Home is in Your Eyes
Kenangan tentangmu tidak bisa hilang, ia melekat mengiringi cerita baru, menghantuiku.
***
Suasana di dalam kelas terasa ramai. Salah satu ruang kelas di tempat itu digunakan untuk pentas seni anak-anak SD-SMP tempat pengabdian masyarakat yang diselenggarakan oleh BEM F.
Aluna duduk di deretan paling depan, menyaksikan penampilan anak-anak SD kelas 5 yang sedang menyanyikan lagu Tanah Airku. Anak-anak itu tampak bahagia, wajah mereka masih polos, minimnya teknologi yang menyentuh tempat ini membuat kepolosan anak-anak di sini masih terjaga. Mereka jarang yang mengenal sosial media, yang mau-tak-mau harus diakui Aluna banyak memberikan dampak negatif terhadap anak.
Begini lebih baik, walau sedikit tertinggal, namun anak-anak ini tampak memiliki psikis dan emosi yang baik.
"Adek adek, kakak-kakak ada yang mau tampil loh," ucap Alya, selaku pembawa acara. Anak-anak di sana bersorai kegirangan.
"Ada yang mau?"
"Mauuuuu..." Jawab mereka serempak.
"Oke kita panggil kakak-kakak kece yang mau tampil, ayo naik ke atas panggung."
Teman-teman panitia juga bersorai, ada yang bersiul menyambut Zello, Aldo, Ahmed dan Lio--mereka lebih suka memanggilnya Io, naik ke atas panggung. Anak-anak yang di sana tak kalah heboh, sementara Aluna hanya duduk diam di samping Nimas.
"Selamat malam, kami akan membawakan dua lagu, adek-adek boleh ikutan nyanyi, tapi temen panitia jangan ya, nanti kupingnya adek-adek rusak semua," kata Ahmed, ia memegang sebuah gitar yang memang dibawa dari rumah. Ucapannya itu mendapat sorakan dari teman-temannya.
Zello ada di posisi vokalis--meski sejatinya ia bisa menguasai semua alat musik yang umum dimainkan--bakat dari sang mama. Aldo memegang gitar, sama dengan Ahmed sementara Io memegang kajon.
Lagu pertama yang dinyanyikan Zello adalah Balonku Ada Lima, membuat anak-anak berlonjak kegirangan, mereka bernyanyi bersama hingga Zello harus mengulangi lagi sebanyak tiga kali. Berbaur dengan anak-anak memang seru.
"Lagu kedua buat kakak-kakak panitia yang gagal move on," kata Zello sambil tersenyum. Membuat beberapa panitia menjerit heboh, Aluna hanya memutar bola matanya, lebay.
"Ucetla Mas Zello kegantengan yang haqiqi," kata Nimas sambil terkikik.
"Ewh, awas gebetannya denger ntar cemburu."
Nimas memiringkan kepalanya ke arah Aluna, "Gebetannya apa lo?"
"Hihhh ngarang aja lo," elak Aluna, wajahnya sedikit tegang membuat Nimas tertawa.
"Ya elah, becanda doang."
Aldo dan Ahmed memetik gitarnya, sebuah intro dari lagu milik Greyson Chance terdengar. Home is in your eyes.
Aluna tertegun di tempatnya, ia memandang Zello yang masih bernyanyi, sesekali mata laki-laki itu terpejam untuk menikmati lagu. Tampak begitu menghayati, membuat teman-teman panitia mendengarkannya dengan saksama.
"If i could write another ending, this wouldn't even be our song, i'd find a way where we would never ever be apart. Right from the start."
Aluna merasa tubuhnya panas dingin, apa lagi saat Zello menatapnya. Nyawanya seperti tak berada pada tempatnya. Kilasan memori tentang mereka datang lagi, dari SMA, Zello memang terkenal dengan suaranya yang bagus, ia memiliki band saat SMA dulu. Dan, Zello pernah beberapa kali menyanyikan lagu untuknya. Mengingat itu membuat sesak di dada Aluna.
"Wah wah Mas Zello nyanyi menghayati banget, lagunya buat siapa sih?" Ujar Alya begitu Zello selesai dengan lagunya. Zello tersenyum kecil, ia tak memberi jawaban.
"Bagus nggak adek-adek?"
"Bagusssss..."
"Ngomong-ngomong empat kakak ini masih jomblo loh, buat temen-temen panitia yang mau daftar jadi pacar, boleh kan Kak?"
"Boleh dongggg, haha," sahut Ahmed, membuat ia mendapat sorakan lagi.
Memilih pergi, Aluna keluar dari dalam kelas. Ia memutuskan untuk membantu panitia lain yang sibuk memberesi piring bekas suguhan. Dari pada di dalam bertatap muka lagi dengan Zello. Harus Aluna akui, kalau sejatinya ia belum bisa melupakan Zello. Laki-laki itu tetap jadi yang pertama di hatinya, sejak dulu, sejak pertama kali bertemu saat MOS SMA. Zello adalah ketua kelompoknya saat itu, mantan Ketua OSIS SMA dengan banyak prestasi yang tidak perlu diragukan. Dan, yang paling membuat Aluna kagum, Zello sangat menghargai perempuan, ia tidak bergonta-ganti pacar seperti teman-temannya. Only her, satu-satunya pacar Zello semasa SMA. Aluna membuang napasnya, mengenyahkan bayangan itu.
***
Rasa lelah mendera. Aluna merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia tidak tidur sejak semalam, tepatnya malam terakhirnya di desa itu. Setelah kembali ke rumah, baru rasa kantuk menguasainya. Namun, baru akan memejamkan matanya, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Ada papi dan Rama--adiknya sedang berada di sana.
"Kata Kang Abay kamu dari luar kota, kenapa nggak ngasih tahu papi?" Ucap Anggara, Aluna sontak terduduk.
Rama adiknya langsung masuk ke dalam kamarnya, naik ke atas kasur Aluna dan menatap Aluna dengan senang.
"Mbak Aluna jarang main? Rama kangen loh, nginep rumah yuk Mbak. Rama bosen sama Mbak Jani, Rama diresein terus," cerocos adiknya, Aluna hanya tersenyum tipis.
"Kapan-kapan ya sayang."
Aluna tidak membenci Rama, Papa Anggara, Mama Diah ataupun Jani. Meski, berat diakui, Mama Diahlah yang mungkin membuat maminya bercerai dari sang papi. Tapi, dalam hidup Aluna tak ada dendam, mungkin yang tersisa tinggal trauma. Aluna tahu mami masih mencintai papinya, sewaktu di Surabaya, kadang Aluna diam-diam melihat maminya menangis sambil memandang cincin pernikahannya. Ya, tidak ada satu pun perempuan di dunia ini yang bersyukur atas kegagalan pernikahannya, termasuk sang mami. Meski begitu, Aluna selalu belajar untuk menerima semuanya.
"Minggu depan Rama ulang tahun, ada pesta di rumah. Kamu datang ya, Lun."
"Iya Mbak, terus ya Rama mau dibawain hadiah yang banyak dari Mbak Luna. Nanti Rama pakai kostum Superman loh. Iya kan, Pa?"
Anggara mengangguk, membuat Luna tersekat. Pesta ulang tahun? Kapan terakhir kali ia merayakannya? Aluna lupa, bahkan kapan terakhir kali Aluna mendapat ucapan selamat ulang tahun dari papinya pun ia lupa. Matanya terasa panas, mati-matian Aluna menahannya. Rasanya, ada di posisi ini Aluna ingin berada dalam dekapan maminya. Mendadak, ia rindu maminya.
"Lun..." Panggil Anggara.
"Eh, iya, Pi. Aku bakal dateng. Kamu mau kado apa sayang?"
"Rama mau mobil-mobilan Kak."
"Oke, nanti Mbak Aluna beliin."
Rama berteriak heboh, ia memeluk Aluna. Adiknya yang minggu depan berusia sepuluh tahun--Aluna menganggapnya sudah berusia sepuluh tahun--itu memang dekat dengannya.
"Sepertinya kamu lelah, Lun. Papi pamit kalau gitu, oh ya, tadi mamamu bawain sup buntut sama perkedel kesukaanmu, ada di dapur."
"Hmmm...makasih, Pi."
Sepeninggal Rama dan Anggara. Aluna menenggelamkan wajahnya di bawah bantal. Ia menangis.
***
"Bang dicariin papa," ucap Arsyad, adik Zello itu memunculkan dirinya dari balik pintu kamar Zello, dengan sebuah bola basket di tangannya.
"Papa di mana?"
"Ruang kerja."
"Hmmm..."
"Bang..."
"Apa?"
Arsyad nyengir. Ia memantul-mantulkan bola basketnya di atas lantai.
"Lo kan nggak mau pake mobil. Gue pinjem ya."
"Mau kemana?" Zello memicingkan matanya.
"Kencan, Bang."
Zello membuang napasnya. Arsyad berbeda dengan dirinya, adiknya itu playboy, suka membuat onar di sekolah. Mamanya bilang, mirip dengan mamanya dulu. Mama Keya punya beberapa mantan pacar, begitu pun Arsyad. Kadang, fakta itu membuat Zello kesal dengan Arsyad.
"Kalau buat kencan, nggak bakal gue kasih pinjem."
"Yah Banggg...tega banget."
Zello mengendikkan kedua bahunya, ia melewati Arsyad begitu saja. Menuju ruang kerja papanya yang berada di bawah. Papanya tampak serius dengan kaca mata bacanya, beliau sedang berkutat dengan buku tebal milik salah satu sastrawan ternama Indonesia. Di atas meja kerja papanya, ada foto keluarga saat mereka liburan ke Bromo dua tahun lalu.
"Pa..."
Jiver mendongak, ia memberi isyarat Zello untuk duduk.
"Kamu suka dengan pekerjaanmu?" Tanya Jiver dengan wajah serius, papanya memang tidak begitu suka basa-basi.
"Suka, Pa."
"Papa khawatir akan mengganggu kuliahmu."
"Aku bisa bagi waktu, Pa. Aku mau kayak papa yang mandiri pas kuliah dulu."
"Beda situasi, Zell. Papa dulu punya tanggung jawab. Mamamu."
"Aku juga punya tanggung jawab sama masa depanku, Pa."
Jiver menyipitkan matanya, membuat Zello sedikit gugup. "Apa yang kamu bicarakan?"
"Benar kan? Aku punya tanggung jawab. Masa depanku nanti."
"Masa depan? Memang siapa yang kamu maksud?"
"Ya siapa lagi kalau bukan mantannya itu, Pa?" Sahut sang mama dengan cengiran lebar. Keya datang bersama sepiring cookies di tangannya.
"Oh, ya?"
"Anakmu diem aja berarti iya."
"Maaa..."
"Udahlah kejar aja, nanti nyesel," kata mamanya sambil terkikik.
"Kamu jadi ikut pemira tahun depan, Zell?"
"Jadi Pa."
"Apa kamu sudah tahu risikonya?"
"Hmmm...mungkin kuliahku akan molor, mungkin juga nggak. Aku bisa mengatasinya, Pa."
Mamanya bertepuk tangan, memandang anak dan suaminya dengan berbinar. "Tuh kan Zello jadi hits kayak kamu, Mas."
Jiver terkekeh, ia mengecup punggung tangan sang istri yang sedang berdiri di sampingnya. Membuat Zello tahu ia harus segera pergi sebelum terjebak dengan kemesraan orang tuanya. Well, hidup keluarganya memang dipenuhi cinta.
***
Aluna,
Jangan berduka sendirian, tanganku siap mengusap air matamu. Bahuku siap menampung keluh kesahmu.
Aluna melipat kertas origami berbentuk segitiga yang terselip di motornya. Ia yakin, si pengirimnya adalah orang yang sama. Aluna mendapat surat ini setelah beberapa hari ini tampak murung, mungkin si pengirim adalah secret admirer yang menguntitnya kemana-mana. Aluna bergidik ngeri. Sialan, dia jadi takut sekarang.
Mengeyahkan kecamuk di pikirannya, Aluna segera menuju Gedung Ormawa. Hari ini jadwalnya piket Gedung Ormawa--ah bukan, tapi ruangan departemen lebih tepatnya.
"Zell..." Kata Aluna, ia menemui Zello sedang tertidur di Ormawa, laki-laki itu menelungkupkan kepalanya di atas meja. Panggilan Aluna bahkan tak mendapat sahutan. Aluna tidak mau mengganggu tidur Zello, ia mulai membersihkan ruangan itu pelan-pelan, menyapunya saja, karena bagian lain biar menjadi urusan temannya.
Gadis itu tampak memerhatikan papan nama Departemen Infokom dengan nama Arzello Wisnu Prakarsa sebagai ketuanya. Wisnu? Nama itu tidak asing, tentu saja editornya juga miliki nama itu. Aluna terkikik, kebetulan sekali, tapi ia sadar mama Wisnu itu banyak.
Mata Aluna lalu melihat pergerakan tubuh Zello, laki-laki itu terbangun dari tidurnya.
"Lun?" Kata Zello sambil mengusap wajahnya.
Gilak, bangun tidur aja ganteng. Dulu Tante Keya ngidam apaan sih?
Aluna membatin.
Zello melihat jam di pergelangan tangannya, jam satu siang. Laki-laki itu meregangkan otot-otot di tubuhnya.
"Sudah salat, Lun?"
Aluna menggeleng, ia meringis, ia memang belum salat.
"Salat dulu, Lun," kata Zello, Aluna tertegun. Sudah lama Zello tidak mengingatkan dirinya tentang salat, sejak mereka putus.
"Eh, i-iya."
Aluna pun mengekori Zello menuju musala di samping Gedung Ormawa.
***tbc
Here i am. Maafkan lama, ada maba ye kan, banyak kegiatan huhu. Nggak ikut ngospekin padahal -_- kedepannya agak slow up ya, ada beberapa agenda di kampus dan problem gitu. I need time to fix it. Hope u enjoy with this story.
Voments ya
Ig squad: aristavee, arzello.prakarsa, aluna_dewi.
Regards,
Arista vee.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro