Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Jungkir Balik Hati Aluna(2)

Dan, ketika aku berbalik, aku sadar, kamu tak lagi menungguku untuk pulang.

***

Aluna terlihat menguap beberapa kali saat acara seminar berlangsung. Kepala editor dari salah satu penerbit yang menjadi narasumber di acara itu tampak sedang menjelaskan sesuatu mengenai minat baca di Indonesia, tapi Aluna tidak menyimak sama sekali. Ia dilanda mengantuk luar biasa, setelah malam tadi begadang mengerjakan tugas dan merevisi novelnya.

"Kamu mengantuk?" Tanya Zello, Aluna yang tadi memejamkan matanya, lantas membuka kedua matanya lebar-lebar, mengarahkan pandangannya pada Zello.
"Emh, iya."

Zello merogoh sesuatu dari saku jas almamaternya, tampak dua buah permen kopi merk terkenal ada di tangan laki-laki itu.

"Biar nggak ngantuk," kata Zello, Aluna terperangah.

Tak mendapat respons dari Aluna membuat Zello membuka salah satu bungkus permen itu, lalu menyodorkannya tepat di depan mulut Aluna.

"Buka mulutmu!"

Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Aluna hanya mengikuti perintah laki-laki itu dan membuka mulutnya, sehingga Zello bisa memasukkan permen itu ke dalam mulut Aluna.

"Ma-makasih."
"Emh."

Zello lalu membuka bungkus permen yang lain, sebelum memasukkan permen kopi itu ke dalam mulutnya. Dan, pergerakan Zello tadi tidak luput dari perhatian Aluna, gadis itu sibuk bertanya dalam hatinya. Apa yang terjadi pada Zello? Mengapa ia mirip dispenser yang kadang dingin kadang panas.

***

Usai menghabiskan dua jam di acara seminar itu, Zello tak langsung mengantarkannya ke kampus lagi. Laki-laki itu mengajaknya pergi ke toko buku yang juga menjual kertas HVS, Zello bilang kertas HVS untuk menge-print yang tersedia di ormawa telah habis, dan Zello memintanya untuk menemani membeli dua rim kertas HVS di toko buku.

"Aku akan melihat-lihat novel sebentar," kata Zello. Aluna hanya melihatnya tanpa menjawab, ia mengamati Zello berjalan ke jajaran rak novel, di mana banyak novel sastra berjubel di sana. Zello masih sama seperti dulu, laki-laki itu hobi mengoleksi buku-buku sastra, ketimbang novel roman picisan yang biasanya Aluna baca. Dia dan Zello adalah dua kutub yang berseberangan.

Seakan tersadar, Aluna melangkahkan kakinya menuju rak new arrival dan rak recomended, melihat koleksi terbaru novel di sana. Ia mengamati satu per satu novel yang tertera di sana, ada beberapa novel yang merupakan keluaran dari Equalife Publishing--penerbitnya. Aluna membuka beberapa novel yang sudah terbuka, berharap menemukan nama Wisnu di sana, namun sepanjang ia mencari nama editornya itu, Aluna tak mendapati satu pun nama Wisnu, hingga sekitar lima novel yang ia lihat. Hanya ada nama Andira, Citra dan Berta yang tertera sebagai nama editor di halaman pembuka novel. Oh, ia mulai berpikir, mungkin saja Wisnu itu editor baru.

"Mau cari novel apa?"

Seseorang membuatnya tersentak, Aluna melihat sosok seniornya di BEM F yang bernama Denis--ia satu jurusan dengan Zello.

"Mas Denis?"
"Yaaa, sendirian?"

Aluna menggeleng, ia tersenyum pada Denis. Laki-laki berkemeja biru muda itu tampak memegang sebuah buku kumpulan puisi milik salah satu pengarang kenamaan.

"Sama siapa?"
"Oh tadi sama Zello, lagi nyari kertas HVS buat persediaan Ormawa. Mas Denis lagi nyari buku, ya?"
"Emh, untuk tugas."
"Oh, suka sama puisi, Mas?" Tanya Aluna basa-basi ketika ia melihat Denis membawa buku kumpulan puisi.
"Ya, begitulah."

"Lun, ayo," kata Zello, menyentakkan Aluna. Gadis itu memandang Zello yang tampak membawa beberapa buku di tangannya.
"Loh, Den. Di sini?"
"Yoi, lagi nyari buku buat tugas besok senin," jawab Denis, Zello manggut-manggut.
"Gue duluan ya, Mas," pamit Aluna pada Denis, ia mengikuti langkah Zello menuju kasir, membayar belanjaan mereka dengan Aluna yang belum sempat memilih satu pun novel yang tadi ia lihat. Ia berjanji, nanti akan menyeret Davika ke toko buku, kebetulan stok novelnya sudah habis.

***

Aluna mendesah saat mengingat kemarin ketika ia pergi bersama Zello. Seperti De'javu, dulu ia sering menghabiskan waktu luang sepulang sekolah untuk pergi ke toko buku bersama Zello. Membeli beberapa novel lalu membacanya bergantian, Aluna bahkan masih menyimpan buku terakhir yang ia beli bersama Zello. Hujan Bulan Juni milik Sapardi. Sesekali Aluna bahkan masih membaca buku itu.

"Lo kemarin ketemu sama Mas Denis ya?"

Alya muncul dengan cengiran lebarnya, mereka sedang berada di dalam kelas, usai membahas mengenai pameran untuk tugas akhir yang akan diadakan oleh jurusan.

"Lo tahu darimana?"

Alya tersenyum jahil, "Mas Denis kan sepupu gue, ya tahulah. Orang kita serumah, dia kan tinggal bareng keluarga gue, lo lupa?"

Aluna berdecak, ia melupakan fakta itu. Dan, Alya yang memiliki tingkat kekepoan tinggi pasti mencari tahunya dari Denis.

"Ya udah sih cuma ketemu doang," kata Aluna, lantas gadis itu membuka tas selempangnya, mencari sebotol air minum yang ia bawa dari rumah.

"Eh?"

Dahi Aluna berkerut ketika ia melihat selembar kertas terselip di dalam tasnya. Merasa asing dengan kertas itu, Aluna lalu mengambilnya, membuka kertas yang dilipat rapi membentuk segitiga itu.

Hai, pemiliki senyum yang selalu menjadi candu untukku. Kutanyakan kabarmu lewat surat ini, berharap kamu tak menemui satu pun titik yang mereka namai sebagai luka.

Hanya dua kalimat, tak ada nama pengirim. Tulisan itu ditulis di atas kertas polos berwarna putih, dengan tulisan tegak bersambung yang rapi. Dan, Aluna tak pernah merasa mengenal tulisan itu.

"Al, ini apaan ya, Al?" Tanya Aluna pada Alya.

Gadis itu meraih kertas yang tadi dipegang oleh Aluna. Membacanya sejenak.

"Kalimat puitis, manisnya. Dari siapa emang?"

Aluna mengendikkan bahunya. Mana dia tahu?

"Tapi siapa yang ngasih ya, Al? Terus kapan ngasihnya? Kok dia tahu ini tas gue?"
"Yeuh mana gue tahu, mungkin pas tadi lo di toilet."
"Tapi tadi lo lihat ada yang deket-deket tas gue nggak?"

Alya menggeleng, "Kan gue tadi ke jurusan ambil LCD," katanya, Aluna mengetuk-etukkan jarinya di atas pahanya.

"Aneh."
"Lo punya penggemar rahasia kali," celutuk Alya, membuat Aluna semakin bingung.

***

Zello duduk di sebuah kafe di dekat SMP-nya dulu. Laki-laki itu sedang memeriksa beberapa naskah yang masuk ke redaksi. Kafe Celcius adalah kafe yang dulu menjadi tempatnya nongkrong Davika. Kafe itu bergaya unik, dengan beberapa hasil fotografi alam sang pemilik yang dipasang rapi di sana, suasana kafe yang cukup tenang memang cocok dijadikan tempat untuk menyelesaikan pekerjaannya.

"Zell..."
"Dav?"

Zello menghentikan fokus matanya pada layar laptop, ia melihat Davika yang sedang memegang semangkuk es krim pisang yang dijual di kafe itu.

"Boleh gabung?"

Zello mengangguk. Davika menggeser kursi yang ada di depan Zello, lalu duduk di atasnya.

"As always, black coffee?"
"Hmm banana ice cream?"
"Hahaha..." Davika tertawa.
"Kebiasaan manusia emang nggak berubah ya, Zell?"
"Ya, memang harus berubah seperti apa?"
"Well, kata orang, kopi hitam itu nikmat diminum kalau lagi galau atau patah hati, biar rasa pahitnya semakin menjadi."
"Nggak harus galau atau patah hati kalau gue mau minum kopi hitam," tukas Zello, ia men-sleep laptopnya.
"Gue nggak bilang lo lagi galau atau patah hati loh."

Mata Davika menyipit, ia menahan tawa. Sedangkan Zello hanya tersenyum kecil, melihat Davika yang masih sama seperti dulu. Gadis yang pernah membuat masa putih birunya penuh warna. Thanks, karena Davika, ia mengenal apa itu cinta di masa puber. Bisa dibilang Davika adalah cinta pertamanya, kalau ada yang bilang first love never die, mungkin saja benar. Hanya, mungkin rasa cinta itu sudah berbeda seiring dengan berlalunya waktu.

"Zell, gue boleh nanya sesuatu?"
"Hmm, kenapa?"
"Lo sama Aluna nggak bisa apa balikan aja? Atau kalau nggak temenen deh, gue bingung liat lo sama dia semenjak Aluna kuliah di kampus kita, lo jadi...beda. Padahal awal putus dulu, Aluna bilang kalian biasa aja."

Zello diam untuk beberapa saat. Memang, awalnya biasa saja, tapi setelah ia tahu alasan konyol Aluna putus dengannya, hati Zello jadi terusik. Kesimpulannya, dulu Aluna tidak memercayainya sebagai pacar. Dan Zello tidak suka akan fakta itu.

"Apa lo udah tahu alasan Aluna minta putus?" Tanya Davika lagi. Zello mengembuskan napasnya.

"Ya."
"Itu salah gue juga sih, kenapa waktu itu gue komen di instagram lo kalau gue kangen, dan lo juga balas miss you too. Siapa pun juga pasti bakal salah paham, Aluna nggak sepenuhnya salah. Ya kali ada mantan yang mesra-mesraan disaat udah punya pacar?"

Zello tertegun, hubungannya dengan Davika memang baik-baik saja, malah mereka berteman akrab. Karena saat SMA ia dan Davika beda sekolah, jadilah mereka tidak pernah bertemu, dan hanya saling sapa lewat sosial media. Ungkapan kalimat rindu itu mungkin murni sebagai teman, tidak ada maksud apa pun, tapi Aluna salah mengartikan.

"Ya, mungkin gue juga yang salah. Selama empat bulan kami pacaran, gue jarang ajak dia hang out, hanya sesekali ke toko buku lalu mampir ke KFC. Karena gue pikir, kami udah kelas dua belas, udah waktunya fokus sama ujian nasional."

Davika memakan es krimnya yang mulai meleleh, ia geleng-geleng kepala. Zello itu memang cowok kaku yang tidak romantis, tidak seperti papanya--menurut cerita ibu Zello, papanya dulu orang yang cukup romantis.

"Kalian bisa mulai lagi sebagai teman, dimulai dari teman dan berakhir sebagai teman."

"Teman?" Alis Zello terangkat.
"Yahh...it's better. Daripada kayak orang musuhan."
"Mungkin," kata Zello tidak yakin.

Oh naskah novel Aluna telah menyesatkannya, membuat Zello uring-uringan ketika membaca semua hal yang ditulis Aluna di sana. Karena yang Aluna tulis memang benar, Zello adalah cowok cuek yang tidak peka. Bahkan di akhir, Aluna menuliskan bahwa dia belum move on, dan itu membuat Zello serba salah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro