Kesempatan
Aku lupa bagaimana perasaan cinta mampu membuat kita bahagia, mungkin karena terlalu banyak luka yang kuyakini tak akan sembuh, meski kamu menawarkan obat paling mujarab yang pernah ada.
"Jadi, teman saya gimana, Bu?"
Zello menatap serius seorang wanita paruh baya yang sudah menjadi psikolog Io selama satu tahun belakangan ini. Psikolog yang disarankan oleh papanya saat ia bertanya, adakah papanya mengenal seorang psikolog yang bisa membantu Io.
"Dia perlu direhab. Dia ada di titik paling buruk terkait psikisnya."
"Tapi, berapa lama?" masih dengan nada tenangnya, laki-laki itu kembali bertanya.
"Saya tidak tahu, sampai dia sembuh dia ada di bawah pengawasan panti rehabilitasi."
Menghela napasnya, Ahmed mengusap bahu Zello. Mereka akan kehilangan Io untuk beberapa lama, temannya itu benar-benar diambang batas kemampuannya untuk bisa berpikir normal.
"Saya akan menemui Io. Dia sudah boleh ditemui kan, Bu?"
Intana—wanita itu mengangguk. Zello berdiri dari kursi duduknya, di ruang praktek Intana. Ia menyalami tangan Intana sebelum berlalu, diiringi Ahmed di belakangnya. Aldo berhalangan ikut, karena ia sibuk dengan urusan BEM F yang mendesak dan tidak bisa ditinggalkan.
"Ketemu Io, Med," kata Zello begitu mereka naik ke motor matik milik Zello. Ahmed mengangguk dan mulai memasang helmnya.
Zello mengemudikan kendaraannya ke alamat yang tadi disebutkan oleh Intana. Ia akan menemui Io, ia akan memberi dukungan pada temannya untuk bangkit dari keterpurukan. Io butuh teman, Io butuh kebersamaan, bukan ditinggalkan. Karena seorang sahabat tidak akan pernah meninggalkan sahabatnya yang sedang terpuruk dan butuh uluran tangan.
***
Wajah Io pucat, matanya berkantung hitam. Wajahnya tampak menyedihkan, berat badanya sedikit turun, dari terakhir kali Zello melihatnya—dua minggu lalu. Bahu Io turun, tampak keputusasaan di sana. Di balik tatapan tak bersemangatnya, Zello paham, seberapa menyedihkannya hidup Io.
"Gue udah rusak, kalian nggak sepantasnya masih mau temenan sama gue. Gue sampah sekarang."
"Iooo...lo—"
"Gue sampah, Med. Gue nggak pantes hidup, gue keturunan manusia sampah dan akan jadi seperti itu."
"Stop!" kata Zello, ia ingat Intana pernah mengatakan jika Io sudah mulai merancau dan berpikiran negatif seseorang harus menghentikannya, dengan cara mengatakan stop untuk menghentikan pemikiran negatif tersebut. Io langsung bungkam begitu mendengar kata Zello, mungkin ia refleks.
"Lo tahu sampah? Itu menjijikan, lo itu manusia, ciptaan Tuhan. Nggak ada mahluk ciptaan Tuhan yang menjijikkan. Lo harusnya paham itu, kalau lo bilang diri lo menjijikan lo sama aja bilang mahluk ciptaan Tuhan itu menjijikan."
Io terdiam, ia menundukkan kepalanya. Menangis. Laki-laki itu menangis. Emosi membuatnya menangis, Io menangis karena psikisnya sudah tak lagi mampu menahan semua hal yang ia rasa menyakitkan. Semua hal dalam hidupnya begitu menyakitkan.
"Lo tahu di balik lautan pembuangan sampah, ada banyak gedung-gedung tinggi yang menjulang. Di baliknya ada harapan buat lo bangkit, kalau bukan buat gue seenggaknya lo harus bangkit buat nyokap dan adik lo, Io."
"Maaf, Zell. Gue nggak tahu gue harus apa, gue merasa nggak berguna dan gue bahkan nggak lagi mengenali diri gue sendiri."
Zello membuang napasnya, ia menatap Io dengan tatapan tajamnya. "Lo, nggak sendiri."
Io diam tak bersuara, ia menghapus sisa air matanya. Ucapan Zello selalu terdengar benar.
"Zell..."
Io bersuara setelah beberapa saat dibungkam keheningan.
"Kenapa?"
"Jaga Liara sama mama gue, gue minta tolong, jenguk mama gue sebisa lo, selama lo ada waktu. Terutama Liara, gue nggak mau bajingan itu nyakitin Liara, gue titip Liara, Zell," ucap Io, Zello memandangnya dengan tatapan teduh.
"Gue akan jaga mereka selama lo di sini. Nggak perlu khawatir."
Io tersenyum tipis, ia mengkhawatirkan adik semata wayangnya yang masih duduk di bangku SMA kelas 12, adiknya yang selalu melihat pertengkaran kedua orang tuanya. Io tahu di balik sifat Liara yang selalu ceria, gadis itu hanya mencoba berkamuflase, agar orang lain tidak tahu, seberapa besar luka yang menganga di hidupnya.
"Gue nggak pantes ngucapin terima kasih ke lo, Zell," kata Io, Zello tersenyum tipis. Ia menepuk bahu Io memberi dukungan.
***
Aluna menatap penuh haru anak-anak yang sedang diajarnya. Ia tergabung menjadi relawan kampus yang bertujuan untuk mengajar anak-anak jalanan yang membutuhkan edukasi. Program di bawah naungan BEM U itu baru berjalan satu periode ini, dan Aluna tidak menyangka jika mengajar mereka semenyenangkan ini. Wajah-wajah polos yang tak mengenal huruf itu membuat hati Aluna iba. Mungkin selama ini ia kurang bersyukur terhadap hidupnya sendiri, hingga ia buta dan selalu terpuruk dalam bait kesedihannya. Menganggap, dirinya adalah yang paling menyedihkan di antara milyaran manusia lainnya.
"Seneng?" Aldo bertanya. Laki-laki itu duduk di sebelahnya, beralaskan koran bekas.
"Banget, nggak nyangka ternyata menyenangkan juga."
"Memang menyenangkan. Kepuasan batin, saat ngelihat mereka seneng. Ini mungkin nggak seberapa, tapi akan sangat bermakna."
"Kak Aldo bener," kata Aluna, ia tersenyum pada Aldo. Aluna baru tahu tadi saat kumpul dengan para relawan lainnya kalau Aldo juga tergabung dalam kegiatan ini. Selama ini saat ia rapat, ia tak pernah melihat Aldo ikut, jadi Aluna cukup terkejut untuk hal itu.
"Ikut kegiatan kampus, memang ada manfaatnya juga ya, Kak. Jadi mahasiswa kupu-kupu memang enak, kuliah pulang, punya waktu cukup untuk istirahat. Tapi, jadi mahasiswa aktif jauh lebih menyenangkan, seenggaknya gue berguna buat orang lain."
"Lo, berguna dan akan selalu berguna. Tapi, jangan keasikan ikut kegiatan jadi lupa kuliah haha..."
Aluna mencibir, "Bukannya situ yang sering bolos kuliah?"
Aldo mengangkat kedua bahunya, ia tergelak lagi. Aluna benar, untuk beberapa alasan ia memang sering bolos kuliah saat terdesak, sehingga ada beberapa mata kuliah yang harus diulang oleh Aldo. Risiko aktivis mahasiswa sepertinya, dan Aldo pun tampaknya paham untuk hal yang satu itu. ia tidak mempermasalahkannya, menurutnya, kuliah untuk mencari pengalaman sebanyak mungkin, untuk mencari koneksi dan kenalan yang mungkin akan ia butuhkan di karier masa depannya nanti.
"Lo, kenapa nggak mau balikan sama Zello?" Aldo bertanya tiba-tiba. Ia tahu Aluna menolak balikan dengan Zello, tentu dari mulut Zello yang saat itu bercerita pada Ahmed. Hubungannya dengan Zello sedikit renggang karena Zello beranggapan ia menyukai Aluna.
"Penting buat Kak Aldo tahu?"
"Nggak juga," kata Aldo, ia menoleh pada Aluna yang sepertinya tak tertarik untuk membicarakan Zello lebih jauh.
"Lun..."
"Kenapa?" Aluna menoleh.
"Gue tahu siapa yang ngasih origami-origami itu sama lo," kata Aldo dengan senyum misterius. Membuat Aluna terbelalak, darimana Aldo tahu mengenai origami itu? tidak ada yang tahu selain dirinya, Alya dan Devika.
"Siapa?"
"Penting buat lo tahu?"
Aldo balas berkata demikian, sebelum meninggalkan Aluna dengan rasa penasarannya. Sialan.
***
Tidak ada kebenaran dari sebuah cinta yang akan menyakiti. Kamu hanya harus percaya pada apa yang kamu rasakan, Aluna. Bahwa tidak semua orang bergerak di tempat yang sama, pun begitu dengan hati.
-Masih di sini Aluna, di tempat yang kamu lihat namun enggan kamu sapa.
Kali ini tidak hanya sebuah origami yang dilipat segitiga, namun juga sebuah permen milkita yang saat ini sudah bersarang di mulut Aluna. Sejak Aldo mengatakan tahu siapa pengirim surat untuknya, Aluna belum bertemu laki-laki itu lagi hingga hari ini. Padahal rasa penasaran Aluna membuat gadis itu ingin segera bertemu Aldo dan bertanya tentang kebenaran ucapannya.
"Luna..."
Aluna berhenti. Ia menoleh ke arah sumber suara, Zello baru saja meletakkan sebuah helm di atas sepeda motornya, ia melepas jaket yang membalut tubuhnya dan berjalan menghampiri Aluna.
"Kenapa?"
"Kamu baik-baik saja?"
Aluna mengangkat kedua alisnya, "Memang kenapa?"
"Nggak papa. Cuma mau bilang, nanti siang kamu diminta ke kantor buat tanda tangan kontrak, minggu depan novelmu naik cetak."
Aluna membuka lebar mulutnya, ia terkejut. Akhirnya, setelah sekian lama. Proses penerbitan novel yang amat sangat panjang sejak naskahnya dinyatakan lolos seleksi redaksi beberapa bulan lalu.
"Serius? Nggak bohong?"
Zello menggeleng, ia terkekeh geli melihat wajah Aluna berbinar. Setidaknya, jika Aluna belum mau menerimanya, ia cukup membuat gadis itu tersenyum, dan menunjukkan sikap kalau ia bisa dijadikan Aluna sebagai sandaran.
"Kamu mau nemenin aku, nggak, Zell? Aku agak sungkan."
Zello menghentikan senyumnya, ia menggaruk tengkuk belakangnya yang tidak gatal.
"Sebenarnya aku nggak keberatan, Lun. Hanya, aku ada urusan."
"Apa?" Aluna tak sadar bertanya.
"Kamu nggak perlu tahu."
Aluna tersenyum masam. Ia ingat, ia tak berhak tahu apa pun tentang Zello. Memang dia siapanya Zello? Bukankah waktu itu ia sudah menolak ajakan Zello untuk balikan? Davika bahkan mengatakannya bodoh saat ia menceritakan semuanya pada gadis itu. Dan, Aluna memang benar-benar bodoh
"Oh oke, maaf," ucap Aluna, ia menelan lagi permen milkita yang tadi sempat dilepaskannya dari mulut saat Zello mengajaknya bicara.
Mereka lalu berjalan bersama menuju gedung Ormawa, dengan perasaan gelisah yang dialami oleh Aluna dan, Zello yang dipenuhi banyak pikiran. Ia berencana mengunjungi mama Io yang masih dirawat di rumah sakit. Namun, menolak permintaan Aluna benar-benar membuatnya suntuk, ia melewatkan kesempatan untuk bersama Aluna. Tapi, hari ini mama Io akan pulang ke rumah, Zello harus memastikannya ia baik-baik saja. Ia mendapat kabar itu pun dari Liara—adik Io. Gadis itu dimintanya untuk selalu menyampaikan perkembangan terkait kondisi mamanya, jadi, Zello tidak akan kesulitan untuk memantaunya.
"Lain kali, aku pasti menemanimu, Luna."
Aluna menoleh, ia tak memberi jawaban, bingung harus mengatakan apa saat Zello berucap demikian.
"Zell..." Aluna bersuara. Mereka tiba di bilik ruangan. Keadaan sepi, tak satu pun manusia menghuni ruangan tersebut, Aluna sendiri pun bingung, mengapa sepasang kakinya mengikuti Zello ke tempat ini.
"Kenapa? Ada yang ingin kamu katakan?"
Aluna mengigit bibirnya setengah takut, ia membuang napasnya, lalu duduk di atas karpet hijau, memperhatikan Zello yang menunggu jawabannya.
"Aku kasih kamu kesempatan, buat aku yakin kalau kamu nggak akan nyakitin aku, Zell," ucap Aluna akhirnya. Ia tidak tahu mengapa mengatakan hal tersebut, kata-kata Davika dan sikap manis Zello selama beberapa waktu ini membuat hatinya cukup tergerak, ia belum menerima Zello, hanya memberinya kesempatan. Tidak ada salahnya.
Zello menatapnya tak percaya. Ia diam untuk beberapa detik, mencerna kalimat Aluna. Kesempatan, Aluna memberinya kesempatan setelah menolaknya beberapa waktu lalu. Tubuhnya seakan kehilangan respons, ia masih tidak mempercayai pendengarannya sendiri.
"Aku akan membuktikannya, Luna," kata Zello yakin. Luna tersenyum tipis sambil berharap Zello tidak mendustasi ucapannya.
Tapi, tak ada sesuatu di dunia ini yang benar-benar berjalan semestinya, ada kalanya sesuatu di dunia ini tidak berjalan sesuai harapan. Misalnya, bisa saja sebuah hati dibelokkan atau sebaliknya.
ޚ)G
Jangan memintaku cepat nulis ini, berat men berat -__- nggak tahu kenapa berat banget wkwk. Mana votes sama komennya, jadi engga semangat deh :'v
salam,
Ambass Oenyoe yang Selalu Teraniaya
Aristavee
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro