Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mimpi

Yang berpulang selamanya menjadi kehilangan, yang datang adalah mereka yang harus diperjuangkan.

Puas mengamati Jiver. Keya beranjak dari kantin, ia memutuskan untuk pulang ke rumah bundanya. Sementara waktu Keya tidak ingin bertemu dengan Jiver, gadis itu membutuhkan tempat untuk mendinginkan kepalanya. Ia sadar, dirinya masih belum mampu mengendalikan emosi dengan baik, dan meski menghindari bukanlah pilihan yang dewasa, untuk saat ini Keya akan tetap melakukanya. Dia hanya terlalu banyak merasakan kecemasan, hingga menimbulkan gundah berkepanjangan.

"Assalamualaikum, Ma...Keya pulang," teriaknya saat memasuki rumah orang tuanya.

Lastri berjalan tergopoh-gopoh melihat kedatangan anak gadisnya itu. Dahinya mengerut, tanda keharanan dalam dirinya saat ia melihat Keya datang dengan wajah lusuh. Tidak biasanya Keya seperti ini, anak itu adalah anak yang selalu ceria dan bertindak sesukanya.

"Waalaikumsalam, kamu kenapa, Ke?"

Keya duduk di atas sofa ruang tamu. Ia lantas meneguk segelas es jeruk—yang entah milik siapa—berada di atas meja kayu besar di ruang tamu itu.

"Loh loh loh...main minum saja, memang kamu tahu itu punya siapa?"

"Bodo ah, Ma. Aku haus."

"Kalau minuman bekas tamu, gimana?"

Mata Keya membeliak, buru-buru ia meletakkan gelas miliknya kembali ke atas meja. Ia memandang Lastri dengan muka memelas. Sementara sisa air di bibirnya, ia usap dengan kasar.

"Makanya kalau mau minum tanya dulu, bismillah dulu, Ke," ucap Lastri sambil tertawa.

Keya cemberut. Ia sadar, sudah dikerjai mamanya.

"Kenapa tiba-tiba ke sini?"

"Eh Ma, masak apa tadi? Kayaknya harum gini, aku laper. Minta makan dong, Ma."

"Jangan mengalihkan pembicaraan ya, ayo jawab pertanyaan mama."

Keya menghela napasnya. Ia adalah orang yang terbuka, lebih suka menceritakan segala hal yang dialaminya pada sang mama. Mungkin karena anak tunggal, dan ia sangat dekat dengan Lastri, menjadikan Keya selalu bergantung pada wanita itu dan tak pernah bisa berbohong pada Lastri. Mamanya selalu bilang, ekspresinya akan mudah dibaca ketika ia sedang berbohong. Pada akhirnya ia tetap menceritakan segala sesuatunya pada Lastri.

"Mama tanya sama kamu ya, Ke. Apa pantas seorang istri jalan dengan laki-laki yang bukan makhramnya?"

Keya menggeleng. Pertanyaan Lastri membuatnya tak memiliki jawaban selain gelengan kepala, yang berarti tidak. Ia menunduk, menekuri lantai putih di rumahnya. Pikirannya sedang kacau, kalau anak muda sekarang, mungkin menyebutnya galau.

"Kamu ingat sepupumu, Rika?"

Keya mendongak, ia mengingat perempuan itu. Rika adalah sepupunya yang satu setengah tahun lalu menikah ketika baru berusia tujuh belas tahun. Alasannya, bukan karena perjodohan seperti apa yang ia alami, tetapi karena Rika sudah hamil saat masih duduk di bangku SMA, sehingga ia terpaksa dinikahkan dan dikeluarkan dari sekolah. Rika adalah contoh, bagaimana pergaulan saat ini menjadi terlalu bebas, dan menjadikan sebagian besar anak muda kehilangan moralnya. Kenikmatan sesaat yang dibalas dengan kesengsaraan berkelanjutan.

"Atau Ninda, tetangga depan rumah kita itu. Kamu ingat?"

Keya mengangguk. Ingatannya tertuju pada Ninda, teman mainnya dulu yang sudah menikah juga karena sudah terlanjur berbadan dua sama seperti apa yang dialami oleh Rika.

"Pergaulan sekarang itu mengerikan, Ke. Kalau dulu anak muda malu untuk ciuman di depan umum, sekarang nggak lagi malu. Mama, nggak mau kamu kayak gitu. Walau kesannya memaksa, dan membuatmu jadi nggak bebas, tapi menikahkanmu adalah pilihan yang terbaik, mama dan papa nggak bisa menjagamu di luar rumah, kami memiliki kesibukan masing-masing, dan mama tahu kamu orang yang mudah terpengaruhi, mama nggak ingin kamu rusak seperti Rika atau Ninda. Jiver adalah laki-laki baik yang mama tahu, dia anak sahabat mama. Ingat, bagaimana tantemu sempat stress waktu tahu Rika hamil?"

"Ingat, Ma."

"Kamu boleh menganggap mama sama papa kolot atau kuno. Tapi, kami nggak mau ambil risiko, apalagi kamu anak tunggal."

"Tapi kenapa harus sama Jiver? Mama nggak pernah kasih aku alasan yang kuat buat ini, selain dia baik dan bertanggung jawab, apalagi dia masih kuliah, yakin bisa memenuhi semua kebutuhanku?"

"Dia sudah punya usaha, Ke. Walau masih kecil, tapi mama yakin sudah bisa menghidupimu. Dia akan berhasil, mama tahu itu."

"Ya tapi kenapa harus dia?"

Lastri menghela napas. Ia teringat sosok yang saat ini sudah berbaring di tempat peristirahatannya. Sosok yang dulu bersahabat akrab dengannya. Mengingat wanita itu, masih menimbulkan rindu dan rasa bersalah, sebab ia tak ada ketika wanita itu dalam masa susahnya.

"Bukan kapasitas mama untuk bercerita. Suatu saat kamu akan tahu."

"Kapan, Ma? Terlalu banyak teka-teki yang bikin aku pusing. Nggak mama, nggak Jiver sama aja. Apa karena aku anak kecil, jadi kalian selalu bohongin aku?"

"Bukan, Ke. Bukannya begitu, akan ada saatnya kamu tahu semua itu."

Keya menghempaskan napasnya. Ia kesal.

***

Suasana rapat pembahasan pemira tak menjadikan laki-laki itu fokus. Padahal, ini adalah program kerja terakhir yang ia naungi sebelum lengser. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul Sembilan malam, rapat rencana pembentukan komisi pemilihan umum pemira masih berlangsung entah sampai pada agenda apa, ia tak menyimak sedari tadi.

"Baru kali ini, lo nggak professional," kata Amir setengah menyindir.

"Suntuk."

"Gara-gara bini lo," tandas laki-laki itu sambil menghisap rokoknya lagi.

Tak mendapati tanggapan dari Jiver, Amir memilih fokus lagi pada rapat yang masih berlangsung. Sambil menghisap rokoknya yang hampir habis. Laki-laki itu selalu beranggapan jika rokok adalah benda terbaik yang mampu membuatnya berpikir jernih ketika memiliki masalah atau saat menghadapi sesuatu, ya ia sudah kecanduan berat pada barang itu, akan susah untuk membinasakan kebiasaan itu.

Tak berapa lama, setelah rapat selesai Amir menggeret Jiver ke halaman depan gedung ormawa. Suasana yang diterangi dengan lampu remang-remang membuat mereka tak begitu tampak oleh mahasiswa lain yang bersiap akan pulang. Kampus, berangsur-angsur sepi setelah rapat bubar.

"Lo jadi kayak orang bego, Ver."

"Hm..."

Amir menyilangkan kakinya, mereka duduk di atas pagar setengah badan yang tersusun dari batu bata.

"Gue nggak mau lo kayak dulu gara-gara perempuan lagi."

"Beda, Mir."

Amir berdecak, ia melihat raut wajah keruh milik Jiver. Membuatnya berang.

"Nggak Rania, nggak Keya sama. Rania mati bikin lo depresi sampai harus ada di bawah penanganan psikolog selama berbulan-bulan, oh gue lupa, saat itu lo bahkan hampir dibawa ke psikiater karena lo dianggap gila. Tapi Bunda lo yang terus ngeyakinin papa lo, Si Dito itu kalau lo nggak gila. Dan sekarang, Keya bikin lo kayak gini lagi? Bentar lagi kalau dia minta cerai, gue yakin lo bakal bener-bener masuk rumah sakit jiwa," ucap Amir sarkas.

Ia ingat, Jiver pernah mengalami masa terburuk selepas kepergian Rania beberapa tahun lalu. Selain depresi laki-laki itu juga sempat trauma untuk mengemudi mobil—walau saat ini masih, namun intensitasnya tidak separah dulu. Menjalani proses hypnoteraphy selama beberapa bulan cukup membuat traumanya berangsur-angsur hilang. Sisanya, hanya diri laki-laki itu sendiri yang bisa menyembuhkan. Luka atau trauma seseorang hanya akan sembuh melalui kemauan dari seorang tersebut, orang lain mungkin hanya menjadi perantara atau penyedia fasilitas.

"Rania sudah mati, Mir. Lo nggak berhak bawa-bawa dia. Dan untuk Keya, dia cuma masih belum paham tentang menghargai pasangan. Lo nggak berhak menghakimi. Dan lagi, ide lo buat mendiamkan Keya nggak berpengaruh, Mir. Gue nggak bisa."

"Oh, ya?"

Amir tersenyum miring. Ia menginjak putung rokoknya yang tadi di sempitkan di antara jari tengah dan telunjuk.

"Dan lo terlalu bego jadi suami. Nggak ada Ver, suami yang ngizinin istrinya jalan sama laki-laki lain. Gue nggak mau lo lemah karena masalah hati."

Jiver tak menjawab, ia berpikir keras, banyak hal yang semrawut dalam otaknya, satu per satu hal yang tak bisa ia cerna dengan baik. Keduanya ditelan keheningan, tak ada yang berbicara sampai ponsel milik Jiver bergetar.

Mama: Keya di rumah mama, Ver.

***

"Jangan dekat-dekat dia, Nak. Keluarga mereka pembawa virus berbahaya. Mama nggak mau kamu kenapa-napa, ayo pergi."

"Jangan main sama dia, Ridho. Kamu nggak tahu keluarganya pembawa sial, hah?"

"Dia itu bahaya, Teto. Ayo pergi."

"Sudah mama bilang jauhi dia, Rino!"

Anak laki-laki itu berdiri di muka gerbang sekolahnya, tubuh ringkihnya semakin layu ketika mendengar makian para tetangga dan ibu dari teman-teman sekolahnya. Semenjak kematian ayahnya satu bulan lalu. Orang-orang di desanya mendadak menjauh, mengucilkan ia dan ibunya. Menganggap seakan ia adalah anak pembawa sial yang harus dijauhi. Ia ingat, ketika ayahnya meninggal, tak satu pun dari tetangganya menjenguk. Jenazah ayahnya bahkan dimandikan oleh petugas kesehatan yang dikirim dari kecamatan, bukan oleh petugas desa seperti para tetangga yang lainnya. Setelah kematian sang ayah, rumahnya disemprot oleh cairan zat—agar virus yang dibawa oleh jenazah ayahnya tidak menyebar, begitu pula dengan makam ayahnya. Membuatnya yang ketika itu hanya menangis, sibuk berpikir, kenapa?

Orang-orang menjadi antipati dengannya, tak jarang, untuk membeli sepotong es pun ia kerap ditolak. Mendadak semua teman bermainnya raib, dunianya yang semula berwarna seketika berubah gelap, seiring dengan kepergian sang ayah—yang konon katanya karena virus mematikan bernama HIV/AIDS.

Dengan muka tertunduk, anak laki-laki itu berjalan menuju rumahnya. Tetangga yang melihatnya seketika langsung menyingkir, anggapan masyarakat desa, ia adalah virus mematikan yang harus dihindari, apalagi bundanya, yang katanya juga tertular virus berbahaya itu dari ayahnya. Ia tahu semua itu karena mulut lebar para tetangga. Yang dilihatnya setiap hari hanya wajah tirus sang bunda dan tubuh bunda yang kian kurus. Tak ada cahaya kehidupan di sana.

Sesampainya di rumah, anak laki-laki itu meletakkan tasnya di atas meja kamarnya. Ia duduk di atas kasur, membuka buku agenda yang setahun lalu diberikan sang ayah sebagi hadiah ulang tahunya yang kesembilan. Berbagai macam buku dongeng, dan tumpukkan buku lainnya menghiasi kamarnya. Sang ayah yang meletakkan buku-buku itu sebagai bahan bacaan wajib untuknya.

Ayah...

Apa kabar?

Aku rindu, bunda pun begitu

Mejiku dalam hidupku hilang

Mereka menjelma menjadi monster

Semenjak ayah berpulang

Aku hilang

Bunda hilang

Cahaya kita hilang

Ayah...

Aku mau mejiku lagi

Ia tulis puisi itu untuk ayahnya. Ia tidak menangis, hanya duduk dalam diam di atas kasurnya. Sampai sang bunda masuk ke dalam kamarnya, membawa sepiring nasi dengan telur ceplok yang setiap hari menjadi makanannya.

"Telur lagi, Bun?"

"Iya, kamu makan ya sayang."

"Aku bosen, Bun."

Bunda tersenyum tak berkata apa-apa.

"Bunda selalu sayang kamu, tumbuh sehat ya, Nak. Jadi anak hebat."

Dan wanita yang ia panggil bunda itu lenyap.

***

Keya menggeliat, ketika merasakan kasurnya bergerak-gerak. Ia sempat takut, mengira mungkin saja ada hantu yang mengikutinya tertidur, atau bahkan hantu itu ingin memeluknya. Ia bergidik, segera menyingkirkan pikiran tersebut, dan pelan-pelan mencoba membuka matanya.

'Astaga' Keya memekik dalam hati, tidak ada hantu setampan ini. Hantu yang pernah dilihatnya di film-film horror, biasanya berpenampilan buruk rupa dengan wajah compang-camping dipenuhi darah dan luka. Sedangkan wajah laki-laki yang sedang gelisah dalam tidurnya itu tampak bersih dan tampan, dan yang pasti itu adalah sosok yang memicu sakit di kepalanya siang tadi.

Keya memutuskan untuk mengguncang tubuh Jiver, membangunkan laki-laki itu, mungkin saja ia sedang bermimpi buruk. Gerakan dalam tidurnya tampak gelisah dan keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya.

"Mas Jiver bangun, bangun oi. Jangan kebo, ayo bangun..."

Ia mengguncang-guncang tubuh Jiver hingga laki-laki itu terjaga dari tidurnya. Matanya tampak memerah dan deru napasnya memburu, seperti baru lari marathon.

"Mimpi apa?" cecar Keya.

Jiver memejamkan matanya. Lidahnya kaku, mimpi yang sudah lama tidak ia alami mendadak memenuhi malamnya lagi, membuat tidurnya tidak tenang, dan membuatnya takut tidur setelahnya. Ia melirik jam di dinding kamar Keya, masih pukul dua pagi.

"Bisa buatkan aku kopi hitam?" katanya pada Keya.

"Iya."

Tanpa banyak bertanya, Keya turun dari kasurnya dan menuju dapur untuk membuatkan Jiver secangkir kopi hitam. Ia berdoa, semoga tak salah memasukkan garam, mengira itu gula. Sepeninggal Keya, Jiver memutuskan untuk beranjak ke balkon, laki-laki itu menatap hamparan langit tanpa bintang. Ia menikmati udara dingin itu, berharap mimpi buruk yang baru saja ia alami itu segera lenyap. Selama beberapa saat laki-laki itu hanya diam, sampai aroma kopi tercium olehnya.

"Nih..."

Keya menyerahkan kopi itu padanya.

"Mimpi apa tadi? Terus kenapa tiba-tiba ke sini?"

Jiver menyesap kopinya. Ia mencari nikmat dari kopi yang bisa menenangkannya.

"Bukan apa-apa. Kamu tidur lagi saja, nanti subuh aku bangunkan."

"Mas...ngeselin banget sih?"

Jiver menghela napasnya. Ia meletakkan cangkir kopi itu di atas pagar pembatas balkon. Digenggamnya tangan Keya yang terasa hangat, mencoba mencari sumber ketanangan selain secangkir kopi hitam.

"Maaf membuatmu terpaksa terlibat dalam hidupku yang rumit. Maaf bundaku meminta mama menikahkan kita. Maaf, Ke..."

"Hah? Apaan sih?"

Jiver kembali menyesap sisa kopinya, tak memberi jawaban atas pertanyaan Keya. Ia biarkan gadis itu berada dalam zona kebingungan, belum saatnya. Pelan-pelan pasti semua akan ia katakan.

***
Pemira: pemilu raya yang ada di kampus. Untuk memilih pasangan BEM dan caleg
Give me 300 comments :v
Grupnya sudah closed ya guys :) Update lagi setelah UAS. Mau ngafalin teori dulu ye, jadi udah mulai ketemu titiknya kan kenapa Keya dijodohin dan tentang masa lalu jiver? pelan-pelan ya ntar bakal keungkap.

Part ini aku tulis untuk seorang anak kecil yang menerima diskriminasi di desanya karena orang tuanya mengidap HIV. Mungkin kalian menganggapnya drama yang ada di dalam novel atau tv, tapi aku tahu ia nyata, ia ada.

Oiya tag ke igku atau pakai tag aristav ya kalau kalian mau ambil quotes atau puisinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro