Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pengabdian Masyarakat

Takdir itu tak mungkin selamanya tetap, Tuhan mempersilakan kita mengubahnya, sama sepertimu yang tak mungkin selamanya menetap, kamu bisa pergi kapan saja, lenyap.

***

Zello, Aldo, Io dan Ahmed sedang duduk di emperan sebuah bangunan SD. Tempat itu ada di tepi sungai, tak jauh dari tempat mereka menginap, satu-satunya bangunan sekolah yang ada di sini--merangkap SMP. Putung rokok bertebaran di mana-mana, Ahmed dan Io sudah menghabiskan beberapa rokok sejak mereka duduk di sini, satu jam yang lalu. Aldo sendiri memilih mengisap vape yang baru dihisapnya sejak lima belas menit yang lalu.

"Kita nggak jadi bikin asosiasi baru, Asosiasi A maksa buat ngusung lo, dan gue udah kehabisan akal buat nolak, basis mereka gede, mau nggak mau kita kudu gabung, kans buat lo juga gede, nama-nama kemarin bisa dijadiin timses," kata Aldo, ia buka suara setelah mereka hanya diam. Membiarkan angin malam menyelimuti tubuh, membuat sedikit mengigil karena dingin.
"Pemira masih lama, dan lo udah ngomongin soal ini, Do," kata Zello sambil menyesap kopi hitamnya.
"Kita memang harus menentukan calon sejak lama, Zell. Dan, ya meski di kampus kita pemenang nggak bisa ditentukan sejak jauh-jauh hari, tapi gue yakin lo bakal menang."
"Apa jaminanya?"
"Mahasiswa berperestasi tahun ini, peraih medali emas PKM, Putra Universitas tahun ini, dan, apa perlu gue sebutin semuanya? Well, mungkin nggak ada yang tahu kalau lo juga magang jadi editor di perusahaan bokap lo. Kalau sampai mereka tahu--"
"Lo nggak perlu memperjelas semuanya, Do," potong Zello, Aldo hanya tertawa. Aldo tahu, banyak maba dan perempuan yang menganggumi Zello. Itu keuntungan tersediri ketika Zello ikut Pemira.

"Aldo benar Zell. Mau nggak mau, lo kudu siap buat maju." Ahmed menyahut.

Zello diam untuk beberapa saat. Bukankah dia memang tidak ada pilihan selain setuju? Menjadi pemimpin memang memiliki tanggung jawab besar, tapi, Zello sudah terlanjur berkecimpung di dunia ini. Apa pun risikonya ia harus terima. Ia akan seperti papanya yang berani ambil risiko.

"Ya, gue nggak punya pilihan lain," kata Zello. Aldo tersenyum tipis, Io sibuk dengan ponselnya dan Ahmed menepuk bahu laki-laki itu.
"Asal lo mau jadi wakil gue, Do."

Senyum Aldo pudar, ia menatap Zello dengan muka datar.

"Ada baiknya wakil lo dari fakultas lain, Zell. Tenang, gue bakal jadi menteri lo kalau lo jadi," pungkas Aldo.

Zello membuang napasnya, ia beranjak berdiri saat matanya melihat air sudah naik ke daratan. Hampir setiap malam, air memang akan naik ke pemukiman penduduk, tak jarang sampai masuk rumah. Air itu berasal dari lautan yang pasang dan sampai pada sungai yang mengarah ke muara.

"Gue balik dulu," kata Zello, lalu meninggalkan teman-temannya, membawa cangkir kopinya yang sudah kosong.

Zello berjalan, akan kembali ke rumah yang dijadikan tempat untuk menginap, saat melewati dermaga, mata laki-laki itu berserobok dengan tubuh seorang perempuan yang telah ia kenal. Aluna, ada di dermaga kecil yang hampir tenggelam karena air. Ia memutuskan untuk menghampiri Aluna, yang tengah mengacungkan ponselnya ke atas.

"Kamu ngapain?" Tanya Zello membuat Aluna tersentak.
"Astaga Tuhan, ngagetin tahu nggak?"
"Oh, ya?"
Aluna mengangguk sebal, ia sibuk lagi dengan ponselnya.
"Nyari sinyal internet hm?"
"Iya, tadi ada dikit, mayan bisa buat chatting," kata Aluna tanpa menoleh pada Zello.
"Memang mau ngubungin siapa?"
"Editorku, mau izin nggak bisa stor naskah senin, soalnya kemarin udah janji," ucap Aluna, tak sadar di sampingnya Zello sedang menahan tawa. Bagaimana kalau Aluna tahu, Zello itu editornya?
"Jadi penulis sekarang?"
Aluna membuang napasnya, ia melihat ke arah Zello, "Kepo."
"Hahaha..."

Zello tak mampu menahan tawanya, entah kenapa, Aluna tampak mengemaskan. Mungkin ia tidak sadar, di matanya, Aluna selalu menggemaskan.

Aluna memilih diam, sambil sibuk dengan ponselnya. Sesekali ia mendesis menahan dingin yang menyelimuti tubuhnya.

"Dingin?"
"Hmmm..." Gumam Aluna, tak ingin menanggapi Zello lebih jauh. Ia risi, karena berdekatan dengan Zello membuat perasaannya kembali campur aduk.
"Look at me, Lun."
"Huh?"

Aluna menoleh, ia melihat Zello yang menggosok-gosokkan kedua tangannya.
"Gini, biar nggak dingin," ucap Zello. Aluna tak menunjukkan ekspresi apa-apa, karena jujur, sebenarnya ia bingung dengan keadaan mereka. Melihat itu, Zello lalu mengambil tangan Aluna yang tak memegang ponsel, menggosok-gosok tangan Aluna dengan kedua tangannya. Menciptakan hangat.

"Eh, nggak perlu, bisa sendiri."

Aluna menarik tangannya, sementara Zello hanya tersenyum tipis. Wajah Aluna kembali menunduk, ia pura-pura sibuk dengan ponselnya, menghindari Zello.

"Kamu pasti nggak tahu, kalau malam di sini..."
"Kenapa?" Tanya Aluna mulai was-was.
"Di sini suka banjir dan sering ada..."
"Apaan?"
"Ular air, tuh salah satunya," kata Zello sambil mengarahkan senter ponselnya ke air, di bawah dermaga, memang benar, ada ular di sana.

"Aaaaaaaaaaaaa...." Aluna menjerit, ia sontak memegang tangan Zello, merapatkan tubuhnya pada Zello, mencengkram lengan Zello dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya memejam tak berani melihat, membuat Zello terkekeh.

"Huaaa takutttt, takut ularrrrr," kata Aluna makin mengeratkan pegangannya.
"Cari kesempatan," ujar Zello mencibir, ia geli melihat Aluna.

Seakan tersedar, Aluna melepas pegangannya di lengan Zello, ia menghentak-hentakkan kakinya, meninggalkan Zello di dermaga dengan muka merah padam. Apa yang sudah ia lakukan? Beruntung anak-anak lain tidak tahu kelakuannya yang memalukan itu.

"Lun..." Panggil Zello, membuat Aluna berhenti.
"Apaan?"
"Kopinya enak, thanks. Nggak pernah berubah," ujar Zello. Wajah Aluna merah padam, ia segera meninggalkan tempat itu, kembali ke dalam rumah.

***
Davika: terusss gimanaaa? Ceritanya jangan setengah dong, yang full.
Aluna: ntar, pulsa gue mau abis gara-gara sms lo. Ntar aja gue nyari sinyal, mau masak.

Pesan singkat dari Davika membuat Aluna mendengus, karena sibuk berkirim pesan dengan Davika, Aluna tak sadar kalau pulsanya hampir habis. Di sini, memang susah sinyal, namun kalau untuk mengirim pesan lewat sms memang masih bisa.

"Lun, waktunya ngajarin anak-anak belajar, lo ke sana dulu," kata Nimas yang tahu-tahu sudah muncul di dapur dengan sebuah kertas berisi jadwal acara.
"Hah? Kenapa gue?"
"Ditulisannya emang lo."
"Kan gue lagi masak."
"Gantian sama yang lain, semua dapat giliran kok."

Aluna menarik napas, ia menoleh pada teman-temannya dan memberi instruksi untuk meneruskan masakannya. Aluna lalu mengekori Nimas, menuju salah satu ruang di musala desa, yang dijadikan tempat untuk belajar. Ada beberapa anak-anak di sana, mereka sudah menunggu kehadiran Aluna.

"Jadi, di sini lo kebagian satu murid. Masing-masing dapat satu sih, ntar gantian gitu. Lo sama anak SMP yang di sana itu, namanya Indriana," jelas Nimas. Aluna mengangguk paham.

Ia menghampiri Indriana yang sibuk belajar dengan buku-bukunya. Gadis remaja awal itu tampak membuka buku Bahasa Indonesia. Kepalanya ditutupi oleh jilbab berwarna hitam, ia terlihat gelisah.

"Hai, kamu Indriana kan?" Sapa Aluna, Indriana menundukkan wajahnya malu-malu.
"Halo, jangan malu dong. Kenalin, aku Kak Aluna."

Aluna menyodorkan tangannya, yang dibalas Indriana dengan wajah menunduk.

"Anak-anak di sini agak malu, soalnya jarang orang luar yang mampir ke sini. Kedatangan orang kota bahkan dianggap artis, jadi jangan kaget ya," kata Nimas tadi, ketika mereka dalam perjalanan ke tempat ini.

"Jadi, kita mau belajar apa?" Tanya Aluna. Indriana mendongakkan kepalanya.
"Bahasa Indonesia, Kak."
"Oke."

Meraih buku di tangan Indriana, Aluna mulai membaca materi yang ada di buku tersebut.

"Kamu bisa bikin pantun kan?"

Indriana menggeleng.

"Tapi kamu tahu kan, pantun itu apa?"

Indriana kembali menggeleng, membuat Aluna membuang napasnya.

"Jadi pantun itu termasuk puisi, terdiri dari 8-12 suku kata, berima a-b-a-b, dua baris pertama termasuk sampiran, dua baris kedua termasuk isi, contounya kayak gini," jelas Aluna sambil menunjuk buku LKS, Indriana mendengarkannya dengan saksama. Ia anak yang sedikit sulit untuk memahami pelajaran.

"Kamu memang belum diajarin pantun?"

Indriana menggeleng lagi. Aluna terkejut, padahal seusia Indriana harusnya sudah mengerti tentang pantun, puisi, gurindam dan sebagainya.

"Memang kelas berapa?"
"Delapan, Kak."
"Hah? Kok belum diajarin? Gurunya nggak ngajarin?"
"Gurunya masuk jam delapan pagi pulangnya jam sebelas, Kak. Jadi, kadang kami ketinggalan pelajar."
"Serius? Kok gitu?"
"Soalnya kalau siang, nanti air sungainya surut dan perahu nggak bisa jalan, Kak, gurunya tinggal di kota."

Aluna melongo, ia baru tahu guru di sini berasal dari kota. Miris, mengingat selama ini ia kurang bersyukur atas fasilitas yang didapatkannya. Sementara di sini? Akses pendidikan masih susah, murid-murid kebanyakan bermain daripada belajar, pantas tingkat pendidikannya masih rendah, walau sejatinya ekonomi masyarakat sini sudah terbilang baik. Tapi, mengingat tempat ini tidak begitu jauh dari kota besar, membuat Aluna benar-benar tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Kalau ia menemui kisah seperti ini di daerah terpencil, luar pulau ia masih maklum, tapi masalahnya sudah berbeda.

"Nanti kamu mau SMA di mana?"
"Nggak tahu, Kak. Kalau mau SMA harus ke kota," kata Indriana, sekali lagi membuat Aluna tercengang. Tiba-tiba ia ingin menangis.

***

"Kebanyakan pemuda di sini yang kuliah, kalau sudah lulus nggak mau balik ke sini, Mas," kata Pak Sumar--kepala desa setempat.

Zello, Aldo dan beberapa anak BEM F lainnya sedang berbincang dengan Pak Sumar di tambak ikan. Mereka baru saja membantu memanen ikan bandeng dan udang.

"Kenapa, Pak?" Tanya Aldo.
"Ya, enakan di kota, Mas. Di sini mereka berpikir nggak bisa berkembang. Di kota kan enak, apa-apa gampang," kata Pak Sumar sambil terkekeh.
"Harusnya kan mereka kembali buat membangun desa, Pak."
"Seharusnya memang begitu, Nak Aldo. Tapi, ya mau bagaimana lagi? Kota menawarkan yang lebih baik daripada di sini."

Zello yang sedari tadi mendengarkan hanya sibuk melihat ke arah Pak Sumar. Fakta di lapangan memang seperti itu.

"Guru-guru di sini kalau ngajar juga sesukanya, Nak. Kadang, jam sembilan baru sampai, pulangnya ya tetap, jam sebelas. Warga di sini kan banyak yang tidak terpelajar, jadi ya kami menggantungkan tenaga pengajar dari kota, yang dibiayai pemerintah," imbuh Pak Sumar.
"Untuk buku-buku, bagaimana, Pak?"
"Ya begitu saja. Minim buku pelajaran dan buku bacaan Nak Zello, kalau mau Unas juga harus gabung ke sekolah yang ada di kota," kata Pak Sumar panjang lebar.

Zello mulai berpikir, mungkin ia bida minta tolong pada papanya untuk menyumbang buku ke desa ini.

"Oh ya, ini ikan buat kalian," ucap Pak Sumar, sambil memberikan satu plastik besar Ikan Bandeng, udang dan Ikan Keting.
"Nggak usah repot-repot, Pak," ujar Aldo tak enak. Ahmed melotot dan segera menerima ikan itu.
"Makasih Pak, kebetulan lagi pengen nih, Pak," pungkas Ahmed sambil tersenyum lebar. Aldo dan Zello mendengus.

***

Aluna tak tega saat ia melihat seorang anak SD yang baru saja menepikan perahu sampanya ke dermaga. Anak itu datang dari desa sebelah, naik perahu sampan seorang diri, melewan arus sungai. Diikuti dua temannya dari belakang dengan keadaan yang sama. Aluna yang tadi ingin mencari sinyal, malah dibuat terkejut atas apa yang dilihatnya.

"Mereka seneng kalau dikunjungi orang, makanya pas kita mau ngadain acara, mereka semangat, sampai rela sore-sore begini balik ke sini. Mereka tinggal di desa seberang," ucap seseorang, membuat Aluna menoleh. Ada Aldo yang sedang bersedekap di belakangnya.

"Mas Aldo?"
"Hmm...gimana sie konsumsi? Nggak kuwalahan?"
"Nggak kok, Mas. Baik-baik aja. Banyak yang bantu juga."
"Tadi Pak Sumar kasih ikan, bisa buat tambah lauk."

Aluna tersenyum kikuk, ia agak sungkan berada di dekat Aldo. "Oh, yaudah Mas. Gue ke dapur dulu kalau gitu."

Aldo mengangguk. "Kalau butuh bantuan, bilang aja Lun."
"Iya, Mas. Makasih," ucap Aluna sambil meninggalkan Aldo yang tersenyum kecil.

Seseorang yang memerhatikan mereka dari teras rumah tampak memandang Aluna dengan muka datar. Kata-kata seseorang lainnya terus terngiang di kepalanya.

"Aluna cukup trauma dengan kegagalan hubungan, bantu dia buat sembuh, Zell."

Ucapan Davika itu membuat Zello bingung. Menghilangkan trauma Aluna di saat mereka tak lagi memiliki hubungan? Apa ia bisa?

Tbc
Jawab ya.
Apa yang paling  kamu inget dari mantan *dr mantan paling terkenang*?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro