Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Siapa Pemberi Surat Tanpa Tuan Itu?

Kamu adalah bagian yang pernah hilang, yang kehadiranmu selalu kusebut dalam doa, dan kuyakini akan ada.

***

"Jadi, kenapa?" Tanya Zello dengan wajah tenangnya. Aldo tampak menghela napas, ia menyodorkan secarik kertas pada Zello. Membuat Zello meliriknya sekilas, lalu matanya menatap ke arah Ahmed dan Io.

Ahmed dan Io yang melihatnya hanya diam sambil menyesap rokok mereka. Ada sebotol bir yang ada di depan Io. Oh, laki-laki itu memang seorang peminum ketika ia sedang menghadapi masalah. Zello bahkan pernah diajak olehnya, tapi dengan tegas Zello menolak ajakan Io.

"Minuman itu haram. Gue nggak mau mengotori tubuh gue dengan minum kayak begitu," kata Zello waktu itu.
"Ayolah Zell...sekali-kali nyoba nakal. Hidup jangan lurus-lurus aja. Nggak ada tantangan."
"Kalau bisa lurus kenapa harus belok?" Ucap Zello, menatap Io dengan pandangan tajam.
"Zell...Zell. Minuman ini rasanya enak, bakal bikin masalah lo ilang semua haha. Lo mau yoba apa? Wine, bir, vodka, red wine paling enak, hah? Sebutin? Biar gue yang beliin," kata Io mulai merancau. Zello menghela napasnya. Zello tahu Io memang sudah rusak, orang tuanya tak pernah memerhatikan Io, menjadikan Io salah pergaulan seperti saat ini. Namun, meski begitu, Zello masih mau berteman dengan Io. Karena, Zello tahu yang Io butuhkan adalah teman, teman yang bisa membawa dampak positif dan menuntun Io ke jalan yang benar.
"Asal nggak drugs, gue nggak mau lihat lo pake drugs."

Io hanya tertawa.

Zello mengenyahkan pikirannya tentang Io. Jika tidak mampu bertahan, manusia memang akan mengikuti arus yang ditempatinya. Namun, sejauh ini Zello masih bisa bertahan pada pijakannya untuk tidak salah dalam pergaulan. Pendidikan pertama yang diberikan orang tuanya adalah bekal paling mujarab pada masa pertumbuhannya, sejak ia remaja hingga dewasa awal seperti saat ini. Bekal itulah yang membentuk dirinya saat ini. Setidaknya, Zello beruntung memiliki kedua orang tua yang berperan sangat baik bagi pendidik pertamanya. Hingga, ia tumbuh menjadi manusia yang tidak salah jalan.

"Apa maksudnya, Do?"
Aldo membuang napasnya, ia menggaruk tengkuknya. "Itu daftar nama anak-anak yang mau bikin asosiasi baru, buat ngusung lo di pemira tahun depan."

Mata Zello membeliak, ia menatap Aldo dengan pandangan setengah percaya.

"Apa maksud lo? Kenapa harus bikin asosiasi baru? Dan kenapa harus gue?"
"Kita sudah pernah ngebicarain ini, Zell. Kita semua tahu lo mampu. Asosiasi baru yang nggak begitu menuntut, lo tahu asosiasi di kampus kita banyak aturan. Dan, dengan adanya asosiasi baru ini bakal bawa angin segar. Kalau lo nggak lupa, beberapa petinggi asosiasi kita itu pengurus dari ormek. Dan, kita semua tahu lo anti ikut ormek," kata Aldo panjang lebar, Aldo juga salah satu anggota Ormek, namun ia tak pernag aktif sejak menjabat menjadi Ketua BEM F. Zello menghela napasnya lagi.

"Tapi gue nggak jamin ini bakal berhasil. Asosiasi besar saja masih berpotensi kalah, apa lagi asosiasi baru, hm? Lagian lo juga ikut salah satu Ormek."
"Gue udah nggak aktif, itu cuma buat formalitas. Lagian kita sudah punya kader di hampir semua jurusan. Tapi, ada satu jurusan yang belum tembus."
"Apa?" Mata Zello melirik ke arah Io.
"Ekonomi, kita harus bisa kuatin basis di situ, biar punya banyak masa."
"Kita bisa membicarakan ini lain waktu. Lo nggak lihat temen lo udah kobam?" Sindir Zello saat melihat Io yang sudah setengah sadar. Sementara Ahmed hanya geleng-geleng kepala.
"Daki Onta, lo kenapa biarin si Io minum, heh?" Ucap Aldo, Ahmed malah tertawa.
"Ngelarang dia minum? Pipi gue yang mulus kayak muka opa opa Koriyah ini bakal jadi ancur, lo nggak inget bulan lalu?" Kata Ahmed, ingatannya jatuh pada kejadian satu bulan lalu saat ia melarang Io minum. Laki-laki itu justru membuat wajahnya babak belur.
"Dia ada masalah lagi?" Zello menatap penasaran pada Io. Botol birnya sudah kosong.
"Bokapnya kawin lagi," pungkas Ahmed. Membuat semuanya diam, termasuk Zello.

Io mungkin adalah salah satu potret salah asuhan. Dan itu membuat Zello hanya bisa menghela napasnya.

"Dia butuh psikolog," ucap Zello, Aldo menoleh diikuti Ahmed. Io? Ia sudah tertidur.

"Lo punya kenalan?"
"Ada, kalau lo lupa, Wadek 3 kita juga psikolog. Tapi, masalahnya ngebujuk Io ke psikolog bukan perkara gampang," ujar Zello--ia ingat Pak Imron--Wakil Dekan 3 bidang kemahasiswaan dan Alumni adalah seorang psikolog, yang memang mengambil kuliah lagi di jurusan seni rupa hingga saat ini menjabat Wakil Dekan 3 di Fakultas mereka.

"Lo bener. Kita bisa bujuk Io nanti," tukas Aldo. Mereka semua mengangguk setuju.

***

"Sayurannya dan bahan masakan lainnya dititipin ke mobil Pak Imron, sebagian lagi biar diangkut sama mobilnya Denis."

Aluna mengangguk, mengikuti perintah Aldo.

"Gue mau ambil tas gue dulu di dalam Ormawa," pamit Aluna pada teman-temannya.

Ia melangkah menuju Ormawa, mencari tas yang ia simpan di dalam bilik Departemen Infokom. Matanya menelusuri ruangan yang terlihat paling rapi di antara ruang lainnya itu, dan menemukan tas ranselnya berada di sana.

"Huft, untung kemarin nggak ikut survey, coba ikutan. Nggak bisa bayangin capeknya, ini aja baru mau berangkat udah kerasa capeknya," oceh Aluna. Ia lalu mengangkat tasnya, dan matanya menyipit, memerhatikan secarik kertas yang dilipat dalam bentuk segitiga, persis seperti waktu itu.

To: Aluna.
Setiap manusia memiliki luka
Setiap manusia mempunyai rahasia
Setiap manusia memiliki duka
Tak terkecuali kamu, aku dan mereka.
Di waktu yang tepat, bisakah kamu membaginya denganku?
Menghancurkan lukamu bersamaku?
Agar, senyummu kembali tercipta
Dan lukamu biarlah meronta
Sirna...

Alun mengernyitkan dahinya. Ia benar-benar heran sekaligus penasaran. Siapa yang menaruh kertas ini dan kapan?

Huft
Membuang napasnya, Aluna memasukan kertas itu ke dalam tasnya. Ia berlalu meninggalkan Ormawa, menuju lapangan di mana teman-temannya sedang berkumpul. Meski, pemikirannya masih dipenuhi misteri surat itu. Siapa gerangan pemilik surat asing tak bertuan yang ditunjukkan padanya?

***

Perjalanan darat memakan waktu satu jam. Mereka masih harus menyebrang menyusuri sungai menuju muara. Desa tempat pengadian masyarakat terletak di sungai dekat muara, mengarah ke lautan.

"Al, berapa lama naik perahunya?" Aluna bertanya pada Alya, sementara matanya sibuk melihat sungai luas yang sebagian sisinya ditumbuhi eceng gondok, telinganya menangkap suara mesin perahu yang memekakkan telinga.

"Nggak tahu, gue kan nggak ikut survey. Tanya Mas Zello aja sono."

Aluna mendengus, Zello memang duduk tak jauh dari dirinya. Laki-laki itu bertindak sebagai Koor Sie Acara, otomatis ia harus ikut survey. Dan, di antara teman-temannya yang ikut survey, keberadaan Zello memang yang paling dekat dengan Aluna. Laki-laki itu duduk di sisi kapal, dengan kaca mata hitam yang bertengger di pangkal hidungnya. Ia menyentuh ujung topi putih yang melindungi kepalanya dari terik matahari.

"Zell, naik perahunya berapa lama?" Aluna memberanikan diri untuk bertanya.
"Satu jam."
"Lama amat."

Zello terkekeh kecil. "Nikmatin aja, Lun."
"Huft, oke deh."

Mata Aluna memerhatikan riak air, tumbuhan bakau mulai tampak di sisi sungai, burung-burung putih--entah apa namanya, mungkin mirip bangau--tampak hinggap di pohon bakau, membuat Aluna takjub. Ia meraih ponselnya, hendak membuat story di instagram. Namun, sialnya, sinyal telah menghilang.

"Nggak ada sinyallll," Alya berkata dengan histeris.
"Ya emang, tiga hari kita bakal susah sinyal deh."

***

Mereka tiba di desa tujuan, perahu merapat ke dermaga kecil yang terbuat dari batang pohon. Di sisi dermaga, tampak beberapa ikan mati mengambang. Suara adzan menyambut kedatangan mereka. Ini hari jumat, para laki-laki beragama muslim mulai bersiap untuk menunaikan ibadah salat jumat.

"Oke, yang cowok jumatan dulu, yang cewek beresin barang ya, nanti habis jumatan kita bantu," kata Aldo memberin instruksi. Semua mengangguk.

Aluna mulai membongkar bahan-bahan makanan yang sudah dimasukkan ke dalam rumah kepala desa yang sementara ini dijadikan tempat istirahat untuk perempuan. Sementara yang laki-laki menginap di rumah penduduk yang lain.

"Lo punya hubungan apa sama Mas Zello?" Tanya Alya menyelidik.
"Hah apaan?"
"Pertama, lo manggil dia nggak pake embel-embel Mas, secara dia itu senior, kedua interaksi kalian kayak beda gitu."

Aluna menelan ludahnya susah payah.
"Nggak ada apa-apa kok. Dulu dia temen SMA. Nggak lupa kan gue ini angkatan di atas lo?"

Alya mengangguk, ia lalu meringis, sambil menggaruk tengkuknya.

"Misalnya lo pacaran sama Mas Zello juga nggak papa sih, tapi gue denger dia lagi dekat sama Mbak Shilla."

Aluna menoleh pada Alya. "Whatever."

***

Ciee moment Aluna-Zello belum muncul eak. Oh iya mengenai asosiasi itu, bolehlah masukannya bagi yang paham, agak kurang yakin juga. Ormek bisa dibilang Omek juga: organisasi yang dilarang tumbuh di dalam kampus.
Jan lupa ikutan GA ya
Ig cast: arzello.prakarsa aluna_dewi

Regards,
Aristavee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro