How Can't I Love You?
Jangan pernah menghadirkan luka, ketika kamu memaksaku untuk jatuh cinta. Jangan pernah mendatangkan duka, bila kamu tak ingin mengobatinya.
***
Kampus sedang mengadakan hajatan besar hari ini. Pemilu Raya dilaksanakan di seluruh jurusan dan fakultas tanpa terkecuali. Untuk memilih presiden BEM dan wakilnya, juga legislatif yang akan berkedudukan di Majelis Perwakilan Mahasiswa universitas.
Jiver tidak pulang sejak semalam, laki-laki itu berjaga di kampus mendampingi panitia pemungutan suara dan komisi pemilihan umum, untuk mencegah terjadinya kecurangan yang mungkin saja terjadi. Ia tak ingin dicap gagal pada proker terakhirnya ini. Semua harus berjalan bersih, sehingga tidak ada gugatan di kemudian hari.
Sejak sehat sehari yang lalu, Keya sudah mewanti-wanti dirinya untuk tidak minum kopi selama beberapa hari ke depan. Namun, bagi laki-laki itu, tidak ada yang lebih membuatnya tenang selain kopi di pagi hari. Ia butuh ketenangan untuk menjalani sisa hari ini. Pemira akan berlangsung sampai proses perhitungan suara selesai nantinya, kemungkinan sampai malam, jadi tanpa kopi kemungkinan besar ia akan mengantuk.
Laki-laki itu merasakan ponselnya bergetar. Nama Keya tertera di sana. Dahi Jiver mengerut, istrinya itu tumben sekali menghubunginya terlebih dahulu.
Keyana: Mas, masa aku nggak boleh ikut nyoblos masa?
Jiver memilih untuk tidak membalas pesan Keya. Ia menelepon gadis itu, begitu mencermati isi pesan Keya.
"Kenapa nggak boleh nyoblos, Ke?"
"Aku kan lupa bawa KTM. Terus nggak boleh ikut milih, padahal kan kalau udah menunjukkan siakad dari HP harusnya boleh, Mas. Kan ketentuannya gitu. Iyakan? Temen-temenku juga nggak boleh milih gara-gara nggak bawa KTM."
"Kamu di TPS berapa?"
"Dua, Mas."
"Yaudah aku ke sana. Tetap di situ, oke."
Jiver menutup panggilannya. Ia bergegas pergi ke tempat Keya. TPS dua yang terletak di depan jurusan Manajemen. Tampak beberapa mahasiswa berkerubung di sana. Panitia pengawas beradu mulut dengan beberapa mahasiswa yang ditolak untuk mengikuti pemira.
"Ada apa?" Tanya Jiver pada salah satu panitia pengawas yang berasal dari pengurus MPM lama.
"Mereka nggak bawa KTM ya nggak boleh milih dong," jawab salah seorang panitia pengawas perempuan yang Jiver kenali bernama Amy.
"Kan ketentuannya bisa pakai siakad?"
"Nggak. Harus KTM!" Kekeuh Amy tak mau kalah.
"Saya tidak akan membiarkan pemira ini rusuh Amy. Kalau kamu masih bersikukuh menolak mereka, saya akan menghubungi ketua KPU di sini!"
Amy mendengus. Teman sekelas Acha itu menatap Jiver malas. "Apa karena yang kutolak itu istrimu? Jadi kamu bela sampai segininya?"
"Saya tidak pernah mencampur adukan urusan pribadi dengan urusan seperti ini, Amy. Saya hanya menegakkan peraturan yang telah disahkan!"
Amy diam. Ia tak ingin mendebat lagi, dan memilih menyerah. Amy memang ingin menciptakan sedikit drama dalam Pemira. Setiap tahun memang selalu ada hal seperti ini terjadi, dan menggunakan Keya hanya salah satu dari sekian alasan saja yang ia ciptakan. Lagi pula tadi, ia sudah meminta izin pada panitia pemungutan suara untuk membuat sedikit kerusuhan.
"Oke. Terserah," tukas Amy, setelah merasa ini semua cukup.
"Ke, kamu dan teman-temanmu sudah bisa memilih," kata Jiver, ia tersenyum menatap Keya yang terlihat tegang. Maklum, gadis itu tidak pernah tahu bagaimana panasnya politik di kampus.
"Emh, makasih, Mas."
"Aku ke ormawa dulu."
"Mas..."
Jiver menoleh, mengurungkan langkahnya. "Kenapa?"
"Jangan minum kopi lagi. Jangan lupa makan."
"Sure."
Laki-laki itu lalu menghilang di balik kerumunan mahasiswa tadi. Meninggalkan Keya dan sorak sorai teman-temannya atas insiden tadi. Membuat Keya malu setengah mati.
***
"Buset, Ke. So sweet amat laki lo. Masyaallah, nikmat Tuhan luar biasa. Kapan gue punya laki kek gitu coba?" Seloroh Maya heboh, sewaktu mereka ada di salah satu mall untuk hang out sepulang dari kampus.
"Laki gue, dilarang dikagumi. Terutama lo, May!" Sengit Keya.
Lily terkikik geli melihat wajah cemberut Maya dan muka masam Keya.
"Yaelah kagum doang. Sedekah kali sama gue."
"Nggak mau!"
"Sekarang nggak boleh dikagumi, dulu aja nggak terima dinikahin. Aneh loh ah," ujar Maya disambut gelak tawa dari Lily.
"Ish apaan sih. Udah sana lo, beli tiket nonton May, godain gue aja lo dari tadi."
Keya mengibas-ibaskan tangannya menyuruh Maya segera berlalu. Mereka sedang ada di Yoshinoya untuk makan sore, karena tak sempat makan siang. Maya bergegas membeli tiket bioskop, sementara Lily dan Keya tetap berada di tempat itu sambil menunggu jadwal pemutaran film.
"Key!"
Seseorang membuat Keya berjengit. Ia mengarahkan pandangannya pada sosok laki-laki yang sudah lama tak ia jumpai. Terakhir kali bertemu saat insiden di toko buku kemarin.
"Eh Kak Arsa."
"Lagi jalan ya?"
Keya mengangguk sembari tersenyum. Matanya lalu berserobok dengan seorang perempuan yang sedang bersama Arsa. Tampak berdiri malu-malu di belakang Arsa.
"Sama, siapa Kak?"
"Oh kenalin, Meilina. Pacar gue."
Keya membuka sedikit mulutnya. Terkejut. Lalu, ia mengarahkan tangannya pada Meilina, perempuan berlesung pipi yang diakui Arsa sebagai pacarnya.
"Keyana."
"Meilina."
"Lo sama siapa? Temen lo?" Tanya Arsa saat ia melihat Lily yang hanya diam di kursinya.
"Oh iya, Kak. Kenalin Lily, temen sekelas gue."
Mereka berkenalan. Sedikit berbasa-basi untuk menjaga kesopanan. Sampai Arsa memutuskan untuk pergi, karena ia sudah selesai makan dan berniat mengantarkan Meilina ke toko buku.
"Lo jarang nge-chat gue," ucap Arsa sebelum ia pergi. Penasaran juga dengan sikap Keya yang mendadak aneh.
"Oh haha, sibuk, Kak."
"Hah, dasar. Gue cabut dulu ya. Ly, gue duluan."
"Iya, Kak," balas Lily.
Keya menghela napasnya. Ia menenggak sisa ocha yang ada di gelasnya. Pertemuan tak terduganya dengan Arsa membuat dirinya sedikit gugup. Tapi, meski begitu, tak ada perasaan tidak rela ketika Arsa mengenalkan pacarnya tadi. Sedikit sesak memang, semata karena ia merasa tidak pernah seberuntung Meilia yang bisa menjadi pacar Arsa. Tapi, selebihnya, ia merasa baik-baik saja.
"Inget, lo punya suami," ujar Lily memperingatkannya.
"Gue tahu."
Keya mendesah lega. Apa misi move on melupakan Arsa sudah hampir berhasil?
Maybe
Karena kedatangan Jiver mampu menjungkir balikkan hati dan hidupnya. Membuat perasaannya berubah arah. Dan Keya berharap, Jiver tak akan membuatnya kecewa di kemudian hari. Ia memberikan hatinya untuk laki-laki itu.
***
Pukul setengah satu pagi Jiver baru tiba di apartemen. Proses pemira baru saja usai, dan dimenangkan oleh Emran. Badan Jiver terasa sangat lelah, seharian ia mondar-mandir di kampus mengawasi jalannya Pemira. Meski ia sudah menjadi demisioner, tak serta merta ia bisa meninggalkan jabatannya begitu saja. Selama beberapa bulan ke depan, dirinya masih berkewajiban mengawasi kinerja Emran dan memberi masukan pada Pres BEM yang baru untuk menjalankan mandat.
Ia merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Rasa kantuk tiba-tiba saja menyerangnya, membuat ia tak sempat pindah ke kamar. Namun, begitu ia akan menutup matanya, suara ponsel mengalihkan perhatian laki-laki itu.
Ada nama Arion tertera di sana. Dengan malas Jiver membuka ponselnya, mendapati sebuah link yang dikirim oleh Arion.
Arion Dirgantara: brosur pendaftaran masuk universitas di sini. Ada beberapa info dari Universitas di Scotland, UK, Jerman. Tinggal kami pilih, mana yang sekiranya kamu minati.
Jiver mendesah, melemparkan ponselnya ke atas meja. Masih ada beberapa bulan waktu untuk menyelesaikan skripsi serta wisudanya di sini, dan Arion sudah menghantuinya tentang kuliah S2-nya di Eropa? Oh pasti papanya yang berulah. Dito yang merasa semua keinginanya adalah yang terbaik untuk anak-anaknya, Dito yang merasa kuliah di jurusan manajemen dan sejenisnya yang paling menjanjikan untuk prospek bekerja di perusahaan. Dito yang tidak pernah mau tahu bahwa, tidak selamanya jurusan memengaruhi karier masa depan anak-anaknya, Dito yang otoriter dan Jiver yang penurut.
Jiver memejamkan matanya, sampai derit pintu kamar Keya membuatnya terjaga. Muka mengantuk Keya menandakan gadis itu baru bangun dari tidurnya.
"Kamu baru pulang?"
"Ya."
Keya berjalan ke sisi Jiver. Ia terlihat lucu ketika mengenakan piyama bergambar doraemon dengan rambut yang dikuncir asal.
"Mukamu lelah. Tidur gih," kata Keya sambil bersandar di sofa, menirukan posisi Jiver.
"Ke.."
"Hmm?"
Jiver belum juga berbicara. Ia tak paham, apa yang hendak dikatakannya pada Keya.
"Kamu mau cerita?"
Jiver menoleh pada Keya. Pelan-pelan ia harus mulai membuka semua masa lalunya pada Keya kan? Mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi tidak ada salahnya ia membagi kisahnya pada Keya.
"Aku dulu bukan orang yang baik."
"Lalu?"
"Aku sering melanggar peraturan di sekolah. Membolos, mencontek, mengisengi junior, berkelahi, tawuran, rokok, menenggak alkohol."
"Rania selalu melarangku dulu. Tapi aku tak pernah mau mendengarkannya. Hidup dalam tekanan papa sejak kecil, dengan segala aturannya, membuatku menjadi liar ketika remaja. Aku ingin tahu bagaimana rasanya hidup dalam kebebasan. Pada masa coba-coba itu, aku menuntaskan kenakalanku. Sampai...sampai kecelakaan itu terjadi."
"Kejadian itu mengubah hidupku. Sampai akhirnya, aku sadar...apa yang kulakukan salah."
Keya mengelus rambut Jiver. Menenangkan laki-laki itu. Kadang, jika seseorang menceritakan apa yang pernah dialaminya, selalu ada emosi yang terlibat di dalamnya, seperti Jiver.
"Mas...aku memang nggak ngerasain apa yang pernah terjadi dalam hidupmu. Tapi kalau ada masalah, kamu nggak boleh nyimpen sendiri. Aku nggak mau kamu bohong. Aku bisa maafin apa pun, apa pun asal bukan kebohongan."
"Sori, karena belum bisa jujur sama kamu."
"It's okey. Aku tahu semuanya butuh proses."
"Ke..."
Jiver beringsut, menangkup wajah Keya dengan kedua tangannya. Matanya menatap dalam pada manik mata Keya. Membuat istrinya itu tergugu di tempatnya. Wajah mereka dekat, meski tidak menempel. Dari sini, Keya dapat mengamati wajah lelah Jiver.
"Aku sayang kamu. Jangan meninggalkanku."
Jantung Keya Ambyar.
Ia tak mampu mengatakan apa pun, hanya mengerjap-erjapkan matanya menatap Jiver yang malah tersenyum padanya. Laki-laki itu lalu mengecup dahinya lembut dan lebih lama dari biasanya.
"Ayo tidur."
"Hah?"
Belum sempat ia mencerna kalimat Jiver dengan baik, laki-laki itu sudah membawanya ke kamar. Meninggalkan Keya di sana sebelum pergi ke kamarnya sendiri. Menyisakan Keya yang terjaga sampai pagi.
Jiver menyayanginya?
***
Aroma masakan menguar. Membuat Jiver terbangun, setelah tadi tidur lagi usai menjalankan ibadah salat subuh. Laki-laki itu menuju dapur, menghampiri Keya yang sibuk memasak dengan dapur berantakan miliknya. Jiver tak akan mempermasalahkan itu, ia tahu istrinya sedang berusaha untuk memasak. Kekacauan itu tak berarti apa-apa.
"Pagi."
Prang
Keya terlonjak, ia kaget mendapati Jiver sudah duduk bertopang dagu di meja makan yang berada di dapur. Jiver yang merasa bersalah lantas menghampiri Keya.
"Maaf, kamu pasti terkejut."
"Hah? Eh nggak papa."
Tersenyum sekilas, Jiver membantu Keya memberesi sisa memasaknya dan kekacauan yang diakibatkan olehnya.
Setelahnya, mereka menikmati sarapan paginya sebelum pergi ke kampus. Kebetulan hari ini Keya tidak ada jam kuliah, hanya mungkin ia akan tetap sendiri, karena Jiver harus ke kampus, mengawasi evaluasi pemira dan mencari bahan untuk skripsinya.
"Ke..."
"Kenapa?"
"Kalau aku ke luar negeri nanti. Aku mau kamu tinggal di rumah mama."
"Kenapa gitu?"
"Aku nggak tenang kalau kamu sendirian di sini."
"Oh..."
Keya mendadak kenyang. Ucapan Jiver tadi seakan mengatakan bila sebentar lagi mereka akan berpisah. Beberapa bulan lagi setelah Jiver lulus.
"Tapi aku nggak papa kalau tinggal sendiri di sini."
Jiver menggeleng. "Aku nggak ingin ada sesuatu yang buruk terjadi denganmu."
Keye membuang napasnya.
"Kapan berangkat?"
"Lima atau enam bulan lagi, setelah lulus dan skripsi."
"Secepat itu?"
Jiver mengangguk. Keya mendadak tidak rela jika harus ditinggalkan.
"Udah jam setengah delapan. Kamu harus ke kampus kan?" Kata Keya setelah mereka sarapan.
"Ya...aku mandi dulu," kata Jiver sambil berdiri dan menghampiri Keya.
Jiver mengecup pipi Keya sebelum kembali ke kamarnya, membuat Keya terkejut atas tindakannya yang tiba-tiba.
"Masssssssss..." Teriak Keya, dibalas gelak tawa Jiver yang menghilang di balik pintu kamar.
Katakan pada Keya, bagaimana caranya agar ia tak jatuh cinta pada laki-laki itu?
***
Jawab ya: kalian lebih suka, akhir cerita yang bahagia, menggantung apa menyedihkan?
Buat ngabuburit nih. Berbukalah dengan yang manis-manis. Berbahagialah dengan yang manis sebelum yang pahit lewat. Maafkan part ini agak absurd, gue memang gak bisa bikin yang manis-manis :v.
And thanks to sulispark sudah bikinin cover yang unyu :3.
Regards,
Aristavee
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro