Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sekotak Susu dan Terbongkarnya Rahasia

Apakah kamu sudi mencintaiku bersama segenap luka dalam hidupku ketika kamu memintaku tertawa?

-------

Kamarnya tampak berantakan, Aluna hanya bisa menatapnya dengan tatapan lelah. Tugas akhir untuk mengumpulkan 250 sketsa benar-benar menjadi beban baginya. Sisa satu setengah bulan lagi sebelum ujian akhir semester dan dosennya meminta tugas itu untuk segera dikumpulkan. Belum lagi, sejak tadi ponselnya terus-terusan berbunyi, Zello dan Aldo silih berganti mengiriminya pesan, bertanya tentang persiapan acara Seminar Jurnalistik yang akan berlangsung besok.

Mata gadis itu mengarah pada jam digital berbentuk persegi panjang di atas nakas kamarnya, 16:00, rupanya sudah waktunya untuk pergi ke kampus dan mengecek persiapan terakhir sebelum acara dimulai besok.

Aluna bergegas, membiarkan kamarnya tetap berantakan, dengan lantainya yang terciprat tinta cina di beberapa bagian. Gadis itu sudah mandi tadi, ia hanya tinggal memakai bedak dan pewarna bibir agar tampak segar, lalu mengambil sling bag kesayangannya dan meninggalkan kamarnya, dengan keadaan otak semrawutnya—dipenuhi oleh deadline tugas.

Sial, jadi mahasiswa merangkap anak organisasi memang bukan perkara mudah.

***

"Udah hubungin Mas Ahmad kan buat pinjem kunci ruangannyanya?"

"Udah kok Lun, santai aja."

"Emh itu, humasnya jangan lupa ngehubungi pemateri lagi ya buat persiapan terakhir."

"Iya, Lun. Beres."

"Sie acara, timing waktunya tolong diperhatikan. Gue nggak mau acaranya molor. Regist-nya jam berapa besok?"

"Jam delapan pagi, Lun."

"Ok sip. Gue tinggal dulu ya."

Mereka mengacungkan jempol, membiarkan Aluna pergi menemui Zello dan Aldo yang sibuk berunding—entah apa. Gadis itu membuang napasnya, ia benar-benar dilanda lelah luar biasa hari ini. Acara ini akan berlangsung pada hari sabtu, dan sejak kamis malam Aluna belum tidur sedikit pun, tugas memaksanya untuk begadang sampai hari ini. Kebetulan, ia hanya kuliah sampai hari kamis, dengan mata kuliah yang cukup padat di semester dua ini.

"Kamu kenapa?"

Mendengar suara Zello yang bertanya padanya membuat Aluna menatap laki-laki itu. raut wajah Zello jelas khawatir melihat wajah Aluna yang pucat dan tubuhnya pun tampak tak sehat hari ini.

"Kalau capek istirahat, Lun," sahu Aldo, Zello melirik laki-laki itu sekilas sebelum kembali memandang Aluna.

"Nggak papa kok."

"Ayo ikut aku."

"Kemana?"

Zello tak memberi jawaban, ia memilih untuk membawa Aluna pergi dari hadapan Aldo. Menuju bangku besi di depan ruang pertemuan, tempat mereka berkumpul tadi. Laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ransel yang sejak tadi menggantung di pundak tangannya yang sehat.

"Minum," kata Zello, Aluna menatap sekotak susu UHT putih itu dengan pandangan aneh. "Kenapa?"

Aluna menggeleng, lalu meraih sekotak susu itu dengan tangan kanan.

"Kamu dibawain lagi sama Tante Keya?"

"Bukan. Sengaja beli."

"Tumben?"

Zello tersenyum tipis, "Karena aku tahu kamu pasti lupa makan."

"Hah?"

Pipi Aluna memerah, ia buru-buru meminum susu dari Zello, sambil membuang pandangannya. Beberapa panitia yang lewat tampak menahan tawa saat melihat keduanya, Alya dan Nimas bahkan terang-terangan mengerlingkan matanya menggoda Aluna.

"Jangan telat makan, jangan sakit. Kamu di rumah sendiri kan, nggak ada mami sama papimu."

Aluna mengendikkan kedua bahunya, sendiri, dia sudah terbiasa dengan keadaan itu. Hidup mandiri sejak kepindahan maminya ke Surabaya saat kelas sebelas membuat Aluna paham benar, apa arti sendiri dalam hidupnya. Aluna bisa saja ikut pindah maminya, namun ia tidak siap meninggalkan masa SMA-nya di kota ini, terlebih lagi, saat itu ia sedang menaruh hatinya pada Zello. Lagi pula, sosialisasi di tempat baru dan adaptasi lagi bukan pilihan yang baik menurutnya, Aluna tipe orang yang cukup susah untuk membangun keakraban.

"Makasih, sudah peduli. Aku nggak papa."

Zello memandang dalam pada gadis itu. Kebanyakan perempuan di luar sana selalu berkata tidak apa-apa, namun nyatanya mereka adalah pihak yang sedang terluka dan butuh pengobatan segera. Bukan jenis pengobatan kimia, namun pengobatan rasa empati dari orang-orang terdekatnya.

"Jangan sedih sendiri, Lun. Hidup cuma sekali, nggak seharusnya kamu terus-terus lihat masa lalu yang menyedihkan."

Aluna tersenyum masam, "Dan kamu, Zell...bagian masa lalu menyedihkan itu, kalau kamu lupa."

Zello bungkam, matanya terperangah. Kata-kata Aluna membuat lidahnya menelan lagi kalimat yang sudah di ujung mulut. Benar, dia adalah salah satu bagian masa lalu Aluna yang menyedihkan. Bodoh memang, ketika ia masih meyayangi Davika dan menjadikan Aluna tujuannya untuk membantu melupakan Davika, dan saat Aluna berhasil melakukannya, Aluna pergi, Alunanya pergi dengan luka dan penyesalan Zello.

***

"Gue bodoh banget ya, Lun. Tiga kali Lun, tiga kali dia selingkuh dan gue selalu maafin dia. Sekarang, kenapa dia ngelakuin hal itu lagi? Gue cuma cewek biasa yang punya batas kesabaran, Lun."

Aluna mengelus punggung Davika yang bergetar, sahabatnya itu baru saja mengakhiri hubungannya dengan sang pacar—Eza. Kenyataan Davika diselingkuhi oleh Eza berkali-kali semakin membuat Aluna muak terhadap sebuah hubungan. Nyatanya, tak pernah ada laki-laki dalam lingkaran hidupnya, yang benar-benar tinggal untuk satu wanita. Semuanya akan pergi begitu menemukan yang lebih sempurna. Apa memang cinta hanya diukur dari kesempurnaan?

"Cowok itu memang brengsek, Dav. Udahlah lo lupain dia, ngapain sih bertahan? Bego tahu nggak?"

"Nggak gampang, Lun. Gue sayang banget sama dia tahu."

"Makan tuh sayang, diselingkuhin bolak-balik kok masih bertahan. Itu namanya bego. Lo punya harga diri, Dav!"

"Lo nggak tahu rasanya sih, Lun."

Mata Aluna memicing, "Nggak tahu? Oh iya sih, satu-satunya mantan gue suka sama orang lain pas pacaran sama gue, itu lebih sakit daripada selingkuh, kalau lo mau tahu," kata Aluna telak, membuat Davika menatapnya dengan pandangan bersalah. "Menjadi bayangan orang lain itu enggak enak, Dav. Nggak enak."

"Lun, gue nggak maksud. Maaf."

Aluna membuang napasnya. Ia menatap langit-langit kamar Davika yang diberi wallpaper langit biru dan awan. Ia tahu Davika sangat sayang pada Eza, kalau tidak gadis itu tak akan menjadi bodoh dengan tetap memaafkan Eza setelah diselingkuhi berkali-kali.

"Gini banget ya, Lun kalau gue sayang sama cowok? Gue harus apa sih, Lun?"

"Lo bego," kata Aluna tanpa memandang Davika.

"Iya gue tahu gue bego."

"Forget him, you'll get your happiness, try to move on."

"Bahagia? Gue bahkan nggak tahu definisi bahagia itu apa."

Aluna menoleh, ia menatap mata sembab milik Davika. "Gue juga nggak tahu. Bahagia? Haha...bagi gue definisinya sederhana, asal ada yang mau nampung sedih gue, ada yang sediain tempat gue berkeluh kesah dan ada saat gue seneng, itu udah jadi definisi bahagia. Tapi, lo tahu sendiri, nggak pernah ada yang bener-bener ngelakuin itu buat gue. Termasuk papi dan mami gue sendiri."

Davika membuang napasnya. Bicara tentang sakit dan luka bersama Aluna, tentu mereka sama-sama pernah merasakannya. Bukan hanya mereka mungkin, tapi semua orang di dunia ini pernah merasakan luka.

"Maaf udah pernah bikin bahagia lo hilang, tanpa gue tahu."

Aluna tertawa lagi, ia menepuk bahu Davika. "Kalau bahagia gue nggak ilang, gue mana bisa sahabatan sama lo sampai sekarang? Tuhan menghilangkan sesuatu untuk menggantinya dengan yang lebih baik."

"Huhu sayang banget sama lo, Lun."

***

Aluna mungkin menjadi orang yang paling pusing saat ini. Ia sibuk mondar-mandir sedari tadi, mengecek persiapan seluruh sie yang sedang bertugas. Kepalanya bahkan nyaris pecah saat kekhawatiran memenuhi dirinya. Bagaimana kalau acaranya gagal? Bagaimana kalau ada kesalahan? No, no. Aluna mengeyahkan pikiran laknat itu.

"Lun, gue tadi nemuin ini di ruangan Dep Infokom," kata Nimas sambil membawa selembar kertas berbentuk segitiga yang sangat dihafal oleh Aluna.

"Hah, oh makasih, Nim."

"Cieee punya penggemar rahasia," ledek Nimas, Aluna melotot.

"Apaan sih?"

"Hahaha..."

"Udah sana balik kerja."

Nimas terkikik sambil meninggalkan Aluna, namanya tertulis dengan huruf besar di atas kertas berbentu segitiga itu. Kali ini berwarna merah terang. Aluna membukanya, ini dari pengirim misterius tempo hari. Sudah puluhan kertas yang diterima Aluna.

Tidak semua kesedihan harus menjadi beban, Aluna. Melangkah untuk lupa bukan perkara mudah tapi perkara yang harus dilakukan. SEMANGAT!

Ia melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku PDH miliknya. Gadis itu lalu berjalan menuju tasnya yang tadi ia geletakkan di ruang tunggu, di sisi ruang besar untuk seminar. Ada sekotak susu UHT putih seperti yang Zello berikan kemarin. Terdapat notes kecil yang menempel di sana. Diminum.

Aluna mengambil susu itu dan memasukkannya ke dalam tas. Ia belum lapar, setidaknya untuk saat ini, tadi ia sudah sarapan bersama Davika di warung bubur ayam sebelum ke kampus, jadi perutnya masih terasa penuh.

"Lun, pematerinya sudah datang," kata Alya yang bertindak sebagai sie humas, memberikan kabar pada Aluna.

"Oh, ya? Di mana sekarang?"

"Itu di depan ruang pertemuan."

"Yaudah gue ke sana. Thanks infonya."

Alya mengangguk. Aluna melangkahkan kakinya menuju tempat yang disebutkan oleh Alya. Matanya berserobok dengan punggung dua orang perempuan yang tampak mengobrol bersama Zello, satu di antaranya dikenal oleh Aluna, Andira dan satunya hanya diketahui Aluna lewat namanya saja, Hanamia Ardiansyah. Penulis muda yang sedang naik daun tahun ini. Ia melihat Zello tampak akrab dengan keduanya, seperti sudah mengenal mereka lama. Membuat keryitan di dahi Aluna muncul, Zello bahkan mengelus kepala Andira sambil tertawa. Oh, benarkah itu laki-laki yang kemarin mengajaknya balikan?

"Ehmm, Mbak," sapa Aluna kaku, ia belum pernah bertemu Andira langsung, hanya melalui LINE untuk membahas novelnya yang kemungkinan akan terbit bulan depan.

"Eh, Aluna ya?"

"Iya, Mbak."

"Loh satu kampus sama Zello ternyata," kata Andira dengan senyum ramah. Aluna mengangguk sambil tersenyum tipis.

"Kenal sama Zello ya, Mbak?"

"Iya dong, dia kan sepupuku. Editor kamu juga, Wisnu. Masa nggak tahu?" ucap Andira enteng, membuat Aluna melotot dan Zello menatap Andira tajam.

Andira dan mulut embernya.

"Apa, Zello—Zello editorku?"

"Iya, Wisnu."

"Dir!" kata Zello menghentikan Andira, namun perempuan itu malah tersenyum miring padanya. Hana yang ada di tengah mereka, hanya menatap penuh penasaran karena tidak tahu duduk permasalahannya.

"Lun, aku bisa jelasin. Jadi—"

"Ayo Mbak Dira, Mbak Hana, mari masuk. Acaranya sudah mau mulai," ajak Aluna, mengabaikan Zello yang ingin berbicara padanya.

"LUNA!"

Gadis itu hanya memandang sekilas padanya, sebelum mengajak Andira dan Hanamia untuk masuk ke dalam ruang tunggu. Membuat Zello bingung. Salahnya juga yang sudah menutupi identitasnya pada Aluna, mungkin gadis itu malu atau entahlah. Mengingat novel yang Aluna ajukan memang tentang kisahnya dan gadis itu, wajar kan kalau Aluna merasa malu dan mungkin kecewa, kenapa Zello tidak jujur kalau dialah editor Aluna sebelumnya.

***

Perjalanan cerita ini masih cukup panjang, semoga kalian engga bosen ya. Aku cuma akan fokus sama satu cerita karena nggak ada waktu buat nulis duh :3.

KOMENT KOMENT :3

SALAM SAYANG,

Rista.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro