Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Confused

Hati tidak seperti hidup yang menjadi sebuah pilihan. Hati telah menetapkan, pada siapa seharusnya ia berjuang, dan pada siapa seharusnya ia pulang.

Keya memandang diam pada seseorang yang kini berada di depannya, laki-laki yang sibuk menata perabotan di apartemen bergaya minimalis, letaknya tak jauh dari kampus Keya.

Gadis itu mengembuskan napasnya kesal, bagaimana bisa, tiba-tiba saja laki-laki itu datang ke rumahnya dan memintanya untuk segera berkemas, lalu di sinilah ia sekarang. Di dalam apartemen milik Jiver, dengan seribu tanya yang masih berkobar dalam kepalanya.

"Aku sudah lama meminta izin sama mama dan papamu, kalau itu yang ingin kamu tanyakan," kata Jiver.

"Kenapa? Ini tuh mendadak, ngerti nggak sih Mas Jiper?"

Keya mendengus.

"Dengar. Kita sudah menikah, nggak seharusnya kita hidup sendiri-sendiri. Lagi pula aku sudah mampu menghidupimu meski belum seberapa uang yang kumiliki. Jadi, apa yang kamu permasalahkan?"

Jiver berjalan. Menghampiri Keya, sebenarnya alasan terbesarnya untuk membawa Keya ke apartemen ini dan memulai hidup baru bersama Keya, adalah papanya. Jiver ingin membuktikan pada papanya, bahwa ia berguna.

"Aku nggak bisa masak, nyapu enggak bersih, ngepel sering kebanyakan sabun, nyuci harus pakai mesin cuci, terus nasib rumah ini gimana?"

Keya bersungut, ia menatap malas pada Jiver yang kini sudah berada di depannya. Tampak gurat lelah di wajah laki-laki itu.

"Aku nggak menyuruhmu melakukan semua itu, kita bisa melakukannya sama-sama. Dan lagi, ini salah satu caraku untuk memperjuangkanmu, Ke. Satu bulan, kamu masih ingat aku memberimu waktu satu bulan. Tapi, di sisi lain aku juga berhak memperjuangkanmu. Kita harus mengenal lebih jauh."

Jiver menatapnya serius, membuat Keya tidak berkutik. Ia merasakan debaran jantungnya menggebu lagi. Keya tak suka ditatap seperti itu oleh Jiver. Keya hanya merasa, sebenarnya tak pantas untuk Jiver. Laki-laki itu terlalu tinggi, untuk dirinya yang biasa saja.

"Udahlah, aku mau mandi," kata Keya. Ia berusaha menghindar, sembari meyakinkan dirinya, tentang segala hal yang masih membingungkan antara ia dan Jiver. Dan tentang...foto seorang anak laki-laki di kumpulan kliping yang ia temukan di kamar Jiver dulu.

***

"Kemarin, terakhir kali kamu membuat saya repot!"

Dito melipat kedua tangannya, pria itu berdiri di depan meja kerja yang ada di ruang kerjanya. Di dalam rumah itu, tepatnya di dalam ruang kerja Dito--papanya, Jiver tampak menatap laki-laki itu dengan gurat kehilangan.

"Dan apa ini? Saya menemukan benda sialan ini di kamarmu!"

Dito berteriak lagi, kali ini ia melimpar sebuah buku agenda milik Jiver. Tempat, biasanya laki-laki itu menulis puisi.

"Pa--"
"Kamu masih membuat puisi-puisi sialan itu? Apa maumu sebenarnya? Tidakkah larangan saya kamu dengarkan?"

Pria itu marah. Ia menatap tajam Jiver yang hanya diam. Anak laki-laki itu selalu tak berkutik di depannya, ia hanya akan memilih diam tanpa suara. Tanpa pembelaan seperti biasa.

"Kamu tidak boleh membuat kalimat-kalimat laknat itu, Jiver! Kamu ingat pesan saya, ha?"

"Saya ingat, Pa."

Jiver menunduk, kredibilitasnya sebagai Pres BEM yang biasanya dikenal tegas dan organisator ulung tampak tak berarti apa-apa di depan Dito.

"Bagus! Lebih baik cepat kamu selesaikan kuliahmu. Buatlah saya bangga seperti kakakmu."

Dito melunak, Jiver menghela napasnya. Ia beranjak, hendak mengambil buku agendanya sebelum suara Dito menghentikannya.

"Jangan kamu sentuh lagi benda itu, saya akan membakarnya."

Ucapan Dito adalah perintah. Jiver memilih mengalah, ia menundukkan kepalanya, lalu pergi dari ruangan Dito. Selalu seperti ini, sejak dulu, Dito tidak suka melihatnya menulis puisi. Di balik pintu, bundanya sudah berdiri, mengulurkan tangan untuk Jiver.

"Maafkan papamu, Jiv," ucap bundanya lirih. Jiver memeluk wanita itu, wanita penuh sabar yang sudah merawatnya, menjadi penyembuhnya saat ia terluka dan menjadi pencegahnya dari banyak lara.

"Aku nggak papa, Bun. Nggak usah khawatir."
"Bunda akan tetap mendukungmu kalau kamu mau menulis, kamu nggak usah takut."

Ira melepas pelukannya, ia mengelus wajah Jiver dengan pelan. Matanya berkaca-kaca hendak menangis, anaknya ini selalu diliputi beban dan kesedihan, walau ia berusaha untuk tetap biasa dan bahagia. Dan itulah yang menjadi alasan Ira untuk menjodohkan Jiver dengan Keyana--gadis ceria yang selalu bertingkah aneh, agar hidup anak laki-lakinya itu lebih berwarna. Lagipula, Lastri juga teman lamanya, dan tak keberatan dengan hal itu.

"Aku pulang ya, Bun."
Ira tersenyum tipis, ia hampir lupa jika rumah Jiver bukan lagi di sini.
"Hati-hati sayang."
"Pasti, Bun."

***

Jiver menabur bunga di sebuah makam yang tampak tak terawat. Makam itu terletak bersebalahan dengan sebuah makam yang berusia sama. Telah terkubur, jasad itu bertahun-tahun lalu, menyisakan segenap duka yang tak berkesudahan dalam hidup Jiver. Kehilangan yang paling menyakitkan, pikirnya, setiap ia berkunjung atau mengenang sosok yang berada di dalam makam ini.

"Apa kabar?" Ia berkata sendiri, tak ada siapa pun di sana. Makam itu tampak sepi.

"Baik? Ya pasti, saya nggak baik."
"Tapi tenang saja, saya akan mencoba baik-baik saja di sini."
"Kamu bahagia di sana kan?"
"Tentu, saya tahu. Dan kamu membiarkan saya di sini sendiri. Saya sebatang kara di sini."

Ia tersenyum masam.

Jiver mulai mencabut rerumputan yang tumbuh liar di atas pemakaman itu. Matanya menyusuri gundukan tanah itu. Lalu ke arah nisan yang tampak kusam. Ia mengelus nisan itu, hatinya bergetar, ada gurat kesedihan yang sekarang menjadi akar. Ia rindu.

"Lain kali saya ajak istri saya ke sini. Oh saya belum memberitahumu ya, kalau saya sudah menikah?"
"Ya lain kali, kamu jangan khawatir. Saya akan memperkenalkannya padamu."

Ia tersenyum tipis sebelum pergi meninggalkan pemakaman yang terletak di kota Bandung itu. Perlu menempuh waktu untuk menuju pemakaman itu, jarak kota tempatnya tinggal dan Bandung tidaklah dekat. Dan berada di tempak itu, meskipun menyakitkan, tapi ia selalu mendapat ketenangan.

***

"Dari mana?"

Keya menyambutnya dengan muka ditekuk. Istrinya itu mengerucutkan bibirnya tampak kesal.

"Rumah bunda."
"Oh, aku pergi ya."
"Kemana?"
"Nonton sama Arsa."
"Hm...jangan malam-malam pulangnya."

Keya mengangguk. Ia mengacungkan kedua jempolnya pada Jiver, dan berlalu begitu saja meninggalkan Jiver yang tak jadi menuju ke kamarnya. Laki-laki itu memutar tubuhnya, mengekori Keya dari jarak yang tidak bisa dijangkau gadis itu.

"Halo Mir..." Ia menelepon Amir.

"Gue baru tahu lo tinggal di sini," kata Arsa begitu Keya masuk ke dalam mobilnya.

"Baru pindah kok hehe...pengin mandiri gitu."
"Anak mami kayak lo gini pengin mandiri? Kepala lo nggak kepentok tembok kan?"

Arsa menatap Keya sangsi. Mengalihkan kegugupannya Keya malah terkekeh, dalam kepalanya banyangan Jiver malah semakin sering muncul.

"Ayo dah berangkat, mau nonton apa ntar?"
"Gue nggak tahu film yang lagi tayang apaan sih."

Keya mengangkat bahu, bingung. Ia tak pernah update tentang film, kalau drama Korea jangan ditanya. Ia selalu tahu drama mana yang akan tayang atau yang sedang tayang.

"Yaudahlah ntar aja kita lihat."

Keya mengangguk.

***

"Anjir lo Ver, sialan pokoknya. Lo pikir gue maho sampai lo minta gue nemenin lo nonton beginian? Heh...anjay gue ada rapat ntar."

"Bisa diam nggak, Mir? Rapat lo masih nanti nggak sekarang."

"Lo nyebelin kayak mak mak yang nyalain sen kiri terus beloknya ke kanan, abis itu nyungsep terus nyalahin yang nabrak. Sial banget tahu kagak lo?"

Amir mengoceh, Jiver bahkan ingin menyumpal mulut Amir dengan soft drink yang tadi ia beli. Matanya masih fokus mengamati kursi yang berada dua baris di depannya, tempat Keya dan Arsa sedang duduk untuk menyaksikan film yang sedang diputar.

"Lo ngapain sih tiba-tiba ke sini? Kenapa nggak sama bini lo?"

Jiver diam, ia sama sekali tak menanggapi ucapan Amir atau melihat film Fast Furious 8 yang sedang ditayangankan.

"Ver..."
"Gue lagi ngikutin dia. Dua kursi di depan kita, dia lagi sama Arsa."
"Hah?"
"Arsa siapa?"
"Ketua DPM Fakultas Psikologi," jawab Jiver, merasa tak betah dengan kecerewetan Amir.
"Anjayy selingkuh bini lo bro."

Jiver menjitak kepala Amir, beberapa orang mulai memerhatikan keberisikan mereka.

"Sakit bego!"
"Diam lo."

Amir berdecak, ia memilih diam dan menikmati sisa film yang diputar begitu melihat wajah kusut milik Jiver.

***

"Ini lo mau kemana lagi?"

Dua orang laki-laki itu berjalan seperti pasangan maho di belakang Keya dan Arsa yang sedang menuju toko buku. Jiver dengan ketenangannya dan Amir dengan kehebohannya.

"Lo bawa gue ke toko buku? Gila ya lo? Ngelihat buku aja gue anti," kata Amir ketika ia tahu Jiver sudah masuk ke dalam toko buku, tentu dengannya pula.

"Gue mau nyari bukunya Sapardi Djoko."
"Halah, alibi. Gue tahu Keya sama Arsa masuk ke sini. Mau gue bantuin nggak lo?"

Jiver mengerutkan dahinya, tak paham maksud Amir.
"Tunggu ya!"

Dengan gayanya Amir berjalan menghampiri Arsa dan Keya yang sedang berada di rak buku fiksi, melihat beberapa koleksi terbaru novel remaja bulan ini. Amir menepuk bahu Arsa sekalias, membuat laki-laki itu menoleh kaget.

"Heh bro, ngapain lo di sini?" Kata Amir sambil melirik Keya sebal. Dia kesal dengan Keya yang jalan bersama Arsa.

"Kok lo di sini, Mir? Tumben?"

Arsa balik bertanya.

"Anu gue lagi nemenin Pak Pres BEM nyari novelnya Sapardi, buat bininya katanya."

Keya menyipitkan matanya, menatap Amir penuh selidik.

"Loh Jiver udah nikah?"
"Heem kan lagi heboh tuh beritanya."
"Gue baru tahu."
"Haha...ntar rapat gabungan, lo nggak dateng apa? Setengah jam lagi kan?"
"Iya dateng, habis ini gue pulang."
"Sama gue aja sekarang."
"Tapi gue bareng Keya," kilah Arsa, ia mulai sebal pada Amir yang tiba-tiba datang dan merecokinya.
"Alah Keya bisa pulang sendiri atau bareng Jiver, kan adek juniornya Jiver juga. Bereslah. Ya nggak, Ke?"
"Nggak bisa--"
"Udahlah ayo."

Amir menyeret Arsa keluar toko buku, meninggalkan Keya yang termenung melihat kepergian dua laki-laki itu. Keya masih tetap diam, sambil memegang sebuah novel bersampul peach yang tadi dipegang oleh Arsa. Tanpa sadar seorang laki-laki tengah menghampirinya.

"Pulang?" tanya Jiver, seakan ia sadar kedatangannya telah mengejutkan Keya.

"Kok bisa di sini? Kamu ngikutin aku?"
"Beli buku," katanya sambil menunjuk beberapa buku dari Sapardi dan Budi Darma.
"Bohong! Ngikutin kan pasti?"

Menghela napasnya laki-laki itu berjalan menuju kasir setelah mengambil buku milik Keya yang tadi dipegang oleh gadis itu.

"Kalau itu termasuk bagian dari memperjuangkanmu, maka jawabannya adalah iya," ujarnya, sebelum berlalu ke arah kasir, membiarkan Keya yang masih berdiri dengan pikiran semrawut.

***

"Sumpah gue masih nggak percaya sama ucapan lo minggu lalu, Ke," seru Lili, ketika mereka sedang duduk di kelas menunggu dosen datang.

"Lo berdua bisa diam nggak? Ini kelas plis, semua orang bisa denger lo ngomong apa," kata Keya sebal.

Sejak kemarin, perasaannya sedang dalam kondisi buruk, insiden toko buku dan ia yang berakhir pulang bersama dengan Jiver--sebelum laki-laki itu kembali ke kampus untuk rapat--membuatnya tak habis pikir, kenapa laki-laki itu tiba-tiba saja muncul di depannya dan Arsa.

"Lo kenapa sih? PMS?"
"Gue lagi pusing bikin makalah, puas lo pada?"

Maya menggeleng. "Gue tahu bukan itu yang lo pikirin. Kenapa? Ceritalah."

Keya diam untuk sesaat, ia tak seratus persen berbohong tentang kepalanya yang dipenuhi oleh tugas membuat makalah individu sebagai persyaratan untuk UTS nanti, tapi di satu sisi, ia juga tengah dibingungkan oleh perasaannya untuk Jiver atau kehadiran Arsa lagi dalam hidupnya.

"Gue mau cabut."
"Loh matkulnya Pak Edi loh, Ke."

Maya memperingatkan. Pak Edi adalah salah satu dosen killer yang mengajar mata kuliah pengantar akuntansi 1.

"Bodo!" Katanya sambil berkemas untuk segera pergi dari kelas. Ia butuh udara segar. Percuma tetap di dalam kalau pikirannya tidak di sana.

Keya memilih untuk pergi ke kantin, memesan segelas besar es oreo. Dunia kuliah tidak semenyenangkan yang ia pikir, dosen tidak seperti guru yang selalu mengingatkan tugas siswa jika belum dikumpulkan. Dosen lebih kejam, mereka tidak peduli meski mahasiswanya tidak mengumpulkan tugas atau tidak ikut kuis sekalipun. Ditambah statusnya yang sudah menikah, dengan segala gejolak masa muda yang masih menjadi momok baginya.

Ia melihat Jiver dari kejauhan, laki-laki itu bergerombol dengan teman-temannya seperti biasa. Tertawa seperti biasa seakan tidak ada beban, dengan kopi hitam dan kepulan asap rokok yang dihisap oleh teman-temannya. Keya menghela napasnya lelah, seakan-akan sifatnya yang mendiamkan Jiver sejak kemarin tak berarti bagi laki-laki itu, seperti tak memiliki pengaruh apa pun. Dan Keya tidak suka. Ia akui dirinya memang egois, terbiasa menjadi anak tunggal menyebabkan dirinya menjadi menyebalkan. Ia akui itu.

Ketika ia hendak mengalihkan fokusnya, Keya mendapati Jiver tengah melihat ke arahnya. Laki-laki itu tak menunjukkan ekspresi apa pun, Jiver segera memalingkan wajahnya. Sikap itu, membuat sesuatu di dada Keya terasa sesak.

tB

Oiya info WATTPAD NGGAK LARANG BUAT NULIS CERITA RATE MATURE HANYA SAJA TOLONG KASIH TAG MATURE KE CERITANYA DAN JANGAN KASIH GAMBAR COWOK CEWEK LAGI NA ENA. KALAU TIM WATTPAD NGASIH PESAN YANG ISINYA CERITAMU TELAH DIREPORT KARENA ENGGAK KASIH RATE MATURE, jangan marah ya :), jangan nuduh ambass jugak. Maaf nih, aku cuma kasih tahu, kenapa kucapslok? Soalnya biasanya author notes suka enggak dibaca :(.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro