Ada Apa dengan Jantung Keya?
I am back. Jiper punya Ig, follow yuk @JiverErlangga. Mau tau kan castnya Jiver siapa? Makanya follow hehe...*digeplak
***
Kenangan? Ia adalah masa lalu yang pasti menyimpan cerita, kadang tentang bahagia namun lebih sering tentang luka.
***
Keya merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pukul sembilan malam ia baru tiba di rumah setelah mengerjakan tugas kelompok untuk Ospek di rumah temannnya. Insiden membaca surat cinta siang tadi masih menjadi bayangan yang mengerikan bagi Keya. Jiver itu raja tega, tahu begitu isi suratnya Keya akan memilih menangis tersedu-sedu dan tidak mendapatkan bintang sama sekali ketimbang harus membaca surat nista itu di depan semua orang. Malu!
Sepertinya besok ia harus memakai topeng untuk ke kampus. Tapi, Keya menggeleng. Topeng mengingatkannya pada video klip salah satu selebgram yang menunggang kuda dengan gaya yang...ah lupakan. Keya bergidik ngeri.
"Belum cuci muka, belum ganti baju sudah main tidur saja. Kamu ini sudah besar loh, Ke."
Lastri menghampiri anak gadisnya yang sedang tiduran di atas kasur, masih lengkap dengan seragam Ospek, kemeja putih ditambah rok hitam selutut dan rambut Keya yang sudah acak-acakan.
"Malesss Maaa...kesel sama Jiperrr!" Gerutu Keya, enggak membuka matanya.
Lastri melotot, ia mencubit lengan Keya, membuat gadis itu mengaduh dan refleks membuka matanya.
"Jiver itu suamimu, panggilannya masa gitu? Mama nggak pernah loh ajarin kayak gitu."
"Terus aku panggil apa dong?"
"Mas Jiver, Ke. Biar sopan. Kamu hidup di negara timur, bukan di barat."
Keya mendengus, berpikir sejenak. "Tahu nggak, Ma? Tadi kan ada seminar tentang nikah muda, kata narasumbernya nikah muda itu nggak baik, selain psikis kedua pasangan belum siap, nikah muda lebih berisiko buat cerai karena pemikirannya anak muda itu biasanya masih fluktuatif, belum saatnya dibebani sama kehidupan rumah tangga. Apalagi nih ya kalau hamil gitu, rahim si ibu kan belum siap, Ma. Jadi besar kemungkinan kematian bagi si ibu dan janinnya, terus pendidikan awal si anak juga bakal keganggu, karena lima tahun pertama awal pertumbuhan si ibu muda yang belum siap ini kurang maksimal mendidik anaknya," kata Kaya panjang lebar, padahal tadi Keya tidak ikut mendengarkan seminar, ia kan sibuk melamun. Ia tahu tentang materi itu juga karena nyontek rangkumannya si Maya sebelum menyetor rangkuman seminar itu pada panitia siang tadi.
"Kamu nyindir mama karena nikahin muda kamu sama Jiver?"
Keya memgangkat bahunya sambil cengengesan. "Ya alhamdulillah kalau mama peka."
Lastri menggeleng-gelengkan kepalanya. "Memang kamu mau hamil? Bahas anak segala, wong mama juga nggak minta cucu sekarang."
Mata Keya membeliak, menatap horror mamanya dengan muka panik.
"Ah mamaaaa...bukan itu tahu!"
"Lalu?"
"Ya misalnya batalin nikahan Keya kek sama Jiper."
"Keee...Mas Jiver!"
"Iya iya! Ish...Mas Jiver."
"Memang mau kamu jadi janda?"
Keya melotot, ia bergidik. Janda di usia delapan belas tahun? Yang benar saja mamanya? Siapa juga yang mau?
"Ihhh nggaklah."
"Sudahlah mama mau tidur, jangan lupa ganti baju, cuci muka baru tidur," kata Lastri sebelum beranjak. Keya ingat sesuatu lagi, ia harus mengadu pada mamanya.
"Eh...Maaa mantumu tadi kurang ajar loh, masa suruh Keya baca surat cinta buatannya di depan umum? Kan malu Keya."
Lastri urung pergi. Ia berbalik melihat Keya lagi.
"Baguslah, biar kapok kamu, suami kok dibilang kurang ajar, dosa kamu, Ke," pungkas Lastri sebelum benar-benar pergi dari kamar Keya, membuat gadis itu mencak-mencak sebal karena mamanya lebih membela Jiver daripada dirinya.
***
Jiver turun dari motornya yang terparkir di halaman rumah sang mertua. Ia melepas helm berwarna hitam lantas merapikan rambutnya sebelum berjalan menuju pintu dan mengetuk pintu rumah mertuanya itu.
Mungkin malam sudah larut, namun, ia sempatkan untuk mampir ke rumah mertuanya agar bisa memastikan keadaan Keya. Laki-laki itu tahu benar Keya pasti sedang marah padanya. Jujur ia merasa bersalah juga, tapi bisa apa, kejadian itu di luar dugaannya, lagi pula ia juga tak memiliki wewenang atas kinerja OC, itu urusan ketua pelaksana. Meski, mengingatnya, membuat Jiver selalu ingin tertawa, yang tak benar-benar ia lakukan, karena tidak ingin dicap gila akibat tertawa sendiri. Wajah Keya tadi benar-benar lucu.
"Mas Jiper?"
Suara Mbok Nah manyambutnya malam ini. Jiver tersenyum tipis, mencium punggung tangan Mbok Nah--pembantu di rumah Keya. Ia selalu melakukannya, karena ia pikir semua perempuan pantas untuk dihargai, tak peduli seorang pembantu sekalipun. Semua manusia derajadnya sama, apalagi perempuan, pesan mamanya selalu ia ingat benar. Laki-laki sejati tidak akan pernah menyakiti hati seorang perempuan, jika ada yang melakukannya, berarti ia pecundang.
"Mas Jiper mau ketemu Mbak Keya?"
"Iya Mbok," jawab Jiver, ia membiarkan Mbok Nah memanggilnya Jiper, karena wanita paruh baya itu tak bisa mengeja huruf 'V' sesuai namanya.
"Masuk aja, Mas. Mbak Keya di kamar."
Jiver mengangguk sebelum berlalu menuju kamar Keya di lantai dua. Suasana kamar Keya hening, tapi gadis itu belum tidur juga. Ia masih terjaga sambil memainkan ponselnya bersama beberapa kertas yang berserakan di atas kasur, Keya tak menyadari kedatangannya.
"Tugasmu sudah selesai?" Tanya Jiver membuat Keya mengalihkan tatapannya dari layar ponsel.
Keya tampak mendengus begitu melihat Jiver, ia ingat kejadian siang tadi dan janjinya untuk memberi pelajaran pada Jiver. Segera saja Keya bangkit dari duduknya di atas kasur. Gadis itu menghampiri Jiver, lalu menendang tulang kering kaki kanan Jiver dengan tiba-tiba sampai dua kali.
"Aduhhh Ke...kamu kenapa?" Tanya Jiver terkejut karena sikap Keya.
"Balesan karena tadi mempermalukan gue di depan umum! Dasar nggak berperikesuamian."
Jiver masih mengaduh, ia memegangi kakinya yang terasa nyeri akibat tendangan Keya.
"Aku tidak tahu kalau surat itu yang terpilih, Keyana!"
"Bohong! Kamu kan Pres BEMnya!"
Jiver geleng-geleng kepala, ia memutuskan untuk duduk di sisi ranjang milik Keya, karena kakinya yang bertambah nyeri, pantas saja ibu mertuanya bilang istrinya itu bar-bar, begini modelnya.
"Aku hanya SC di acara itu, Ke. Bagian memberi hukuman, penentuan surat terbaik dan sebagainya itu wewenang OC, aku sama sekali tidak tahu."
"SC, OCelah? Ah bodo, nggak tahu! Pokoknya lo yang salah Per. Benci gue sama lo."
Jiver malah tertawa kecil sambil melihat wajah masam Keya, ponsel di sakunya kemeja mendadak bergetar. Laki-laki itu mengambil ponselnya dengan membaca pesan LINE dari Amir.
Amir GANTENG: bro, warung Mbak Supik. Bahas kegiatan hari terakhir, sekalian ngopi yo. Banyak yang bohai man!
Jiver mengetik kata 'ya' sebelum mengembalikan ponsel di saku kemejanya lagi. Ia menatap Keya yang masih cemberut.
"Yasudah, maaf kalau tadi keterlaluan. Aku benar-benar tidak tahu, Keya."
"Nggak ada jaminanya gue kudu percaya sama lo, Per."
"Ya jangan percaya, aku tidak memaksa. Jadi, apa tugasmu sudah selesai?"
Jiver mengulangi pertanyaannya.
"Belum!"
"Perlu bantuan?"
Keya berdecih. Bantuan? Haha...ia tahu sekarang, di balik sifat suaminya yang katanya berwibawa itu, Jiver menyimpan sisi jahil luar biasa. Pasti di luar Jiver hanya menunjukan sisi baiknya, sehingga ia dipuja-puja dari golongan cabai kiloan, cabai gemes sampai cabai elit dan segala jenis cabai yang ada.
'Ngawur!' Keya menghentikan pemikiran anehnya.
"Ogahhhh!"
"Hahaha...yasudah. Aku pergi, selesaikan tugasmu segera, lalu tidur. Jangan lupa salat kalau belum salat."
Jiver beranjak dari ranjang Keya, ia mengacak-acak rambut istrinya itu dan memberikan Keya seutas senyum manis, membuat kerja jantung Keya mendadak berhenti untuk sesaat.
Keya masih membatu di tempatnya setelah Jiver menghilang dari kamarnya. Itu tadi senyum Jiver, Goblin, atau malaikat maut?
"Uh mamaaa! Jantung Keya nggak sehat, Keya perlu EKG!"
***
Jiver tiba di warung Mbak Supik dan menemukan Amir beserta beberapa teman kampusnya sedang nongkrong di sana. Sambil menyesap secangkir kopi hitam seharga empat ribu rupiah beserta semangkuk mie instan kuah lengkap dengan telur dan kepulan asap rokok cigarette bercampur dengan asap vape memenuhi warung angkringan yang banyak dikunjungi oleh mahasiswa itu.
"Woi Jiv, kemana aja lo? Lama banget nyampenya," kata Amir, lalu menyodorkan rokoknya untuk Jiver.
"Lo kan tahu gue nggak ngerokok," tolak Jiver, ia lalu memesan secangkir kopi hitam pada pelayan di warung Mbak Supik.
"Ahela Jiv, dicoba kek sekali-kali."
"Nggak. Nanti gue kecanduan. Nggak hanya gue yang rugi, tapi orang yang kena asap rokok juga rugi."
Amir tertawa lalu mematikan rokoknya. Beberapa teman-teman mereka juga sibuk berbincang sendiri, mereka memang tidak akan tidur, karena setelah evaluasi kegiatan tadi, masih harus membahas kelanjutan kegiatan setelahnya. Ibaratnya, tidak hanya maba saja yang sengsara, tapi panitia juga.
"Banyak maba cantik tuh, bisalah lo gebet satu, atau tiga mungkin, sekali tangkap dapat banyak."
Kopi Jiver tiba, ia memilih menikmati kepulan asap kopinya, ketimbang menjawab pertanyaan Amir.
"Jiv, ayolah! Sudah lima tahun dan lo belum move on juga? Mannn, lo cowok, masa kudu menye-menye gini?"
Jiver mengangkat kedua bahunya, ia malas jika Amir membahas hal ini. Jiver menyesap kopinya, mengabaikan suara-suara tawa, dan gaduh yang bercampur di warung Mbak Supik. Tidak hanya mahasiswa, tapi beberapa mahasiswi masih berada di sini, sekedar nongkrong sambil wifi-an atau memang sedang rapat seperti yang dilakukannya bersama Amir--tadinya, sebelum Amir membelokkan arah pembicaraan mereka.
"Percuma kalau lo terus ada di titik kenangan lo sama dia, dia nggak bakal balik."
"Mir...tujuan awal kita rapat ya rapat, jangan melenceng."
Amir menghela napasnya pasrah, Jiver memang susah dinasihati.
"Ngelupain dia nggak akan jadiin lo bejat kayak bokap, lo."
Jiver menundukkan wajahnya, ia mengacak rambutnya. Rasa penat dalam diri dan hatinya semakin menjadi seiring dengan Amir yang terus mengungkit hal yang paling ia benci.
"Gue pulang. Subuh gue ke kos lo, kita lanjutin rapat," kata Jiver tiba-tiba.
Laki-laki itu berdiri meninggalkan Amir, teman-temannya yang lain, asap rokok dan sisa kopinya yang belum habis. Tapi, satu yang tak pernah bisa ia tinggalkan, kenangan. Kenangan yang selalu ia bawa kemana-mana dan menjadi hantu di kepalanya.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro