Gone
Aku tidak bisa menyediakan bahu untukmu bersandar dan mengusap air mata saat kamu bersedih. Karena aku tahu, kita sedang dipeluk erat oleh jarak.
***
Awalnya Keya akan tinggal bersama mertuanya hanya sampai Ira sembuh, namun wanita itu berhasil membujuknya hingga Keya bertahan di rumah itu, sampai lima bulan lamanya. Ya, dan sudah selama itu ia berjauhan dengan Jiver. Hampir setengah tahun, mereka menjalani LDR. Berbagai masalah pun pernah melanda ia dan Jiver, sikap saling cemburu dan rasa rindu yang selalu datang menggebu.
Tapi, yang masih hangat dalam ingatan Keya adalah saat Jiver cemburu pada Geno, laki-laki itu mendiamkannya selama dua hari, entah karena benar-benar mendiamkannya atau karena tidak ada waktu untuk menghubungi dirinya. Sampai akhirnya Keya mengakui kalau dirinya sudah menikah pada Geno, dan setelahnya hubungan mereka kembali membaik, meski tak jarang keduanya terlibat konflik.
"Gue mau ngomong, Kak," kata Keya waktu itu. Geno menatapnya dengan dahi berkerut, tumben wajah Keya terlihat serius. Biasanya gadis itu selalu bersikap santai.
"Apa emang? Serius amat mukanya haha...pengen boker? Hahaha..."
Keya membuang napasnya, lelucon Geno terasa garing di telinganya. Dia memang seharusnya sudah meluruskan masalah ini agar tidak terkesan memberi harapan pada Geno.
"Gue minta Kak Geno jangan suka godain gue lagi."
"Kenapa? Lo takut pacar lo marah? Kan gue udah bilang, selama janur kuning belum melengkung--"
"Bukan."
"Lalu?"
"Gue udah punya suami."
Geno diam sesaat, dia menatap Keya tidak percaya. Mulutnya setengah terbuka, beruntung mereka berbicara di depan ruang musik yang sedang sepi, karena agenda pertemuan dengan anak-anak UKM musik sudah berakhir.
"Lo becanda kan, Ke?" Tanyanya setelah ia mengembalikan kesadarannya yang sempat hilang.
Keya menggeleng, "Jiver Erlangga Ajidarma, mantan Pres BEM tahun lalu, itu nama suami gue."
"Jadi lo istrinya Jiver?"
"Hemm...kalau gitu, gue cabut ya, Kak."
Keya pergi, meninggalkan Geno yang masih terkejut atas pengakuannya.
Kalau mengingat percakapannya dengan Geno beberapa bulan lalu, Keya akan kembali tertawa. Wajah bodoh Geno saat terkejut benar-benar lucu. Laki-laki berambut gondrong itu benar-benar tak berani menggodanya setelah itu.
"Hahaha..."
"Busettt, lo kenapa ketawa sendiri? Gila ya lo? Perlu gue bawa ke Grogol?" Kata Maya, saat ia mendengar tawa Keya. Oh, mereka sedang melakukan ritual wajib hangout di akhir pekan. Jalan-jalan di mall untuk melihat film atau sekadar nongkrong.
"Kayaknya itu efek kurang belaian suami yang lagi indehoi sama paper di luar negeri deh, May," timpal Lily membut Maya terkikik.
"Berisik lo berdua."
"Tuh kan bener, kangen laki ya lo? Butuh belaian? Sini gue belai pake garukan padi."
"Mayyy...mulut lo berdua minta dicocol sama sambel ya."
"Hahaha..."
Maya dan Lily kompak menertawakannya. Mereka sedang berada di foodcourt untuk makan siang.
Drrtttt drrttt
Getar ponsel Keya menghentikan tawa kedua sahabatnya itu, Keya mengisyaratkan pada Maya dan Lily untuk memberi ruang hening selagi ia mengangkat panggilan dari Dito. Ia sedikit heran baru sekali ini ayah mertuanya meneleponnya, walau mereka saling memiliki nomor ponsel masing-masing.
"Assalamualaikum, Pa."
Maya dan Lily memerhatikan gadis itu yang tampak bingung, namun sedetik kemudian wajah bingungnya berubah menjadi panik dan ketakutan.
"I-ya, Pa. Keya ke sana sekarang."
Keya menutup teleponnya. "Gue cabut dulu, mertua gue masuk rumah sakit."
***
Jiver menatap selang infus yang ada di depannya. Ada seseorang yang sejak dua hari lalu terbaring di rumah sakit. Wajah Arion tampak kuyu saat ini. Laki-laki itu terlihat tak berdaya karena penyakit yang kembali menyerangnya. Bahkan stadiumnya sudah lebih tinggi daripada sebelumnya. Para penderita kanker, sekalipun sudah dinyatakan sembuh, bukan tidak mungkin suatu saat penyakitnya akan kembali kambuh. Dan, Arion adalah alasan Jiver jarang menghubungi Keya, laki-laki itu selain kuliah, ia juga sibuk menemani Arion menjalani pengobatannya.
"Kalau Masmu ini tidak bisa bertahan lama, Mas mohon agar kamu mau membantu Cecelia untuk menjaga Andira. Pastikan Cecelia menikah lagi," kata Arion, Jiver menatap tajam kakak laki-lakinya itu.
"Apa yang Mas bicarakan? Mas akan sembuh!"
"Sewaktu-waktu aku bisa saja pergi."
Jiver memandang Arion dengan kesal. Oh, jangan sampai Tuhan memanggil Arion saat ini, selain Andira masih kecil, Arion adalah calon terkuat untuk meneruskan perusahaan ayah mereka. Dan, jika Arion pergi, mau tidak mau, ialah yang harus menggantikan Arion. Terdengar egois memang, tapi Jiver memang tulis berharap atas kesembuhan Arion. Jiver ingat, ia sudah punya rencana sendiri untuk karier masa depannya, ya meski mungkin ia masih akan membantu menjalankan usaha Dito.
"Papa tahu penyakitku akan kambuh. Oleh karena itu, papa mati-matian menyuruhmu kuliah manajemen untuk menggantikanku sewaktu-waktu, aku mungkin tidak bisa hidup lebih lama."
Arion tertawa hambar. Ia merasa bersalah, karena penyakitnya, Jiver sudah banyak menderita sejak kecil. Namun, tidak ada yang menginginkan hal itu, pun dengan Arion.
"Aku punya cita-cita membangun perusahaan penerbitan, Mas. Mas tahu papa melarangku untuk menulis kan? Kalau pun aku dilarang menulis, bukan berarti aku berhenti dari dunia yang kusenangi."
Arion mengangguk sekilas. Jiver berdiri, berjalan ke arah jendela. Mengamati kota London di siang hari. Arion memang menjalani pengobatannya di kota ini, oleh karena itu Jiver urung melanjutkan kuliah di Skotlandia, dan memilih London sebagai tempat tujuannya.
"Apa selama ini Mas tidak mau pulang dan memilih bekerja di London karena penyakit ini?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Karena aku memiliki Cecelia dan Andira di sini, Cecelia terlalu mencintai pekerjaannya sebagai dokter di Skotlandia, dan aku memilih untuk mengalah."
Jiver tertawa kecut, "Aku juga punya istri. Tapi, papa memaksaku kuliah di sini dan meninggalkan istriku! Kalau Mas Arion melupakan kenyataan itu."
Arion membuang napasnya. "Mungkin saja waktuku tidak lama, aku ingin hidup tenang bersama keluargaku. Jauh dari aturan papa. Kamu masih punya banyak waktu setelah ini."
Jiver hanya diam, ia mencerna ucapan Arion. Ia selalu berdoa pada Tuhan agar Arion bisa disembuhkan. Laki-laki itu memandangi lagi hamparan kota London, ia ingat pada Keya. Istrinya itu? Sedang apa? Ia rindu Keya, sudah lima bulan mereka berpisah. Rasanya memang berat, dan mungkin saja mereka jadi lebih sering ribut semenjak menjalani LDR. Mulai dari Keya yang cemburu saat melihat seorang temannya, Karenina yang men-tag foto perempuan itu dan dirinya di Instagram, padahal saat itu ada cian--nama asli dari Deutzy yang juga berfoto bersama, atau saat ia cemburu akan kedekatan Keya dengan Geno.
"Ceweknya cantik ya? Pantes betah nggak ngasih kabar," kata Keya saat mereka melakukan video call dua bulan lalu.
"Siapa?"
Keya mendengus, ia meraih ponselnya dan menunjukkan foto Jiver bersama Karenina dan foto Cian yang tampak separuh tubuh saja.
"Dia temanku, Ke."
"Ya, ya teman...teman yang cantik dan kelihatan akrab banget."
"Keya...bukan begitu, Deutzy bahkan ikut berfoto di situ."
Keya mencibir, ia mulai menguap.
"Kamu cemburu?"
"Menurut lau aja dah, gua kudu gimana ngeliat foto lau sama cewek lain, hah?"
Jiver tertawa, ingin rasanya ia mencubit pipi Keya--kalau ia bisa.
"Tapi, aku nggak punya hubungan apa-apa sama Karenina, Ke."
"Oh yeah?" Keya menaikkan satu alisnya, namun rasa kantuk kembali menyerang. Ia menundukkan kepalanya, menumpukan dia atas meja di dalam kamar Jiver yang sedang ia tempati.
"Kamu ngantuk?"
"Emhh..."
Keya sudah tak merespons dengan baik, matanya pelan-pelan terpejam. Jiver mengusap layar laptopnya, menyanyikan lagu dari Brendan Murray berjudul Dying to Try, sebagai lullaby untuk Keya.
Miris, mereka bisa saling melihat wajah dan ekspresi masing-masing, namun tidak bisa saling memegang dan berpelukan. Mereka dibatasi oleh jarak, dan hanya disatukan lewat layar yang hanya mampu menghapus separuh rasa rindu.
"No one can promise that love will ever learn how to fly."
Jiver bahkan mengamati Keya untuk satu jam ke depan, setelah gadis itu benar-benar tertidur. Kalau ia di sana, sudah pasti ia akan memindahkan tubuh Keya ke atas kasur, agar tidur Keya lebih nyenyak.
"Sleep tight, Ke."
Jiver menghilangkan lamunannya, rindu memang bisa membuatnya berlama-lama untuk memikirkan istrinya.
Ponselnya berbunyi, ada panggilan dari Keya untuknya. Laki-laki itu tersenyum semringah. Istrinya panjang umur.
"Hai, waalaikumsalam."
Dahi Jiver berkerut sewaktu ia mendengar suara tangisan milik Keya. Perasaannya mendadak tidak nyaman.
"Bunda...Mas, bunda."
"Kenapa, Ke?"
Keya terdiam untuk beberapa saat, membuat Jiver gusar dan melirik Arion yang baru saja tidur.
"Bunda meninggal."
"Apa? Kamu bencanda?"
"Aku serius, Mas."
"Nggak, Keya. Bunda baik-baik saja!"
"A-ku nggak bohong, Mas."
Kalimat itu, sekali lagi menghancurkannya. Jiver membatu dalam diamnya. Air matanya menetes, ia diam tak bersuara, dengan hati-hati laki-laki itu keluar dari kamar Arion. Kakaknya sedang sakit, bundanya meninggal, ia tidak boleh membiarkan Arion tahu dulu, atau itu akan menambah beban pikiran Arion dan menghambat kesembuhannya.
***
Tubuh Keya seperti mati rasa, saat ia sampai di rumah sakit, bunda sudah kritis. Ira sempat sadar sebentar dan berpesan padanya untuk tetap berada di samping Jiver sebelum ibu mertuanya itu berpulang satu jam yang lalu. Keya masih menangis, bahkan setelah menghubungi Jiver tadi. Ia tak tega membayangkan bagaimana suaminya berduka, andai ia bisa memeluk Jiver saat ini juga.
Keya menyeka air matanya lagi, ia ingat Jiver langsung mengambil penerbangan paling awal untuk segera pulang. Kemungkinan besok pagi, laki-laki itu sudah sampai di Indonesia. Keya tidak tahu harus bersikap bagaimana, ia bahkan melihat Dito yang biasanya selalu bermulut pedas, menunduk pasrah dan tampak menyimpan sedihnya. Keya tahu, Dito pasti menyesal, karena belakangan ini selalu berdebat dengan Ira perihal keputusannya untuk menguliahkan Jiver di luar negeri.
Manusia memang akan selalu menyesal setelah kehilangan.
"Keya akan meminta bantuan papa sama mama untuk mengurus jenazah bunda. Papa tidak keberatan kan?" Tanya Keya, setelah ia melihat Dito tak juga melakukan apa pun setelah tadi.
Tak ada jawaban yang dikeluarkan Dito, hanya anggukkan kepala pria itu sebagai tanda persetujuan.
"Papa yang sabar. Bunda tidak akan tenang kalau melihat papa seperti ini."
"Ini hukuman atas keegoisan saya," kata Dito kemudian. Keya memijit kepalanya.
"Nggak, Pa. Kematian itu sudah kehendak Tuhan."
Dito tak menjawab, membuat Keya bingung harus bagaimana. Ia lalu memutuskan untuk beranjak sambil menunggu orang tuanya tiba di rumah sakit.
Ting
Ponselnya berbunyi, Keya menggeser layarnya dan ada nama Jiver tertulis di sana.
Jiver Erlangga: tolong, ambilkan foto jenazah bunda. Aku mau melihat bunda.
Air mata Keya kembali turun. Ia mengipasi wajahnya, tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah suaminya di sana. Keyana benar-benar membenci jarak, dan waktu yang saat ini memisahkan mereka. Kalau saja pelukan virtual bisa menjadi nyata, she will do it.
Tbc
Wkwk cerita ini semakin alay, ucet lau, Ris. Kuylah santai, keknya bentar lagi mau tamat :( sedih ane. Mas Jiperkuh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro