Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hug

Bahagiaku sederhana, cukup kita bersama dan saling mengobati luka.

"Ya."

Zello menjawab singkat, membuat mata Aluna semakin melebar.

"Gimana bisa? Bukannya itu bukan tulisan tanganmu?"

Zello terkekeh, ia memandang Aluna jenaka. Wajah gadis itu tampak kesal.

"Memalsukan tulisan tangan itu gampang, Lun. Tinggal belajar nulis tegak bersambung sama Dira, kamu udah nggak ngenalin tulisanku kan?"

"Kok gitu? Terus caranya naruh di tasku gimana?"

"Nitip temen sekelasmu."

Aluna berdecak, gadis itu tak habis pikir bagaimana Zello bisa seperti ini? Surat-surat yang ditulis di origami berbentuk segitiga itu ternyata dari Zello. Ia pandangi ombak yang menghantam sisi jembatan, udara pantai pada malam hari terasa dingin. Pantai di utara Jakarta ini menjadi saksi bersatunya mereka setelah berpisah sekian lama.

Tidak ada yang bersuara setelah itu, tampak dua manusia itu sibuk dengan pikirannya masing-masing. Zello mengamati rambut Aluna yang diterbangkan angin, ia raih tangan Aluna, menggenggam tangan itu untuk memberi kehangatan. Kebersamaan ini mungkin tidak bernama selamanya, ada saatnya semesta membuat perpisahan di antara mereka. Entah karena tidak berjodoh atau mungkin maut yang memisahkan, tidak ada yang tahu bagaimana masa depan. Namun satu hal, Zello tahu perasaannya pada Aluna sudah terlalu dalam, dan tidak mungkin begitu saja hilang, jika suatu nanti Tuhan tak membuat mereka bertemu di ujung yang sama.

"Kalau kamu nyakitin aku lagi, aku boleh pergi lagi kan, Zel?"

Suara itu keluar dari mulut Aluna. Zello yang masih memandangnya sempat terkejut, ia membuang napasnya, mengalihkan pandangannya dari Aluna dan mengeratkan genggaman tangan mereka.

"Kamu boleh pergi."

"Kalau gitu jangan biarin aku pergi."

"Never," kata Zello memandang penuh yakin langit di atas sana, meski ucapannya pada Aluna bukan sebuah janji, ia akan mencoba untuk menepatinya. Ia tidak ingin kehilangan lagi, karena kehilangan pernah membuatnya sakit sekian lama, kehilangan pernah membuatnya pura-pura bahagia meski yang ada dalam hidupnya saat itu hanyalah kehampaan.

"Manusia hanya bisa berencana, Zell. Mami bilang kalau papi akan selalu bareng aku dan mami, tapi papi dengan gampangnya ninggalin aku sama mami. Kalau suatu saat kamu ketemu sama orang yang lebih tepat dan ninggalin aku kayak papi, kamu bilang jauh-jauh hari ya, Zell. Jangan nunggu aku pas udah sayang banget sama kamu."

Laki-laki itu melepas genggaman tangannya pada Aluna, ia tatap wajah Aluna yang tampak menahan tangis. Mungkin teringat pada perceraian kedua orang tuanya. Zello merengkuh Aluna dalam pelukannya, memberi keyakinan pada gadis itu, kalau ia bukan papi Aluna yang akan dengan mudah meninggalkan Aluna begitu saja, ia adalah Zello dengan sebuah harapan untuk selalu bersamanya.

Langit malam dan rengkuhan Zello terasa nyata bagi Aluna. Ia membiarkan semuanya terjadi, semesta dan desiran ombak adalah saksi untuk sebuah komitmen yang baru ia buat atas dirinya sendiri. Bahwa, untuk sembuh dari luka, ia harus melangkah melawan belenggu yang dibuat oleh luka itu. Dan, ia percaya, di dunia ini luka tidak akan bertahan selamanya.

***

"Udah jadian lagi nih? Apa gue bilang?"

Davika mencibir sambil memakan setoples kripik singkong yang ia ambil dari dapur Aluna. Gadis itu sejak setengah jam lalu setelah mendengar cerita Aluna tidak berhenti juga menertawai Aluna. Membuat Aluna lama-lama kesal luar biasa.

"Lo udah ngabisin setoples kripik kentang gue ya, Dav. Dan sekarang lo mau ngabisin kripik singkong juga?"

"Elah, pelit amat. Itung-itung pajak jadian deh."

"Alay amat lo, pake pajak jadian segala."

"Iyalah, gue kan kid jaman now, haha..."

Aluna menghempaskan punggungnya di bahu sofa. Ia tak memedulikan Davika lagi, fokusnya berada di acara televisi yang menampilkan sebuah acara gosip—kesukaan Davika. Mereka sedang berada di ruang tengah rumah Aluna, lengkap dengan beberapa cemilan yang sudah disediakan asisten rumah tangga Aluna. Davika berencana menginap malam ini.

Mereka mulai sibuk dengan kegiatannya sendiri, Aluna yang menonton televisi sementara pikirannya berada pada isi pesan singkat Zello yang meminta dirinya menemani laki-laki itu ke tempat rehabilitasi untuk menjenguk sahabatnya, sayangnya ia ada acara untuk mengajar anak jalanan, jadi terpaksa Aluna membiarkan Zello pergi bersama dengan Liara tanpa dirinya. Ia percaya Zello, jadi tidak ada yang harus ditakutkannya. Davika sendiri sibuk makan keripik singkong rasa baladonya dengan semangat.

"Mbakkkkk....."

Suara teriakan seorang anak laki-laki membuat Aluna membuyarkan fokus pikirannya. Ia melihat Rama dan Anggara berjalan ke arahnya. Papinya itu membawa sebuah rantang makanan yang Aluna yakin dari mama Diah.

"Pi, Ram?"

Aluna beranjak untuk menyalami papinya dan menyapa Rama. Anggara tersenyum tipis padanya, mengusap punggung gadis itu pelan, Davika juga berdiri untuk menyalami Anggara—sekadar basa-basi, walau nyatanya Davika tidak menyukai papi Aluna yang ia nilai perwujudan dari laki-laki brengsek itu.

"Mamamu nanyain kamu terus, Rama juga. Kamu kapan nginep di rumah?"

Aluna tersenyum kikuk, "Kapan-kapan ya, Pi. Kemarin habis dari Surabaya, mami sakit."

Senyum di wajah Anggara menghilang, sejenak Aluna melihat wajah khawatir di mimik muka Anggara, namun pria itu buru-buru membuat mimik wajahnya kembali normal.

"Sakit apa?"

"Lambung. Udah sembuh kok, Pi. Om Fandi jagain mami di sana, ada Tante sama Rajendra juga."

"Oh, baguslah."

Aluna menelan ludahnya susah payah, ia tersenyum masam. Tadinya ia berharap papi lebih peduli pada maminya, setidaknya menanyakan kabar maminya lebih lanjut, namun sepertinya Aluna memang harus banyak-banyak sadar diri, kalau di antara ia, papi dan maminya sudah berbeda, kehidupan mereka yang dulu bersama sudah berai. Mami memiliki kehidupannya sendiri pun dengan papinya yang sudah bahagia dengan keluarga papinya.

Davika yang mengerti keadaan, mendekati gadis itu, mengelus punggung Aluna dari belakang. Ia ingin mengatakan pada Aluna, gadis itu tidak perlu kembali bersedih atas apa yang menimpa hidupnya. Tuhan, sudah menggariskan segalanya di tempat yang semestinya.

"Pas kamu libur, papi mau liburan sama mama kamu dan adik-adikmu, kamu ikut ya?"

"Iya, Mbak Aluna harus ikut. Mau ya?" Rama mengimbuhi.

"Aku pulang ke Surabaya, Pi. Udah janji sama mami, maaf ya, Pi," kata Aluna langsung. Ada gurat kecewa di wajah Anggara maupun Rama, tapi, Aluna tak ingin peduli, maminya lebih membutuhkan perhatiannya daripada sekadar jalan-jalan dengan keluarga papinya.

"Yahhh. Mbakkkk...."

"Lain kali ya, sayang?" tawar Aluna pada Rama, bocah kecil itu mengerucutkan bibir sambil mengangguk.

"Ya sudah, papi sama Rama pulang kalau begitu. Makananya jangan lupa dihabiskan, jaga kesehatanmu," ujar Anggara sebelum ia mengajak Rama pergi meninggalkan rumah itu.

"Ya, Pi. Tentu, hati-hati."

"Dadaaa Mbak."

Aluna melambaikan tangannya. Begitu dua orang itu menghilang, ia berbalik pada Davika, memeluk gadis itu dengan erat, ia tumpahkan segala sedihnya di pelukan Davika, kesedihan yang sudah ia tahan bertahun-tahun dan selalu terlunta saat melihat kedekatan papinya dengan Rama. Aluna butuh ketenangan.

"Sakit, Dav..."

"Ssstttt, lo nggak boleh lemah. Harus kuat."

Gadis itu mengangguk dalam pelukan Davika, seperti biasa, ia hanya akan menangis, lalu setelah reda hatinya kembali lega, dan ia bisa melupakan apa yang tadi ditangisinya.

***

Liara turun dari motor Zello setelah tiba di sebuah rumah sakit ketergantungan obat tempat Lio menjalani perawatan untuk menyembuhkan ketergantungannya. Zello bilang, Lio dipindahkan ke tempat ini dari panti rehabilitasi, setelah berbagai pertimbangan dan keinginan Lio sendiri yang ingin segera sembuh dari ketergantungan obat. Rumah skait tersebut memiliki halaman yang cukup luas, mungkin digunakan untuk kegiatan para korban NAPZA yang sedang menjalani perawatan di tempat ini.

Zello membawanya ke bagian informasi begitu mereka memasuki rumah sakit tersebut.

"Kamu jangan kecewa, ya," kata Zello saat ia melihat wajah sedih Liara.

Nasib belum berpihak baik pada mereka saat petugas bagian informasi memberitahu kalau Lio tidak boleh dijenguk sampai beberapa bulan ke depan. Karena, Lio sudah memasuki masa rehabilitasi dan harus fokus untuk sembuh.

Liara mengembuskan napasnya, ia mencoba tersenyum di depan Zello. Ia tidak boleh kelihatan lemah, Liara yakin Lio akan segera sembuh. Ia hanya harus lebih bersabar lagi.

"Mbak, aku nitip surat buat Kak Lio ya. Boleh kan?" kata Liara, semalam ia menulis surat untuk Lio, berjaga kalau saja tidak bisa bertemu Lio. Zello bilang, kemungkinan bisa bertemu Lio sedikit sulit.

"Oh, boleh. Akan kami sampaikan nanti."

"Terima kasih, ya Mbak," ucap Liara sambil menyodorkan surat itu pada petugas bagian informasi.

"Makan bakso ya?" tawar Zello. Ia mencoba menghibur Liara yang memang menyukai bakso.

"Traktir?"

"Iya."

"Asik! Ayo kalau gitu."

Zello menggeleng-gelengkan kepalanya, mengekori Liara dari belakang. Gadis itu tampak bersemangat untuk segera memakan baksonya.

***

"Sibuk terus dari tadi sama hp, mana senyum-senyum sendiri lagi. Nggak kesambet kan, Kak?"

Liara menyedok baksonya lagi sambil terkikik, Zello mengangkat kedua bahunya, meneruskan chatting dengan Aluna. Pacarnya itu sedang ada kegiatan mengajar anak jalanan.

"Kak Zello, astagaaaa....nggak gila kan?"

"Nggak."

Zello berkata tanpa menoleh pada Liara, membuat Liara sedikit kesal, tapi kemudian ia tak lagi memikirkan sikap Zello begitu bakso di mangkuknya berpindah ke mulut.

Aluna AD: Iya, ada Mas Aldo. Kenapa?

Arzello: Mas? Sejak kapan?

Aluna AD: belum lama, ikutan anak-anak. Dia kan orang Jawa jadi dipanggil Mas.

Arzello: Aku juga orang Jawa, nggak mau manggil mas?

Aluna AD: Ntar ya, kalau udah halal haha...

Arzello: mau banget dihalalin? Perlu ke papimu sekarang?

Aluna AD: astaga udah deh. Katanya lagi makan bakso sama Lia, udah sana.

Arzello: baksonya enak, kapan-kapan ke sini ya. Jangan lupa belajar. Minggu depan udah UAS kan.

Zello meletakkan ponselnya di atas meja, setelah taka da tanda-tanda Aluna akan menjawab, ia kembali menikmati baksonya yang sudah bercampur dengan sambal empat sendok. Laki-laki itu menyukai makanan pedas, meski jarang memakannya karena mamanya yang tidak suka pedas jarang membuat masakan pedas di rumah.

"Kak, sayang banget ya sama Kak Aluna?" Liara bertanya, menghentikan kegiatan makan Zello.

"Kenapa memang?"

"Bahagia banget habis balikan haha."

"Dapetinnya susah, ya harus bahagia."

"Cinta itu kayak gimana sih, Kak?"

"Nggak bisa didefinisikan."

"Katanya nggak harus memiliki. Emang gitu ya, Kak?"

Zello mengerutkan dahinya, "kata siapa?"

"Caption di Instagram."

Tawa Zello pecah, ia mengacak rambut gadis di depannya itu. bisa-bisanya anak itu bertanya setelah melihat caption di instagram.

"Sudah makan sana. Habis itu pulang."

Liara mengangguk sambil kembali menikmati baksonya, ia menelan gumpalan daging itu dengan susah payah, ia masih memikirkan caption di Instagram yang dilihatkan kemarin, lalu meraba hatinya sendiri.

"Fokus sekolah dulu ya, Lia. Jangan mikirin cowok."

"Tapi nyatanya aku lagi mikirin cowok, Kak. Lagi suka sama seseorang gitu. Gimana dong?"

"Siapa?"

"Rahasiaaa wleeee."

Zello geleng-geleng kepala, ia meminum jus jeruknya sambil sesekali melihat ponsel miliknya, mungkin Aluna sedang sibuk karena belum juga membalas pesannya lagi.

jangan ngaku kangen Zello kalau engga komen :v. Anyway karena ini yang dibahas cukup banyak, nggak cuma cinta dan kuliahan, alurnya agak panjangan dikit gpp ya? maybe sampe part 30-an  sampai 40 lah. 

IG SQUAD:

arzello.prakarsa

aluna_dewi

seriescampus.ofc

aristavee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro