh udah ada tugas kelompok presentasi, udah gitu tiap selesai presentasi selalu ada kuis, gue rasanya pengin nari salsa di bundaran HI dah, nggak nyangka kuliah seberat ini, kirain tugasnya nggak kayak gini, tinggal duduk, nongkrong, makan di kafe, pergi ke perpus."
Keya nyerocos, ia baru tahu jika kuliah serumit ini. Di pikirannya dulu kuliah tidak seberat ini, Keya hanya tidak menyangka dalam satu minggu hampir sebagian besar waktunya digunakan untuk mengerjakan tugas.
"Elahh baru semester satu, kata mbak kost gue, kalau semester satu tuh masih mending, bisalah nyatai dikit, buktinya ngemall tiap minggu masih sempet kan, tugas juga cuma esai dan presentasi, noh masuk semester empat ke atas, pengin nikah bawaannya kalau ketemu tugas sama dosen horror." Maya menanggapi.
"Duet dosen princess sama dosen prince memang terbaik ya, May. Gila gila, untung DPA gue nggak setim sama mereka."
"DPA lo siapa emang?"
"Pak Arif."
"Gue yang mati, DPA gue Bu Princess, gimana ya ntar skripsi gue?"
Keya mengendikkan bahu, kepalanya pening lagi. Ia memilih untuk diam saja sambil mendengar Maya ngobrol dengan Lili yang baru saja bergabung dengan mereka di kantin. Pikirannya kembali terpusat pada Jiver, laki-laki itu bagaimana nasibnya?
"Ke, lo mikirin Kak Jiver ya? Sepupu lo yang guanteng itu?" kata Lili sambil terkikik.
Keya mendengus, ia menghiraukan Lili, jika ditanggapi bukan tidak mungkin Lili dan Maya akan merengek minta ID LINE Jiver seperti yang sudah-sudah, ya enak saja, Jiver kan suaminya, miliknya, mana rela ia berbagi.
Ia memilih mengedarkan pandangannya di penjuru kantin. Siang ini kantin tampak sepi, anak-anak ormawa yang biasanya nongkrong mendadak menghilang karena demo, tidak ada bau asap rokok yang diembuskan atau bau secangkir kopi hitam yang khas dari arah gazebo kampus, semuanya tampak lengang.
Pandangan mata Keya jatuh pada seorang perempuan di salah satu sudut kantin yang sedang celingukan mencari kursi untuk duduk. Ia datang seorang diri dengan lipstick merah yang menempel di bibirnya.
"Alia! Sini gabung!" teriak Keya membuat Lili dan Maya menatapnya heran.
Alia menoleh, ia tersenyum pada Keya dan menghampiri gadis itu. aroma lavender menguar dari tubuh Alia ketika ia duduk di samping Keya, senyum semringahnya tercetak di bibir merah merekah perempuan itu.
"Makasih ya, udah ngajakin gue gabung," kata Alia, ia menatap Maya dan Lili.
"Alah kayak sama siapa aja sih, santai aja hehe."
Maya menyikut Keya, yang dibalas Keya dengan pelototan matanya.
"Eh, gue pesen makan dulu ya."
Keya mengangguk, diiringi kepergian Alia. Maya dan Lili berdecak, mereka menatap horror pada Keya.
"Buset lo serius ngajakin dia gabung? Lo nggak tahu gosip tentang dia?"
"Apaan?"
"Dia itu ayam kampus."
"Apaan ayam kampus? Yang gue tahu ayam goreng, enak tuh."
Keya mengernyit, membuat Maya mendelik dan Lili gemas karenanya. Keya ini entah polos atau memang berpura-pura bodoh.
"Lo bego apa polos sih? Ayam kampus ya kek pelacur gitulah, elah. Cuma operasinya di kampus."
"Ngaco, dia itu maba loh. Kalian sih lambe turah dasar."
Lili memutar kedua bola matanya. "Temen gue anak akuntansi noh se-SMA sama dia, katanya sering dibawa om-om."
"Serius?" seru Keya, cukup terkejut. Penampilan Alia memang mendukung gosip itu untuk berkembang, namun Keya tidak menyangka kebenaran dari gosip tersebut yang ternyata fakta.
"Mungkin dia punya alasan buat itu.," kata Maya yang diangguki oleh Lili dan Keya—ia masih memikirkan ucapan Lili tadi. Namun seperti kata Maya, selalu ada alasan di balik seseorang yang melakukan tindakan menyalahi norma seperti itu.
"Hei, kalian udah ngerjain tugas pengantar bisnis belum?"
Alia datang bersama nampan yang berisi sepiring nasi goreng dan segelas es kelapa yang dibawanya dari salah satu stan di kantin itu. Maya terlihat meringis, Lili mengacuhkan—ia sibuk bermain ponselnya, dan Keya, gadis itu tersenyum menampilkan deretan giginya.
"Belum nih, lo udah?"
"Udah sih, tapi belum semua," kata Alia sambil menyendok nasi gorengnya.
Keya berpikir lagi, ia hanya tak habis pikir saja, Alia itu salah satu mahasiswi cerdas dan cukup aktif di kelas ketika dosen bertanya atau mereka sedang berdiskusi. Bagaimana mungkin sosok yang terlihat pintar dan berpendidikan seperti Alia melakukan hal seperti itu?
"Tahu nggak? Kakak gue semalem telepon, dia kan lewat daerah gang dolly, eh katanya masih ada PSK yang buka jasa tapi sembunyi-sembunyi gitu, kalau dulu kan terang-terangan di pajang di etalase. Gila ya, udah dibasmi juga masih aja kayak gitu," ucap Lili, ia melirik sinis pada Alia.
Alia makan dengan tenang, seakan tak mendengar ucapan Lili yang jelas menyindirnya.
"Gila, ngapain kakak lo lewat sana?" sahut Maya, menatap ngeri pada Lili.
"Yaelah kakak gue kan emang kuliah di Surabaya, lewat sana buat apa ya mana gue tahu? Kali aja buat observasi, kan sering daerah sana dijadikan bahan tugas sama mahasiswa."
"Gue udah selesai, cabut dulu ya," ucap Alia. Ia mengambil tasnya dan pergi begitu saja meninggalkan kantin, meninggalkan nasi gorengnya yang baru ia lahap lima sendok, dan segelas es kelapa yang masih utuh.
"Al...makanan lo kan belum habis," teriak Keya, Alia hanya berbalik sekilas sambil bergumam tidak jelas lalu pergi lagi.
"Li...lo kok gitu sih? Kasihan tahu."
Keya menatap sebal pada Lili. Tak ingin berdebat lagi, Lili memilih untuk diam saja dan mengindari tatapan Keya.
"Eh, gengs astaga, gue baru baca berita di HP nih, demo mahasiswa ricuh anjay. Demo gabungan ternyata dari organisasi mahasiswa se-Indonesia, lah, gimana nasib anak kampus kita?"
Maya berteriak sambil menunjukkan layar ponselnya pada Keya dan Lili, membuat tubuh Keya mendadak menjelma menjadi batu dan mengosongkan segala jenis kekhawatiran yang berganti menjadi ketakutan. Dalam pikirannya, nama Jiver datang silih berganti, ingatan tentang laki-laki itu dan secarik kertas berisi puisi yang ia temukan pagi tadi tiba-tiba saja menghantui kepalanya. Keya tercekat, titik air matanya tiba-tiba saja jatuh.
***
"Siapa kita?"
"Kami mahasiswa Indonesia siap membela kebenaran atas ketidakadilan yang menindas rakyat!"
"Hidup mahasiswa!"
Seru-seruan dan nyanyian lagu-lagu kebesaran mahasiswa menggema. Tempat lokasi yang semula di kementrian ESDM berubah di istana negara karena dinilai lebih tepat untuk menyuarakan aspirasi mereka. Sesuai kesepakatan dengan aliansi organisasi mahasiswa se-Indonesia pula, maka diputuskan lokasi acara berubah dari rencana awal. Demo tidak jadi dilakukan sendiri oleh perwakilan ormawa di kampus Jiver, tapi menjadi demo besar, karena para mahasiswa ormawa yang menjadi perwakilan menyetujui untuk menyelenggarakan demo gabungan yang dirasa mereka akan lebih terlihat hasilnya daripada berdiri sendiri.
Mereka dirampas haknya,
Tergusur dan lapar,
Bunda relakan darah juang kami,
Tuk membebaskan rakyat
Lagu darah Juang yang dinyanyikan oleh para demonstran menggema silih berganti dengan lagu-lagu kebesaran mahasiswa lainnya. Mereka membawa spanduk, yang berisi tuntutan dan harapan pada pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus eksplorasi minyak di daerah yang menuai kerugian bagi rakyat.
"Jangan ada Freeport kedua, kami menolak Freeport kedua di negeri ini. Tanah ibunda sudah seharusnya dibiarkan lestari dan tidak dieksplorasi demi kepentingan asing secara tidak wajar, rakyat buntung, negara lain untung!" teriak suara salah seorang korlap dengan toanya yang menggema, membakar semangat mereka.
Jiver berdiri di deretan paling depan, ia mengikat kain merah putih di kepalanya, turut menyerukan aspirasi-aspirasi mereka yang sedang diperjuangkan. Mereka terus berorasi tak peduli meski aparat berulang kali menyerukan untuk tidak ricuh. Suara-suara mereka tak gentar meski terik matahari membakar kulit.
Sampai salah seorang di antara mereka membuat kericuhan dengan menyerang aparat keamanan karena terus didesak untuk mundur, ricuh yang disebabkan oleh satu orang tersebut berbuntut panjang, lontaran gas air mata pun tak bisa dihindarkan. Jiver yang berdiri di posisi depan terkena gas air mata yang membuat matanya perih, demo yang semula tertib menjadi ricuh, saling serang antara aparat keamanan dan mahasiswa tak bisa dihindarkan. Para demonstran masih bergerak maju, saling serang. Beberapa peluru ditembakkan ke udara. Jiver yang hendak menghindari suasana kalut tersebut justru terdorong oleh rekannya secara tidak sengaja.
Ia terduduk di tengah kericuhan, beberapa kaki mahasiswa menginjak tubuhnya. Laki-laki itu mencoba berdiri, namun ia kembali terdorong. Suasana kian tak kondusif, bunyi sirine mobil polisi saling bersahutan, suara klakson-klakson milik mobil yang saling berkejaran menghindari demo pun tak luput dari pendengarannya. Sedang, para pedagang asongan yang semula berada di bahu jalan pelan-pelan menepi untuk menghindari ricuh. Para wartawan sibuk mengambil gambar dan melakukan siaran langsung di televisi.
Jiver yang perlahan bisa berdiri di tengah kerumunan mencoba menghindari kericuhan, namun sebuah benda tumpul milik salah seorang demonstran menghantam tepat di kepalanya, membuatnya kembali goyah dengan kehitaman yang pelan-pelan menelannya.
"Hidup mahasiswa!"
Suara-suara itu semakin kecil masuk ke dalam pendengarannya, ia terkapar di dekat sisi jalan, kepalanya ,mengeluarkan darah, membuat satu sisa ingatannya tentang Keya menguar. Laki-laki itu memegangi kepalanya hingga sisi hitam yang tadi datang semakin membesar dan merenggut kesadarannya, menyisakan satu bayangan wajah milik Keya.
***
"Ke, mama tadi dapat telepon dari bundamu. Sabar ya sayang, Jiver..."
"Jiver di rumah sakit sekarang."
Percakapan dengan mamanya di telepon tadi terputar lagi di kepala Keya. Dengan tubuh gemetar dan pikiran kalut, ia segera memesan taksi online menuju rumah sakit tempat di mana Jiver dirawat. Begitu sampai, ia segera berlari menuju UGD setelah menemui seorang perawat di dekat parkir untuk bertanya di mana tempat UGD berada.
Jantung Keya serasa lepas, perasaannya benar-benar kalut saat mendengar telepon dari mamanya tadi. Benar, firasatnya memang benar. Ia mempercayai firasatnya kini. Mata Keya lalu bertemu dengan sosok bunda dan papa mertuanya begitu ia sampai di UGD. Gadis itu memelankan larinya, untuk mengatur napasnya yang kian menipis.
"Anak itu memang tidak pernah berguna, menyesal saya sud—"
"Mas! Jaga bicaramu. Jangan berbicara seperti itu, tidak pantas. Kamu ini papanya, Mas!"
Laki-laki itu berdecih, laki-laki yang dikenali Keya sebagai papa mertuanya tampak menahan emosi di depan istrinya. Bukannya menampilkan wajah khawatir, justru yang Keya lihat adalah wajah penuh amarah, membuat Keya menalan ludahnya susah payah. Ia mematung di tempatnya, mengurungkan niatnya untuk mendekat.
"Tidak! Dia diasuh oleh penjahat dan dia bukan anakku!"
"Kamu keterlaluan, Mas!"
Napas Keya tercekat, hatinya mencelus. Ada apa lagi sebenarnya?
***
Moga ini terakhir kali gue bikin notes. Karena gue butuh jelasin beberapa hal.
Silakan kritik karena gue beneran nggak tahu demo itu kayak gimana. Bakal buat revisi gue nanti.
Lokasi cerita ini bukan di Surabaya karena pakai bahasa gue lo, apabila iya berarti nggak logis. Tadinya mau gue bikin di surabaya biar gampang, anggap aja di ibu kota.
Sekali lagi cerita ini fiktif, baik kampus dan almamater birunya.
200 koment buat next. Ok
Kuy Follow:
IG @jivererlangga dan keyanamarleni
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro