Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kali Kedua

sebelum baca, ada baiknya baca ulang part kemarin karena ada yang missed dan aku kelupaan kalau pacar Alya itu anak kampusnya juga, namanya Fendy. Thanks to reader yang sudah mengingatkan huehehe...sebenernya aku pengin ngungkap banyak hal di cerita ini, jadi isinya memang ngga cuma fokus ke Aluna sama Zello, tapi juga lingkungan sekitarnya. So, aku berharap kalian dapat pelajaran dari cerita ini. Yang nyari Davika, di part depan dia muncul hueheh. Happy Reading.

***

Aku tidak berbalik untuk menjemput kenangan, aku berbalik menjemput kita yang pernah hilang dan saling merindukan.


"Seneng?" tanya Zello. Matanya menatap Aluna sambil menahan tawa di bibir. Wajah Aluna tampak bahagia, seakan semua bebannya hilang entah ke mana.

"Salah kamu nanya kayak gitu. Harusnya kamu nanya, seberapa seneng aku hari ini."

Zello tertawa, Aluna masih tak berhenti menatap novel di depannya sambil memotret novel tersebut untuk ia ambil sudut yang pas, nanti akan dimasukkan ke Instagram.

"Mau jalan nggak?"

"Ke mana?"

"Maunya ke mana?"

"Ya kan kamu yang ngajak jalan, kenapa malah balik nanya?"

"Lucu ya kamu."

Aluna tersentak, menatap aneh pada Zello yang sedang terkekeh. Kesal, ia melempar tisue ke arah Zello. Dua manusia itu sedang berada di kantor redaksi penerbit yang menerbitkan novel Aluna. Tepatnya berada di bilik kerja Andira yang ukurannya sedikit lebih besar daripada bilik kerja pegawai lainnya. Sementara sepupu Zello itu sedang menyeduh kopi di pantry.

"Nanti kujemput."

"Aku belum bilang setuju."

"Nggak perlu kamu bilang, kalau aku sudah di depan gerbang rumahmu, kamu mau apa selain ikut?"

Aluna mendengkus, ia mengalihkan matanya dari Zello, bersamaan dengan kedatangan Andira dan secangkir kopi juga secangkir teh susu di atas nampan. Perempuan berkemeja kuning muda itu tersenyum lebar pada Aluna. Pakaiannya khas pegawai kantoran dengan versi yang lebih santai, karena pekerjaannya memang tidak seserius pegawai lainnya. Zello bilang, jadi editor di sini lumayan santai.

"Mentang-mentang yang mau balikan ya, ruanganku dijadiin tempat kencan."

"Ih Mbakk...apaan sih, nggak tahu," elak Aluna, Andira tertawa, lalu menyerahkan kopi dan teh itu untuk Zello serta Aluna.

"Malu Dir, dia. Jangan digodain."

"Posesif amat sih, belum resmi juga." Andira mencibir.

"Suruh aja dia bilang iya, nanti juga resmi."

"Zellooooooo...." Geram Aluna, ia benar-benar malu. Zello tampak menyebalkan di matanya, kalau bisa ia ingin Zello lenyap saat ini juga. Atau dia saja yang segera pergi dari tempat ini, sebelum Zello membuatnya lebih malu lagi.

"Kamu itu, Zell—" ucapan Andira terputus oleh suara ponsel Zello, laki-laki itu mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Andira, lalu menggeser ikon hijau di layar ponselnya.

"Ya..."

Seseorang tampak berbicara serius di telepon, terlihat dari wajah Zello yang sedikit menegang saat berbicara dengan lawan bicaranya di seberang.

"Sejak kapan?"

Zello mengusap wajahnya, helaan napas terdengar di telinga Aluna pun dengan Andira.

"Ya sudah, kamu tunggu di sana. Jaga mamamu, aku segera ke sana."

Panggilan itu terputus, pandangan Zello langsung tertuju pada Aluna, matanya mengisyaratkan sesal yang sangat tampak.

"Aku ke rumah sakit sebentar. Kamu pulang sama Andira ya, atau kamu mau ikut?" tawarnya, sebenarnya ia tak berharap Aluna ikut, jika mengingat papa Lio sedang ada di rumah sakit, ia pasti nanti akan berdebat dengan papa Lio, dan Zello tidak mau Aluna melihat hal itu, karena Zello tahu itu hanya akan menambah ketidakpercayaan Aluna pada laki-laki semakin besar.

"A—aku di sini sama Mbak Dira. Kamu pergi aja."

Zello mengangguk. "Jangan lupa, nanti malam aku jemput."

Aluna mengangguk, ia tak pernah berharap doanya tadi dikabulkan Tuhan. Namun, sepertinya lain perkara.

***

Zello tergesa menuju kamar tempat Mama Lio dirawat, usai mendapatkan kabar dari Liara kalau papanya berkunjung, ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Liara tidak mungkin menghadapi papanya sendiri untuk saat ini, tidak setelah apa yang terjadi. Ia juga sudah mendapatkan amanat dari Lio untuk menjaga Liara dan mamanya selama Io direhabilitasi.

"Lia, kenapa kamu malah di luar? Mamamu?"

"A—aku takut, Kak. Papa marah-marah, aku takut, Kak. Aku nggak mau lihat papa marah lagi," kata Liara sambil menahan tangisnya. Zello memegang pundak gadis itu.

"Denger ya Lia, nggak usah nangis. Oke, semuanya akan baik-baik saja. Aku masuk dulu, kamu tunggu di sini."

Liara mengangguk pelan, ia membiarkan Zello masuk ke dalam ruang inap mamanya.

Zello disambut suara isakan ketika kedua kakinya memasuki ruang inap itu. sosok laki-laki paruh baya yang memunggunginya tampak mengeluarkan kata-kata kasar untuk si wanita. Zello meyakini itu adalah papa Lio. Perawakannya tinggi besar, rambutnya setengah ikal—ia pria berdarah campuran Italia.

"Permisi."

Pria itu menghentikan ucapannya, badannya berbalik, mata hijaunya menatap Zello tajam—seakan memberitahu, ia tak suka perkataannya diiterupsi oleh Zello.

"Siapa kamu?"

"Saya teman Lio."

"Untuk apa kamu di sini?"

Zello menarik napasnya. Ia tak mau sok melawan papanya Lio, namun janjinya pada Lio dan prinsipnya yang tak ingin melihat seorang pria menyakiti fisik wanita membuat tekadnya bulat untuk berbicara dengan papa Lio.

"Tante Maura sedang sakit, tidak seharusnya anda memarahinya. Silakan keluar, Tante Maura butuh istirahat."

"Apa? sialan! Hak apa kamu melarangku, hah?"

"Karena Lio meminta saya menjaga adik dan mamanya," jawab Zello tegas. Tampak mata pria itu berkobar-kobar menandakan ia sedang marah.

"Sialan! Anak tidak waras itu, berani-beraninya dia!" kata pria itu, ia lalu berjalan ke arah pintu, membanting pintu dengan kasar, meninggalkan ruang inap itu tanpa menoleh lagi.

Zello membuang napasnya. Ia menghampiri Maura—mama Lio yang melihatnya dengan tatapan terima kasih.

"Tante baik-baik saja?"

"Ya," jawab wanita itu dengan suara yang nyaris berbisik.

***

"Makasih ya, Kak. Maaf aku ngerepotin, biasanya ada Kak Lio yang bisa kuhubungi kalau papa lagi ngamuk, tapi Kak Lio sedang nggak bisa," kata Liara.

Suasana kantin rumah sakit yang cukup ramai tidak membuat suasana hati gadis itu membaik.

"Kamu mau bertemu Lio?"

Zello menyesap kopi susunya yang sudah tak sepanas tadi. Ia melihat muka Liara yang muram, gadis itu masih mengenakan seragam SMA-nya dan sedang meremas-remas jemarinya tampak gelisah.

"Mau, tapi nggak berani sendiri."

"Nanti kuantar."

"Nanti aku ngerepotin terus."

Zello menggeleng, ia tak merasa direpoti. Sejak kecil papanya selalu bilang untuk menolong orang dengan ikhlas. dan, itu sudah tertanam di dirinya hingga saat ini.

"Nggak papa, anggap aku pengganti Lio. Kamu adikku juga."

Liara melihat ke arah Zello, ada rasa penyesalan di kedua mata Liara ketika melihat Zello. Menyayangkan mengapa Zello harus terlibat ke dalam peliknya masalah keluarganya. Namun, perlakuan Zello membuatnya merasa aman, setidaknya ada yang menggantikan Lio untuk menjaganya dan menyemangatinya seperti saat ini. Arzello Wisnu Prakarsa, teman Lio yang sudah ia kenal sejak Lio dan Zello berstatus mahasiswa baru.

"Kalau mau ajak Kak Aluna nggak papa, Kak. Aku nggak mau Kak Aluna salah paham lagi sama Kak Zello," ucap Liara—kemarin Zello menceritakan sedikit hubungannya dengan Aluna, Liara hanya tidak ingin Aluna merasa salah paham dengan dirinya, meski sejatinya ia pun mengagumi Zello karena semua sikapnya, ia tak menampik untuk hal itu, di mata remaja sepertinya, Zello adalah sosok yang paling tepat untuk dijadikan pacar, karena di balik wajahnya yang terkesan dingin, Zello itu sosok yang hangat. Wajahnya hanya sebuah kamuflase. Zello orang yang ramah, meski tak begitu banyak bicara.

"Nanti kalau dia mau," ucap Zello, senyum terbit di wajah Liara. Ia berdoa untuk kebahagiaan Zello.

***

"Kenapa ngajak ke pantai malem-malem?"

"Dengerin suara ombak," kata Zello.

Langit malam tak menampilkan gugusan bintang. Kedua manusia itu berdiri di sisi jembatan, mendengarkan debur ombak yang saling bersahutan menghantam pondasi jembatan.

"Kamu tahu filosofi ombak dan pondasi jembatan?" tanya Aluna, melihat sekilas ke arah Zello.

"Apa?"

"Pondasi jembatan itu kuat, tapi dia juga punya batas. Ketika ombak selalu menghantamnya dengan membawa harapan, pada batasnya itulah pondasi akan menyerah, akhirnya ia roboh masuk ke dalam ombak."

"Dan yang kamu maksud?"

"Kamu adalah pondasi, perempuan di luar sana yang menyukaimu adalah ombak. Mbak Shilla misalnya," ucap Aluna.

Zello tersenyum kecil, "lalu kamu?"

"Aku nggak masuk dalam bagian."

"Kalau aku pondasi, berarti kamu ya kayu-kayu jembatan ini. Sesuatu yang harus kutopang untuk terlihat sempurna sebagai jembatan."

Aluna memandang kesal ke arah Zello, ia sebal pada laki-laki itu karena selalu membuat kinerja jantungnya berdetak tak terkendali.

"Aku bukan jembatan, aku ya Aluna Anindya Dewi—"
"Calon istri masa depannya Arzello Wisnu Prakarsa," ujar Zello.

Aluna diam, ia menghela napasnya. Zello selalu tahu cara untuk membuatnya bungkam. Laki-laki itu meraih tangannya, memberikan sensasi hangat di antara embusan angin malam yang menerpa.

"Mau jadi masa depanku?"

Tubuh Aluna mendadak kaku, ia menoleh ke arah Zello. Suara debur ombak seperti sebuah Alunan yang memacu kerja jantungnya. Ia mungkin dinilai bodoh oleh perempuan di luar sana karena masih menggantungkan hubungannya dengan Zello, jika faktanya laki-laki itu bersikap baik dan selalu manis terhadapnya.

"Kamu ngelamar aku?" cicit Aluna dengan suara nyaris hilang, ia ingin tenggelam di antara ombak saat ini juga. Ia refleks tadi.

"Memang mau kulamar sekarang?"

"Aish nggak ya, nggak gitu."

"Aku mau lamar kamu sekarang, tapi belum mapan. Realistis, perempuan pasti butuh hidup layak dan makan. Aku masih belum menjadi apa-apa, tunggu aku jadi apa-apa, tunggu aku lulus lalu kerja."

"Zell...astaga, bisa nggak sih nggak usah bikin baper?" gerutu Aluna, ia ingin leleh saja saat Zello mengucapkan kalimat itu. Aluna mendadak mengingat Alya, temannya itu harus segera menikah dengan Fendy—pacarnya.

Menikah memang tidak hanya butuh cinta, yang bilang bisa selalu bahagia hanya dengan cinta berarti belum mengerti definisi kehidupan yang sesungguhnya. Cinta saja tidak cukup, butuh materi untuk menunjangnya, walau bukan materi yang melimpah, selama bisa mencukupi itu sudah lebih dari cukup.

"Haha...jadi, mau nggak?"

Aluna terdiam untuk beberapa saat. Ia membuang napasnya, lalu melihat ke arah Zello. Sekali lagi memberi kesempatan, tidak salah kan? Ia tidak tahu apakah itu akan membahagiakannya atau justru membuatnya hancur untuk kedua kalinya. Ia harus melawan ketakutannya, sekarang atau selamanya ia akan tetap menjadi Aluna yang takut menjalani sebuah hubungan.

"Ya, aku mau."

"Apa?"

Zello melihat gadis itu dengan pandangan takjub. Berharap tidak ada yang salah dengan telinganya.

"Astagaaa nggak usah ngeselin bisa nggak?"

Zello tersenyum, ia menggeleng. Tangannya masuk ke dalam jaket yang ia kenakan, meraih sesuatu dari saku jaketnya.

Sekotak susu UHT ukuran kecil dan sebuah origami warna pink berbentuk segitiga, membuat mata Aluna membeliak.

"Kamu, origami ini—"

"Buka, Lun!" kata Zello.

Dengan pikiran yang semrawut Aluna membuka kertas origami itu. Tampak tulisan tangan yang ditulis dengan huruf tegak bersambung terbubuh di atas kertas itu.

Hai, masa depanku. Ibu dari anak-anakku nanti. Terima kasih.

Dan, ia menjatuhkan kertas itu. Menatap tak percaya pada Zello, jadi selama ini, Zello yang mengiriminya kertas origami itu? tapi, bagaimana bisa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro