Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Maybe Tomorrow

Mengembalikan kamu ke sisiku, memang tidak semudah mendapatkan kamu saat pertama kali. Ada rintangan dari semesta yang harus kulalui.

Tangan Aluna menggenggam sebuah kotak berisi kado untuk Rama. Ulang tahun adiknya sudah lewat seminggu yang lalu, namun gadis itu belum juga menyerahkan kado yang tempo hari ia beli bersama Zello. Aluna tahu, mungkin Rama akan kecewa karena ia tak menghadiri acara ulang tahun bocah yang saat ini genap berusia sepuluh tahun itu.

Gadis itu mengembuskan napasnya, melewati pagar bercat putih di depannya. Sebuah rumah bergaya Asian tampak di depannya. Aluna menggengam kado yang ia bawa lebih kencang, sudah lama kedua kakinya tidak menginjak halaman rumah ini. Mungkin tiga tahun yang lalu, terakhir kali ia mengunjungi rumah keluarga baru papinya. Rumah itu tampak khas, halamannya luas, tamannya terlihat segar, Aluna baru tahu saat ini taman di rumah itu telah berubah. Ada beberapa tanaman baru, ayunan dan sebuah seluncuran berwarna merah yang menghuni taman di pekarangan rumah itu.

Suara ketukan pintu terdengar, itu berasal dari tangan Aluna yang mengetuk pintu rumah papinya beberapa kali. Ia mengembuskan napasnya,mengetuk-etukkan sepatunya di muka lantai, sembari menunggu pintu jati yang diberi plitur kayu itu dibuka oleh si tuan rumah.

"Mbak?" suara Jani memenuhi indra pendengaran Aluna.

Jani adalah anak dari Mama Diah dengan almarhum suami pertamanya, hanya terpaut dua tahun dari Aluna. Saat ini, Jani kelas dua belas. Ia telah tumbuh dengan baik. Tubuhnya lebih tinggi dari Aluna, mungkin pengaruh gen dari Mama Diah yang memang bertubuh tinggi.

"Rama ada?" tanya Aluna langsung, karena memang tujuannya bertamu adalah untuk Rama.

"Ada Mbak, masuk aja."

Aluna mengangguk sekilas dan masuk ke dalam rumah itu. ia duduk di atas kursi kayu yang ada di ruang tamu.

"Aku panggil Rama dulu, Mbak."

"Yah."

Jani masuk ke dalam rumah, sementara Aluna sibuk mengamati bingkai foto keluarga yang terpasang jelas di dinding rumah itu. ada papinya, Mama Diah, Rama dan Jani di sana. Mata Aluan memejam, ia membayangkan kapan sekiranya bisa foto seperti itu dengan papi dan maminya? Mati-matian gadis itu menahan air matanya. Tidak ada yang harus disesali dari perpisahan kedua orang tuanya, semua telah terjadi, tidak akan ada yang mampu mengembalikannya menjadi utuh seperti dulu. Papinya telah bahagia dengan kehidupannya selama ini, begitu pula maminya.

"Lun..."

"Eh, Ma?"

Aluna berdiri saat mendengar suara Diah memanggilnya. Gadis itu beranjak, menyalami Diah—istri papi, ibu tirinya.

"Kamu kok baru dateng?"

"Emh iya, Ma. Sibuk di kampus. Maaf ya, Ma."

"Nggak papa, Sayang. Mama ngerti kok."

"Mbak Alunaaaaa..."

Teriakan Rama dari arah belakang Diah membuat Aluna terseyum lebar, bocah itu menghampirinya dengan binar bahagia di kedua matanya. Rama menengadahkan tangannya di depan Aluna.

"Kado..."

"Itu di meja, salam dulu sama Mbak dong, masa nagih kado dulu," ucap Aluna pura-pura kesal pada Rama. Bocah itu malah tertawa dengan gigi-gigi besarnya—khas anak kecil.

"Asikkk, kado....aku buka ya, Mbak?"

Aluna mengangguk saat Rama menghampiri kadonya dan mulai membuka kado yang ia bawakan. Rama membuka dengan tidak sabaran, jari-jemarinya begitu lincah menyobek bungkus kado bergambar kartun itu.

"Wuahhh satu set Robot Power Rangers, asikkk...aku suka Mbak, makasih Mbak."

"Kado Mbak Jani juga bagus, kamu curang deh Ram, masa sukanya sama kado dari Mbak Aluna," sahut Jani sambil mencibir Rama.

"Biarin wlee, aku sayang Mbak Luna, bukan Mbak Jani jelek."

"Ihh Ram, ngeselinnn...kan Mbak yang sering ngajakin kamu main bukan Mbak Aluna," teriak Jani, membuat Aluna tersenyum masam. Well, ia dan Jani memang tidak begitu akrab, Jani malah lebih sering diam saat bersamanya, Aluna paham, mereka dua saudara tiri yang jarang bertemu, tidak ada alasan untuk bisa akrab seperti kebanyakan saudara lainnya.

"Janiii...sudah sana, buatin minum buat Mbak Aluna, sama ambilin pudding yang tadi mama bikin," kata Diah menengahi. Jani mengentakkan kedua kakinya kesal lalu meninggalkan ruang tamu.

"Maafin Jani ya, Lun."

"Nggak papa, Ma."

Aluna tersenyum kecil, ia menghampiri Rama yang mulai sibuk dengan robot barunya. Kedua tangannya mengelus rambut hitam milik Rama. Aluna sayang pada Rama, terlepas dari mereka yang beda ibu atau tidak, mereka satu darah yang diwariskan dari papinya—Anggara.

"Lun, kamu tetap nggak mau tinggal di sini?"

Aluna menoleh, menatap Diah yang memandangnya penuh harap. Tinggal di sini bersama Jani, Rama dan Mama Diah? Mungkin Aluna bisa, namun Jani? Apa gadis itu akan menerimanya seperti Jani menyayangi Rama? Aluna tahu, Jani tidak begitu menyukai Aluna. Dan, Aluna tidak ingin memperkeruh suasana jika harus tinggal di rumah ini.

"Nggak, Ma. Aluna mau hidup mandiri, kapan-kapan aja Aluna nginep sini deh."

"Kamu selalu bilang kapan-kapan, tapi nggak pernah kamu laksanakan, Lun."

Aluna menatap Diah dengan pandangan seakan meminta maaf. Ia memang sering berkata seperti itu pada Diah, Rama ataupun papinya. Aluna belum sekuat itu untuk terus-terusan berada di dalam keluarga ini, ia butuh waktu lebih banyak.

"Maafin Mama ya, Lun. Kalau kehadiran Mama, Jani dan Rama bikin kamu menderita."

Aluna menggeleng, ia berusaha tersenyum. Tidak, bukan salah Mama Diah, ataupun kedua adiknya. Garis takdir sudah seperti ini, papinya tidak berjodoh dengan sang mami, jadi ini bukan salah siapa-siapa. Mama Diah adalah mantan pacar papinya dulu, saat suami pertama Mama Diah meninggal dan keadaan rumah tangga papi dan maminya sedang tidak baik, Tuhan mempertemukan mereka lagi.

"Nggak kok, Ma. Jangan ngomong kayak gitu."

Mama Diah beringsut menghampiri Aluna, memeluk gadis itu. Meskipun bukan anak kandungnya, tapi Diah menyayangi Aluna seperti anaknya sendiri, kesalahannya yang telah hadir di tengah pernikahan Anggara dan Alisa—mami Aluna membuat rasa bersalah Diah masih ada hingga kini.

***

"Jadi?"

Aluna membuang napasnya, kehadiran Zello benar-benar mengganggu dirinya. Beruntung ruangan Departemen Infokom sedang sepi, sehingga Aluna tidak harus repot-repot untuk menahan malu karena sejak tadi ia berdebat dengan Zello. Laki-laki yang beberapa hari lalu berhasil membuat wajahnya merah padam karena menahan malu atas ucapannya. Calon imam? Halah...Aluna menggelengkan kedua kepalanya, saat kalimat itu mengusik dirinya lagi.

"Ya terus, jadi apanya yang jadi?"

"Ya tadi yang aku tanya, ngopi bareng Aldo, Aku sama Dina," ucap Zello.

"Tapi ntar kemaleman, Zell."

"Ya, nanti aku anter. Aldo sama Dina kuliah sampe sore, jadi nggak bisa rapat siang," jelas Zello.

Aldo dan Zello selaku SC—Steering Commite, yang bertanggung jawab dalam mngonsep acara dari awal sampai akhir. Sedangkan Aluna adalah Ketua Pelaksana atau yang biasanya mengepalai OC—organizing comitte, yang bertanggung jawab terhadap jalannya acara sampai evaluasi.

"Ishhh ya kenapa nggak kalian aja sih yang rapat? Lagian kamu mau jemput aku pakai apa? tangan kamu aja belum sembuh."

"Kamu ketua pelaksana ya harus ikut, aku sama Aldo yang mengonsep dan Dina yang bagian mencatat karena dia sekretaris, ya pakai supir," jelas Zello yang sebenarnya tidak perlu, karena Aluna sudah tahu job desk-nya. Ia hanya malas saja kalau harus rapat malam, Aluna tahu kalau Zello dan Aldo sudah rapat internal, sampai pukul dua juga masih akan betah menghuni Warung Kopi Mbok Jum yang ada di belakang kampus sana. Ia pernah melihatnya dari insta story Aldo.

"Oke, oke! Kalau gitu aku mau balik dulu."

"Hmm, nanti aku jemput, habis maghrib."

"Terserah," balas Aluna, ia lalu mengambil tote bag-nya dan segera meninggalkan Zello.

"Lun," kata laki-laki itu membuat Aluna mengalihkan tatapannya lagi pada Zello.

"Kenapa lagi?"

"Kamu belum memberiku jawaban, soal yang kemarin."

Dahi Aluna mengerut, "Yang kemarin apanya?"

"Aku ngajakin kamu balikan."

Mata Aluna membeliak, kenapa harus sekarang Zello membahasnya? Aluna benar-benar tidak berniat untuk mengungkit hal itu, setidaknya untuk saat ini.

"Kapan kamu ngajak balikan, bukannya kemarin bercanda?" ujar Aluna, ia berusaha bersikap tenang.

"Oh, jadi mau yang lebih jelas?"

"Bukan, ngga—"

"Aluna Anindya Dewi, apa perlu aku langsung ke rumah papimu?"

"Ngapain? Nggak usah aneh-aneh."

Zello terkekeh, "Siapa yang aneh-aneh? Aku serius."

Aluna menggeleng, ia memakai sepatu yang tadi dilepasnya, menghindari tatapan menuntut dari Zello. Cinta bukan prioritasnya untuk saat ini, ia masih takut, jujur saja.

"Aku mau tanya satu hal sama kamu, Zell."

"Kenapa?"

Aluna membuang napasnya, ia berdiri dengan jarak dua meter dari Zello. Sepatu slip on berwarna putih sudah terpasang di kedua kakinya.

"Pas kita jadian dulu, apa kamu masih sayang sama Davika?"

Zello menatap Aluna terkejut, ia hanya tidak menduga pertanyaan itu keluar dari mulut Aluna, setelah sekian lama. Dan, jika Aluna tahu jawabannya mungkin gadis itu akan bertambah tidak percaya pada dirinya. awalnya memang ia masih menyayangi Davika, proses move on dari cinta pertama itu lumayan susah, namun seiring dengan berjalannya waktu, Aluna berhasil merebut segala tempat di hatinya yang dulu diisi oleh Davika. Terkadang, untuk move on, seseorang memang butuh orang baru untuk membantunya lupa.

"Oh, oke, aku sudah tahu jawabannya. Dan, kupikir kamu juga sudah tahu jawabanku, Zell," kata Aluna sambil tersenyum sumbang.

Ternyata, sejak awal Zello memang sudah menyakitinya, terlepas dari sosok itu yang katanya menyayangi dirinya itu. sejak awal Zello tidak serius dengan dirinya, Aluna tidak bisa bersama dengan orang yang masih menyayangi masa lalunya. Ia tidak ingin merasakan sakit seperti maminya, sakit ditinggalkan oleh pasangan yang masih mencintai masa lalunya. Tersenyum tipis, Aluna meninggalkan ruangan itu tanpa kata-kata, ia membiarkan Zello di sana, dengan segala pemikiran ruwet di kepala laki-laki itu. jika bisa, ia ingin menghindar dari Zello, namun bisa apa? itu adalah sesuatu yang mustahil.

***

Warung Mbok Jum tampak ramai, banyak mahasiswa yang nongkrong di sana untuk sekadar wifi-an sambil ngopi, walau akses wifi di kampus lumayan lancar, warung ini tetap jadi primadona karena menyajikan kopi dan makanan ringan yang mampu mengganjal perut mereka saat mengerjakan tugas atau rapat seperti empat orang yang saat ini sedang mengelilingi meja kecil sambil duduk di atas karpet biru. Warung Mbok Jum memang bertema lesehan.

"Kamu tadi dianter siapa? Aku ke rumahmu katanya kamu nggak ada," tanya Zello sewaktu Aluna sibuk memilih menu kopi, Dina dan Aldo yang sudah mengetahui hubungan keduanya hanya diam. Meski di kampus sempat menjadi perbincangan hangat, tapi tak seperti di kebanyakan FTV di mana si tokoh cewek akan dibenci saat memiliki hubungan dengan idola kampus, Aluna tak mengalami apa pun. Kehidupan tidak selebay itu kan? Atau mungkin karena ia hanya mantan Zello bukan pacarnya?

"Bareng Davika," jawab Aluna singkat.

"Nanti pulang bareng, bilang sama Davika nggak usah jemput."

Aluna tak memberi jawaban, ia melihat-lihat daftar menu di depannya.

"Jadi, lo pesen apa, Lun?" tanya Dina, setelah melihat pembicaraan Aluna dan Zello berhenti.

"Gue cappuccino sama sosis goreng ya," kata Aluna.

"Nggak ada acara kopi-kopian, Lun. Kamu punya maag, jangan minum kopi."

"Cokelat panas kalau gitu, Lun," sahut Aldo, Zello melirik laki-laki itu yang tiba-tiba menyahut. Sejak beberapa hari lalu Aldo memang aneh, tepatnya setelah tahu Aluna mantan pacarnya, Aldo menjadi sedikit lebih diam saat di depannya.

"Yaudah, Mbak Din, gue cokelat panas satu sama sosis goreng."

"Ekhm, mantan rasa pacaran ya, Lun," kata Dina sambil terkikik, Aluna melotot saat mendengar ucapan Dina.

"Gue kayak biasanya, Din," ujar Zello.

"Oke, Bos!"

Setelah selesai mencatat, Dina beranjak dari duduknya dan menyerahkan pesanan itu pada pegawai warung. Zello mulai membuka catatan di bukunya, melihat TOR—term of reference yang sudah dibuatnya dengan Aldo kemarin.

"Ini TOR yang sudah aku buat dengan Aldo, kita berencana mengundang salah satu Editor dan seorang penulis sebagai pembicara di seminar jurnalistik nanti," jelas Zello sambil menyerahkan TOR itu pada Aluna, tentu menggunakan tangannya yang sehat. TOR yang berisi gambaran singkat mengenai acara dan nama pengisi pemateri itu dilihat Aluna dengan saksama.

"Mbak Andira?" tanya Aluna memastikan.

"Ya, kenapa? Kamu kenal?"

"Editorku."

Zello tersenyum misterius, ia memang sengaja mengundang Andira di seminar jurnalistik nantinya, selain bisa mengontrol bayaran untuk Andira, hal tersebut juga memudahkannya untuk membuat acara seperti yang diinginkan olehnya. Well, koneksi dalam memang selalu diperlukan saat akan membuat suatu acara besar.

"Jadi, lo mau nerbitin buku, Lun?" tanya Aldo yang sejak tadi hanya diam.

"Ya, gitu."

"Kenapa nggak lo aja kalau gitu? Kan lumayan kalau sama lo pasti gratis," gurau Aldo, membuat Aluna tertawa, lain dengan Zello yang hanya menatap keduanya datar.

"Enak aja gratis, pelit lo Mas," balas Aluna kemudian.

"Ya, lumayan, Lun. Gratis, kan dananya bisa dibuat tambahan untuk proker lain."

Aluna geleng-geleng kepala, "Lo itu anak Sastra Inggris apa Ekonomi sih, Mas?"

"Penginnya masuk Ekonomi, tapi keterimanya di Sastra Inggris, ya mau gimana lagi?"

"Wah salah jurusan dong?"

"Nggak juga, sih. Gue juga suka Bahasa Inggris, jadi ya nggak masalah."

Aldo menyesap rokoknya yang entah sejak kapan sudah menyala, membuat Zello kesal karena Aluna malah mengobrol dengan Aldo dan mengabaikan dirinya. Zello membuang napasnya, berusaha bersikap biasa saja, saat ini Aluna belum mau menerimanya, jadi ia harus bekerja keras untuk mendaparkan Aluna kembali, sebelum seseorang mendahuluinya. Aldo, misalnya.

Aneh ya part ini? wkwk maafkan, kalau nggak ngerti beberapa istilah di atas boleh ditanya. Mau bikin acara emang seribet itu, tapi nggak seribet memahami hati doi sih wkwk. 

Regards, 

Ig skuad: aristavee, arzelo.prakarsa, aluna_dewi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro