Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tertolak

Ajari aku untuk mampu, membuat kita kembali utuh. Biarkan aku untuk mampu, membuat kita kembali satu.

"Mami jaga diri baik-baik ya. Aku janji libur semester nanti pasti pulang," kata Aluna sambil menatap maminya. Gadis itu menahan air matanya, tak tega meninggalkan maminya. Namun, ia juga harus meneruskan kuliahnya, tidak boleh terlalu lama membolos, atau akan berdampak pada nilainya.

"Mami udah sehat, Lun. Nggak usah khawatir."
"Sehat tubuh, ya, Mi. Nggak buat hati Mami, aku tahu berat banget bagi mami buat laluin ini semua."
"Nggak, Nak. Mami udah baik-baik aja. Kamu nggak usah khawatir, ada keluarga Om kamu di sini."

Aluna tersenyum sumbang, ia menatap Om Fandy dan tantenya, juga Rajendra.

"Ndra, kalau ada apa-apa sama mamiku, hubungin aku ya. Om, Tan, nitip mami," ucapnya.

Om Fandi mengelus rambut Aluna penuh sayang. Ia menyayangi Aluna seperti anaknya sendiri, Aluna satu-satunya keponakan yang ia miliki, dari saudara yang sangat dicintainya--Alisha. Kehidupan Aluna yang carut marut selepas perceraian orang tuanya membuat Fandy paham, Aluna tak sekuat kelihatannya. Ia mungkin saja kurang kasih sayang.

"Ya udah, Mbak. Ayo!" Ajak Rajendra, Aluna mengangguk paham. Ia mengikuti langkah Rajendra keluar kamar inap maminya setelah mencium punggung tangan mami, om dan tantenya. Di depan Davika dan Zello sudah menunggu.

Zello mengmbil alih koper Aluna tanpa suara, tangannya yang bebas menggenggam tangan kiri Aluna tanpa suara. Ia tak mengatakan apa pun pada Aluna, hanya memberi seutas senyum tipis pada gadis itu, membuat debar-debar di jantung Aluna semakin menggila. Sementara Davika dan Rajendra berjalan di depan mereka dengan Davika yang tampak menjaga jarak dari sepupu Aluna.

Mereka berjalan, menuju mobil Rajendra yang akan dikemudikan mengarah ke bandara, meninggalkan Surabaya dan setumpuk khawatir di benak Aluna untuk maminya.

***

"Zelll...sini woiii!"

Suara itu, Aluna sangat mengenal. Seorang laki-laki yang biasa ada dalam lingkaran pertemanan Zello. Laki-laki jangkung berhidung mancung, si sapu arab--Ahmed, tampak melambaikan tangannya ke arah Aluna, Zello dan Davika yang baru saja mendarat setelah lepas landas dari Surabaya bersama pesawat yang membawa mereka.

Ahmed dengan cengirannya menghampiri Zello, di belakang laki-laki itu ada Aldo beserta Shilla yang terlihat cemberut, gadis itu masih mengenakan hijabnya sejak kejadian di rumah sakit beberapa waktu lalu.

"Woi brooo, balik juga lo akhirnya," kata Ahmed. Ia menepuk bahu Zello, Davika hanya memutar kedua bola matanya, sementara Aluna tak menunjukkan reaksi apa-apa.

"Shila kenapa ikut?" Tanya Zello, ia memandang Shilla yang kini tersenyum manis padanya.
"Tahu nih, ngerecokin aja ini anak. Pas mau jemput lo tadi kan kita baru kelar rapat, eh ini anak nyerobot kayak angkot kejar setoran," ucap Ahmed, melirik malas pada Shilla.

Zello memilih tidak menanggapi, matanya justru memperhatikan Aldo yang terlihat tersenyum hangat pada Aluna, dan, Zello tidak suka atas senyum Aldo yang menurutnya sangat memuakkan itu.

"Io mana?"

Kening Zello berkerut begitu menyadari Io tidak ada di antara mereka. Ia celingukan mencari keberadaan Io, temannya itu tak tampak di mana pun.

"Nanti gue ceritain," kata Ahmed, ia menghindari tatapan Zello untuk saat ini.

"Zell, gue capek deh. Buruan napa, ini rame-rame gini, terus gue gimana sama Aluna, mana cukup mobilnya?" Cerocos Davika sambil menghentak-entakkan kedua kakinya.
"Kita naik taksi aja ya, Dav." Aluna bersuara.
"Kalian sama gue dan Zello, Aldo bawa mobil sendiri," sahut Ahmed.
"Yaudah buruan! Gue capek tahu."

Zello terkekeh geli, ia mengangguk ke arah Davika.
"Gue ikut lo ya, Zell."

Suara Shilla membuat pergerakan Zello terhenti, Davika memandang gadis itu dengan malas, ia tahu gadis berhijab itu menaruh perasaan pada Zello, semua orang juga akan mengira demikian saat melihat tatapan mata Shilla pada Zello.

"Nggak muat, Shill."

Zello berkata final, ia meninggalkan Shilla dengan Aldo, menggandeng tangan Aluna yang diikuti Davika dari belakang. Dalam diam, Davika terkikik ketika melihat Zello dan gadis berhijab yang tampak menahan malunya.

See, Zello memang tidak pernah berubah saat sudah mencintai seseorang. Ia akan mengutamakan seorang tersebut, meski kelakuannya membuat pihak lain terluka.

"Lo nggak akan bisa sama dia, Shil," kata Aldo, membuat Shilla menoleh seketika. Ia memandang Aldo dengan muka pias.
"Dan, lo pikir lo bisa dapetin Aluna?"

Wajah sinis Shilla mengundang gelak tawa Aldo, laki-laki berambut hitam itu menepuk-nepuk kausnya yang tak bernoda.

"Gue nggak pernah ngerasa memperjuangkan Aluna. Jadi, apa yang harus gue dapetin?"
"Tapi, lo...suka sama Aluna kan?"

Aldo tersenyum miring, ia mengisyaratkan Shilla untuk berjalan mengikutinya menuju parkiran.

"Memang, semua rasa suka harus diperjuangkan?"
"Ya kenapa nggak?"
"Ternyata, kodratnya manusia itu egois ya." Aldo menoleh pada Shilla. "Kalau semua rasa cinta harus berakhir sama-sama, nggak bakal ada patah hati, nggak ada cerita galau, nggak ada lagu galau, bahkan...nggak bakal ada sebuah perubahan."
"Maksud lo?" Dahi Shilla mengerut tak paham.
"Lo nggak bakal berubah sampai pakai hijab kalau bukan karena cinta dan keinginan lo buat berakhir sama Zello, Shill."

Shilla terperangah, wajahnya memerah. Ucapan Aldo menohoknya, membuatnya diam. Tak salah Aldo menjadi Ketua BEM, ucapannya selalu tepat sasaran. Perubahan manusia memang selalu didasari oleh keinginan dan kebutuhan, dan...Shilla adalah salah satunya, ia ingin tampak di mata Zello, ia ingin Zello melihatnya ada, hingga mati-matian ia berusaha, tapi ia lupa...di balik sebuah usaha, Tuhanlah yang Maha menentukan segalanya, termasuk hati Zello.

"Hargai diri lo sendiri, Shill. Jangan memperjuangkan apa yang terlihat mustahil. Mencintai nggak salah, yang salah hanya obsesi lo sendiri."

Shilla menelan ludahnya, tenggorokannya mendadak kering.

***

"Aku mau ngomong, Lun."

Aluna urung membuka pintu mobil milik Ahmed. Hanya ada mereka berdua di dalam mobil itu, Ahmed dan Davika sudah diturunkan Zello di kediaman mereka. Zello sendiri memaksa untuk membawa mobil Ahmed, ia ingin mengantarkan Aluna ke rumahnya seorang diri, memastikan gadis itu selamat.

"Apa?"

Ada kesan dingin di balik suara Aluna. Zello paham, sangat mengerti bagaimana Aluna. Keadaan ini hampir serupa saat awal Zello mendekati Aluna dulu, ketika menembak Aluna pertama kali di warung bakso itu pun Zello tahu, Aluna bukan gadis yang mudah untuk dimiliki, saat itu, Aluna dengan halus menolaknya. Hingga, sepulang dari kencan mereka di warung sate Cak Mu'in, seperti saat ini di depan rumah Aluna, ia menyatakan perasaannya pada Aluna untuk yang kedua kalinya, entah keajaiban dari mana gadis itu menerimanya. Dan, bolehkan Zello berharap kalau saat ini ia bisa mengulang saat itu?

"Aku masih sayang sama kamu, Lun. Dan aku serius mau kita balikan. Apa kamu mau, Lun?"

Napas Aluna terasa mandek, ia menatap Zello dengan raut wajah merah padam. Tangannya meremas ujung kaus yang ia kenakan. Matanya menatap Zello nyalang.

"Setelah kamu bohongin aku selama kita pacaran, dengan kamu yang masih sayang sama Davika? Setelah seminggu menghilang sebelum kita putus, setelah awal pertemuan kita lagi, kamu bersikap manis lalu tiba-tiba berubah menjadi dingin dan, setelah kamu bohongin aku lagi dengan nggak jujur kalau kamu itu editorku, atau setelah kedekatanmu dengan Mbak Shilla, kamu masih minta aku buat balik jadi pacar kamu, Zell?" Ucap Aluna, dengan suara bergetar, ia tampak menahan tangis.

"Lun, bukan itu maksudku!"
"Lalu, apa? Apa Zell? Kamu bisa jelasin?"

Zello mengusap wajahnya. Ia pandangi Aluna dengan wajah serius.

"Oke, pas kita jadian aku memang masih punya rasa sama Davika. Tapi, kamu Luna, kamu berhasil merubah apa yang memang seharusnya berubah. Seminggu aku nggak menghubungi kamu sebelum kamu mutusin aku, karena saat itu kakek sakit, Lun. Aku fokus dengan kesehatan kakek, sampai aku bolos selama seminggu, pada hari ketiga aku menghilang kakek meninggal. Dan, menurutmu, apa sempat aku menghubungimu saat aku pun kalut, Luna?"

Zello menenggelamkan kepalanya ke stir, seperti menahan sesuatu, ingatan tentang Kakek Dito melunta-lunta di dalam kepalanya. Kakeknya sudah berpulang, dan fakta kematian kakeknya itu membuat Zello sempat tenggelam dalam kesedihan, apalagi sepupunya Andira--perempuan itu jauh lebih terpuruk, hingga Zello harus menguatkannya, kematian Kakek Dito membuat Andira teringat kematian papanya. Sejak saat itu, Zello berusaha menguatkan Andira agar ia tak terpuruk dalam kesedihan dan mungkin alasan itulah yang membuat Zello sempat mengabaikan Aluna.

"Dan soal editor. Aku hanya nggak mau kamu menarik naskahmu saat tahu aku editormu, Lun. Kamu berbakat dalam hal menulis, hal yang baru aku tahu belakangan ini."

"Kamu tahu Zell?"

Aluna mengusap setitik air matanya. Ia muak berada dalam situasi seperti drama murahan ini. Aluna ingin semuanya selesai dan kembali normal.

"Papi dan mamiku berpisah karena papi yang masih menyayangi masa lalunya. Kakek dan nenek berpisah karena kakek yang mencintai temannya, Om dan Tante dari pihak papiku berpisah karena Tante merasa lebih mencintai suami sahabatnya. Dari semua itu, Zel, menurutmu aku harus bagaimana? Bagaimana bersikap saat tahu kamu masih sayang sama masa lalumu ketika kita bersama? Katakan Zell, bagaimana bisa aku percaya sama yang namanya cinta?" Teriak Aluna, suara teredam udara malam. Kompleks rumahnya cukup sepi, sehingga Aluna harus bersyukur tak ada yang mendengar teriakannya.

"Lun..."
"Stop, Zell. Aku lelah, bisa kita hentikan semua bullshit yang kita buat ini?"

Zello menegakkan tubuhnya, ia mengangguk lemah, lalu membuka kunci mobilnya dan membantu Aluna mengeluarkan kopernya dari bagasi.

"Terima kasih, buat semuanya. Aku rasa...kita nggak bisa sama-sama lagi. Aku turut berduka atas kematian kakekmu, lain kali kalau kamu punya pacar lagi, hargai dia, percayai dia buat bagi bebanmu. Perempuan butuh kepercayaan, Zell. Selamat malam, Zell."

Zello membatu di tempatnya, udara malam yang menembus kulit, bintang yang tak tampak, dan bulan yang mengintip sepertiga dari balik awan hitam menutup malamnya hari ini. Dengan penolakan Aluna, dengan keraguan dan ketidakpercayaan Aluna padanya. Ia sakit, bukan karena penolakan Aluna, tapi karena penyesalan telah membuat ketidakpercayaan gadis itu terhadap komitmen semakin besar.

Zello berbalik, ia masuk ke dalam mobil milik Ahmed, mengemudikannya di antara kekecewaan dan sakit yang berkendara bersama. Lagu Too Much To Ask milik Niall Horan membuat malamnya semakin buram.

My shadow's dancing
Without you for the first time
My heart is hoping
You'll walk right in tonight
Tell me there are things that you regret
'Cause if I'm being honest I ain't over you yet

***

Menyesap kopinya di pagi hari, membuat Zello sedikit tenang. Jika papanya mencintai kopi hitam, ia lebih menyukai secangkir kopi dengan sedikit susu di dalamnya. Tak terlalu pahit, bercampur manis dan gurih. Semalam, ia menginap di kontrakan Ahmed dan Aldo, mengistirahatkan tubuh dan pikiran lelahnya di sana. Menghindari mamanya yang pasti akan memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Oleh-oleh dari Surabaya.

"Io ke mana?"

Ahmed mengembuskan napasnya, mematikan putung rokok yang menghiasi paginya.

"Dia make. Udah dua bulan, baru ketahuan gue sama Aldo kemarin, kita bawa dia ke psikolog, dia di panti rehab sekarang. Anak itu udah nggak waras, Zell. Mentalnya nggak sehat," kata Ahmed. Zello menoleh dengan wajah terkejut, Io pemakai?

"Kenapa? Apalagi yang dilakuin keluarganya sampe dia begitu?"
"Ayah bangsatnya itu nyiksa bundanya sampai masuk rumah sakit, selain gila kerja ayahnya juga gila wanita. Io sempat pulang ke rumah sebelum kejadian itu, dia disiksa bokapnya juga karena belain bundanya. Dia bukan lagi stress tapi depresi dan ya, larinya ke narkoba."

Zello diam, ia memegang kepalanya yang tiba-tiba pening. Begitu pelik permasalahan sahabatnya, dan dia malah sibuk memikirkan perasaannya. Sahabat macam apa dia?

"Dia bener-bener rusak, Zell." Ahmed menundukkan wajahnya, iba saat mengingat Io.

"Kita jengukin dia, Med. Kita kasih dukungan ke Io, kalau dia nggak sendiri. Serusak-rusaknya dia, kita harus tetap ada, termasuk saat dia terpuruk."

Ahmed mengangguk pelan. "Dia masih dibawah pengawasan psikolog Zell, masih diassemen. Minggu depan, mungkin."

Membuang napasnya, Zello meminum lagi sisa kopinya hingga tandas. Tentang Aluna, Io dan tentang hatinya sendiri membuat pikirannya terbebani. Ia pejamkan matanya, mencari ketenangan dari pagi yang mulai beranjak.

Tbc

Ig squad: silme.official difollow ya guys! Arzello.prakarsa dan aluna_dewi.

Muach dah. Lap you guys!

Regards,
Aristavee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro