Firasat
song: Firasat cover by Raisa or you can listening Firasat cover by Rizky pepew it's better. i think.
Cinta tidak datang tiba-tiba, ia hadir karena proses kebersamaan dan kita yang membuka.
Keya bangun dengan pipi bersemu merah. Ia berada dalam dekapan Jiver semalaman. Ada banyak ekspresi perasaan yang membuncah dalam hatinya. Tak ada dalam bayangannya akan terbangun dalam pelukan Jiver. Padahal semalam, ia ingat benar kalau mereka tidur dipisahkan oleh guling, namun pagi ini semuanya tampak beda. Guling itu terjatuh di lantai—terlihat mengenaskan. Keya pikir ia yang menjatuhkannya, gadis itu ingat ia tak memiliki gaya tidur yang anggun. Memukul kepalanya, Keya menghela napasnya dan mulai beranjak dari kasurnya.
"Jam berapa?" tanya Jiver membuatnya sedikit terkejut. Kapan laki-laki ini bangun?
"Jam em...lima kurang."
"Cepat ambil wudu, ayo salat."
Keya tergugu. Sejenak, ia seperti kehilangan napas, adalah impiannya suatu hari bisa terbangun bersama seseorang yang bisa menjadi imam untuknya dan tampaknya Tuhan mengabulkannya saat ini. Tersadar, gadis itu buru-buru mengambil wudu di kamar mandinya, sementara Jiver memilih mengambil wudu di kamar mandi dekat dapur.
Usai menjalankan ibadah salat subuh Keya duduk di balkon kamarnya bersama Jiver. Laki-laki itu tampak meregangkan otot-otot tangannya sambil menghindu udara pagi yang masih segar. Perumahan Keya yang ditanami banyak pepohonan membuat kualitas udara di sini cukup baik. Sementara Keya hanya memandang diam suaminya itu. ia bingung, akhir-akhir ini hatinya selalu berdetak tak semestinya ketika bersama dengan Jiver, lebih lagi ketika mendengar suara Jiver mengaji subuh tadi, hatinya makin tak keruan. Dalam kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan, salah satunya adalah, bagaimana Jiver bisa memiliki suara yang cukup bagus ketika mengaji tadi? Padahal dia tampak seperti kebanyakan laki-laki kota lainnya yang jarang menunaikan kewajibannya pada Tuhan. Namun, seperti pepatah don't judge a book by it cover memang benar adanya. Di balik wajah flamboyant dan gaya hidupnya, Jiver ternyata menyimpan banyak hal yang tidak ia ketahui.
"Kamu nggak bantu mama masak?"
Jiver membuyarkan fokus Keya dari pikirannya.
"Hah? Masak?"
"Iya, masak. Kenapa? Nggak bisa?"
Menelan ludahnya, Keya memilih mengganti obyek pandangannya. Ia menatap langit pagi yang dipenuhi awan mendung di sana.
"Eng...nggak bisa masak."
Jiver terkekeh geli, membuat Keya memberengut sebal. Gadis itu berdiri di sisi pagar pembatas balkon kamarnya.
"Kamu malu punya istri nggak bisa masak?" tanyanya kesal.
Jiver menghentikan tawanya, ia menghampiri Keya yang yang enggan menatapnya. Laki-laki itu lantas menyampirkan tangannya di bahu Keya, tinggi Keya yang tak seberapa membuatnya sedikit menunduk, perasaan Keya pun semakin acak adut.
"Kenapa harus malu? Kamu istriku, bukan pembantuku. Kalau saat ini nggak bisa masak ya nggak masalah. Kamu bisa belajar sama mama kan? Masih banyak waktu buat belajar. Kalau keberatan kita bisa belajar bersama-sama, suami istri seharusnya begitu kan? Dewasa bersama-sama, bukan dibebankan pada salah satunya."
"Astaga mamaaa....lumer hati adek, Ma!" pekik Keya dalam hatinya.
"Aku nggak bisa masak loh, yakin sama ucapan kamu? Selain itu aku juga manja dan nggak ada manis-manisnya jadi cewek, nyapu aja nggak bersih, nyuci baju aja pake mesin cuci."
Jiver menoleh pada Keya, ia lantas tertawa kecil, membiarkan embun menerpa wajah mereka.
"Kamu akan belajar seiring berjalannya waktu, aku juga nggak menuntut. Sekarang kamu masak ya? Belajar sekalian bantuin mama."
"Nggak mau! Ntar disuruh ngiris bawang mataku perih, terus pasti nangis."
Jiver menghela napasnya, risiko menikah dengan anak kecil ya begini. Ia harus ekstra sabar untuk membujuk Keya agar pelan-pelan bisa merubah peringai manja dan semrawutnya. Jiver percaya, waktu akan membantu proses pendewasaan diri Keya, dan saat ini sebagai suami ia bertugas untuk membimbing istrinya itu.
"Itu sudah risiko kamu kalau mau belajar masak, Ke. Aku nggak memaksamu, kalau kamu nggak mau terserah. Ya, kasihan mama punya anak perempuan tapi nggak mau bantu masak," ucap Jiver, sedikit menyindir Keya, membuat bibir Keya manyun.
"Ishhh oke deh, oke. Aku bantuin mama!" kata Keya, ia menghentakkan tangan Jiver dan melangkah pergi meninggalkan Jiver di balkon kamarnya.
***
"Keya masih kekanakan Ver, dia belum dewasa. Apa kau yakin dengan permintaanmu?" kata papa mertuanya sewaktu Jiver duduk menghadapnya.
Papa Keya baru saja pulang ke rumah malam kemarin, tepat ketika Jiver menginap di kamar Keya. Hendra—papa mertuanya tiba di rumah pukul dua belas malam, sehingga tak sempat bertemu dengan Jiver.
"Saya yakin, Pa. Keya istri saya, sudah kewajiban saya untuk bertanggung jawab atasnya. Tapi, semua keputusan ada di tangan papa."
Hendra menyesap kopi hitamnya sambil mengecilkan volume tivi yang menampilkan berita politik yang disiarkan oleh salah satu tivi swasta di negeri ini.
"Kau belum punya pekerjaan, Ver. Mau kau beri makan apa anakku?"
"Saya bekerja sampingan, Pa. Gajinya memang tidak besar, namun cukup untuk menghidupi kami berdua."
Hendra menaikkan sebelah alisnya, ia menatap Jiver lagu.
"Saya mendirikan usaha bersama teman-teman saya, ya masih kecil, Pa, tapi seperti yang saya katakan tadi, saya akan siap bertanggung jawab atas Keya," ucap Jiver seakan mengerti arti tatapan papa mertuanya.
"Oh ya? Usaha apa?"
"Sablon kaus dan percetakan, Pa, di dekat kampus sana."
Berpikir sejenak, Hendra menatap Jiver yang duduk di depannya dengan yakin. Ia lalu mengembuskan napasnya.
"Kalau sudah keputusanmu, papa memberi restu. Bagaimanapun Keya istrimu, terlepas dari sebab pernikahan kalian yang hasil dari perjodohan, tapi papa percaya kau mampu menjaganya. Papa salut padamu yang bisa membuka usaha sendiri, setidaknya kau tidak harus selalu bergantung pada papamu."
Jiver tersenyum tipis, ia menggumamkan terima kasih pada Hendra. Minggu depan, mungkin ia sudah bisa memboyong Keya untuk hidup bersama di sebuah apartemen hasil pemberian bundanya ketika ia berulang tahun ketujuh belas beberapa tahun yang lalu.
"Pa, Mas Jiver...makanan sudah siap," ucap Keya tahu-tahu muncul dari arah dapur. Jiver tersenyum kecil ketika ia mendengar panggilan Keya untuknya. Andai istrinya itu mau memanggilnya begitu setiap hari. Tapi, ia tak bisa memaksa, biarkan seleksi semesta yang membuat semuanya berada di jalur yang tepat suatu saat nanti.
***
Suasana tak kunjung membaik sedari tadi. Rapat mediasi yang dilangsungkan oleh pengurus ormawa menanggapi demo yang akan mereka laksanakan membuat ketegangan tak bisa dihindarkan. Beberapa mahasiswa yang datang dari berbagai macam partai dan ormek yang ada di kampus ngotot memertahankan asumsinya masing-masing. Perdebatan berjalan alot tanpa adanya titik final. Jiver semakin jengah dengan situasi yang memanas ini, padahal segala surat perizinan sudah diurus, tapi di penghujung hari puncak mereka malah berdebat untuk urusan yang sebenarnya tidak penting. Hanya sebatas menentukan siapa yang berhak memimpin demo dan jalannya acara besok membuat mereka berdebat tak kunjung selesai.
"Bisa saya bicara?" ucap Jiver membuat mereka semua diam.
Amir mengelus punggung Jiver, mengalirkan kekuatan. Tidak mudah memang menghadapi anak-anak organisasi di kampusnya, lebih lagi BEM U memang membawahi BEM F dan HMJ sekampusnya. Ia menjadi pemimpin umum di antara para pemimpin di fakultas dan jurusan masing-masing. Meski begitu kinerjanya tentu masih dalam pengawasan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa yang kadang membuatnya tidak nyaman pula. Sekalipun hanya sekedar kampus, tapi atmosfer politik di sini memang tidak bisa dihindarkan, kekuatan berbagai golongan terbawa di sini, sampai kepentingan dari alumni pun kadang masih terasa.
"Kalian datang dari berbagai golongan, membawa visi misi masing-masing, tapi kalau perlu saya garis bawahi, demo ini bukan atas kepentingan politik suatu partai di lingkup kampus, ataupun ormek, demo ini untuk memperjuangkan keadilan yang tertindas, begini saja kalian sudah ribut, bagaimana besok menghadapi pemerintah? Ini bukan tentang partai di kampus ini ataupun ormek lainnya. Saya tidak peduli kedatangan kalian membawa pesan dari partai nasionalis, keagamaan, liberal atau idealis. Yang saya harapkan, kalian bisa mengesampingkan ego dan menyatukan pikiran kita, dan lagi saya tidak ingin ada kerusuhan demo besok, dan mencoreng citra kampus kita, sebagai mahasiswa yang cerdas kita harus tertib dan taat pada aparat," katanya lantang.
Kasak kusuk yang tadi terjadi diam seketika saat ia bicara, Jiver memang memiliki aura ketegasan yang tak terbantahkan. Itulah yang membuatnya dulu diusung oleh beberapa partai besar di kampusnya ketika mengikuti pemira BEM U tahun kemarin, mengalahkan saingannya yang tentu saja tidak mudah. Ia tak hanya cerdas dalam bidang akademik namun mampu menunjukkan taringnya dengan membuktikan kuantitas dan kualitasnya sebagai Presiden BEM. Meskipun saat ini ia tidak ingin masuk dalam golongan partai manapun, karena baginya, sudah cukup ia hidup dalam aturan keluarganya, tidak ingin memperbanyak peraturan dalam hidupnya lagi. Ia independen dan bebas, tak ingin menerima doktrin dari manapun, karena jika ia salah langkah, bukan tidak mungkin ia akan hancur.
"Keputusan di tangan kalian, kalau masih tetap berdebat. Lebih baik kita batalkan saja acara besok."
"Mana bisa? Kami sudah bekerja keras untuk menyusun acara besok, Ver. Lo jangan seenaknya!" teriak Ustan—ketua BEM fakultas ilmu budaya di kampus mereka.
"Kalian yang bisa memutuskan. Saya sudah memberi opsi, lebih baik dari MPM yang menjadi pemimpin demo besok, mereka adalah legislative di sini, saya yakin orasi mereka lebih terjamin."
Mendengar ucapan itu, mereka sibuk berdiskusi. Ustan yang menjadi wakil dari BEM F mengembuskan napasnya sebelum mulai berbicara lagi. Ruang sidang ormawa itu semakin terasa panas saat semua arah mata tertuju pada Ustan.
"Oke, kami serahkan ke MPM."
"Nah urusan selesai, rapat bisa diselesaikan. Saya serahkan pada sie acara dan sekretaris untuk membuat surat keputusan. Kalian boleh beristirahat terlebih dahulu, besok kita berangkat sesuai jadwal. Selamat sore, permisi," ucap Jiver, ia menggeser kursinya dan melangkah keluar dari ruang sidang orawama. Ia butuh udara segar untuk menenangkan pikirannya.
***
Laki-laki itu menggenggam dua buah tiket menonton teater kampus yang diselenggarakan oleh anak-anak dari UKM Teater yang biasa menggelar pertunjukkan setiap bulan di gedung opera kampus. Tadi, salah satu temannya yang juga menjadi pengurus teater kampus memberinya dua tiket gratis untuk menonton.
"Biar pikiran lo nggak suntuk, semangat buat besok, Bro," kata Surya ketika memberinya dua buah tiket pertujukkan teater tadi.
Jiver sempat menimbang-nimbang usul Surya, namun dirasanya pula ia memang butuh hiburan untuk menenangkan diri sebelum terjun untuk demo besok, juga kepenatannya dalam mengurus usahanya yang baru saja ia dirikan bersama Amir serta Yonat dan belakangan Eki turut bergabung. Sablon kaus dan percetakan kecil-kecilan yang baru dirintisnya sebulan belakangan ini, usaha yang ia pusatkan di sekitar kampus dengan sasaran mahasiswa itu memang memiliki peluang besar untuk berkembang. Usaha yang ia banggakan agar tak selalu bergantung pada papanya, ia sudah dewasa dan sudah menikah, jadi harus memiliki masa depan yang baik untuk Keya.
Jiver mengetuk pintu kayu di rumah mertuanya. Keputusannya sudah menemui titik temu, ia butuh Keya untuk menemani dirinya menonton pertunjukkan teater tersebut.
"Loh Jiver, ayo masuk."
Lastri menggiring menantunya itu untuk masuk ke dalam rumah, ia lalu memanggil Keya di kamarnya sementara Jiver menunggu di ruang tamu. Hendra sendiri tak menampakkan batang hidungnya, barangkali laki-laki itu berada di dalam kamar untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya.
"Mama panggilkan papa ya," kata Lastri sekembalinya dari kamar Keya dengan Keya yang mengekor di belakangnya.
"Tidak usah, Ma. Saya mau mengajak Keya pergi."
"Heh kemana? Aku ngantuk," sahut Keya.
Jiver mengacungkan kedua tiket pertujukkan teater yang ia bawa. Keya melirik kea rah mamanya dan mendapat pelototan dari Lastri, memberi isyarat agar menyetujui ajakan Jiver. Keya mengangguk malas lalu balik ke kamarnya untuk mengganti baju.
"Mukamu pucat, Ver. Kamu sudah makan, Nak?"
"Sudah, Ma. Mungkin hanya kelelahan."
"Jangan terlalu sibuk di kampus, pola makanmu juga dijaga, Ver."
"Ya Ma, terima kasih."
Lastri tersenyum tipis, mereka mengobrol untuk membunuh waktu sembari menunggu Keya keluar dari kamarnya.
"Ayo. Berangkat ya, Ma."
Keya mencium punggung tangan ibunya, disusul oleh Jiver.
***
Gedung opera di kampusnya sudah ramai oleh beberapa mahasiswa yang menyaksikan pertujukkan teater yang diangkat dari salah satu cerita Agus Noor berjudul Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia. Jiver melirik Keya yang duduk gelisah di tempatnya.
"Kenapa?" bisik Jiver membuat Keya menoleh.
"Takut ada temen yang ngelihat."
Menaikkan sebelah alisnya Jiver menatap Keya bingung. "Memang kenapa?"
"Aihhhh kan aku udah pernah bilang."
"Kamu kan sudah ngaku sepupuku? Jadi apa yang kamu permasalahkan?" kata Jiver membuat Keya sedikit tertohok.
"Iya iya..."
Mereka dihantam keheningan beberapa saat. Jiver sibuk mengamati tata letak panggung di depannya dan Keya sibuk dengan ponselnya, entah apa yang dilakukan gadis itu. Mungkin memposting sesuatu di Instagram-nya.
"Cerita ini dipersembahkan Agus Noor untuk Seno Gumira, kalau bahasa gaulnya fanfiction dari cerita Sepotong Senja untuk Pacarku. Tentang Alina dan Sukab, kisah cinta yang sedikit membingungkan dan dramatis," kata Jiver.
"Sukab, Alina? Siapa?"
"Tokoh legendaris dari kumpulan ceritanya Seno Gumira Ajidarma."
"Ih namanya sama kayak kamu ya?"
Jiver tertawa. Ia menggenggam tangan Keya yang mendingin karena AC. "Ya, sama. Nasibnya saja yang nggak sama," katanya. Ada nada kegetiran di sana. Entah apa, Keya tidak tahu. Ia tidak mampu menangkap isyarat apa pun, Keya bukan gadis sepeka itu.
"Kamu kok tahu tentang itu?"
"Itu gunanya baca buku," ujar Jiver sambil tersenyum, membuat Keya ingin meleleh seketika. Senyum Jiver serupa adiksi yang menenangkannya.
"Kamu harus banyak-banyak baca buku, Ke. Jangan baca caption di Instagram terus."
Keya cemberut, ia membuang muka, memerhatikan orang-orang yang sibuk bercengkrama dengan pasangan dan teman mereka di dalam gedung itu. matanya lalu terpaku pada lighting yang bergerak-gerak di atas panggung, menyoroti desain panggung yang telah ditata apik. Keya kembali gelisah, ia tak tahu mengapa, tapi ada sebersit perasaan tak nyaman menyusup dalam hatinya, perasaan tak diundang yang membuatnya gelisah. Ia yakin ini bukan karena ia takut ada teman-temannya yang memergoki ia jalan dengan Jiver. Lebih dari itu, sebuah perasaan kesedihan yang asing, yang tak bisa ia deksripsikan.
"Besok kamu berangkat sendiri ya, aku nggak bisa menjemputmu."
Keya menoleh lagi ke arah Jiver. Menatap manik mata laki-laki itu. "Kenapa?"
Dahinya mengerut, suara orang-orang sedikit membunuh suaranya.
"Ada demo di kemetrian ESDM."
"Dan kamu ikut?"
Jiver mengangguk.
"Nggak boleh."
"Ke—"
"Nggak boleh!"
Keya berteriak. Ia sendiri tak tahu mengapa. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia tak ingin Jiver pergi.
"Everything's gonna be okey. Don't worry, Ke."
Keya bungkam, ia menggenggam kuat tangannya yang digenggam oleh Jiver. Ada rasa sesak tak kasat mata yang menghantamnya.
***
Ngetik part ini bikin mikir keras, gue sempat tanya sama temen gue tentang bagaimana terselenggaranya demo, dia agak bingung juga meskipun anak DPM -_- anjay apalagi gua yang kagak ngerti undang-undang ormawa, maaf kalau misalnya ada yang salah, yang tahu pembenarannya bisa kasih tahu gue oke hehe.
IG jiver: @jivererlangga
IG keya: @Keyanamarleni pollow jan lupa
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro