Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dating?

Kamu adalah angin masa lalu yang kembali muncul dengan sejuta rindu baru.

***

Aluna tidak tahu apa yang sedang menjadi buah dalam kepalanya. Tapi, menjadi makmum Zello saat salat dzuhur tadi membuat sesuatu dalam hatinya merasa benar. Ini bukan pertama kalinya mereka salat bersama, sewaktu masih pacaran beberapa kali Zello mengajaknya salat bersama di musala sekolah, laki-laki itu yang menjadi imam, ia dan teman-teman semasa SMA-nya menjadi makmum. Dan tadi pun, ada beberapa mahasiswa yang menjadi makmum Zello.

Sambil melipat mukena, Aluna merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Lalu, ia beranjak meletakkan mukena itu di tempat semula. Matanya jatuh pada Zello yang tampak segar setelah salat, Zello menyisir rambut cepaknya dengan jari, membuat gerakan ke belakang. Aluna sampai harus tertegun untuk sekian detik. Kadar kegantengan cowok setelah salat itu bertambah berkali-kali lipat. Well, Aluna mengakuinya. Cowok itu lebih keliatan auranya setelah salat.

"Kamu ada kelas, Lun?"
"Eng, iya," jawab Aluna sambil memasang kembali sepatu converse classic miliknya.
"Minggu depan mama ada acara, kamu sama Davika diminta buat datang. Katanya mama mau dibuatkan kue sama kamu."

Aluna terkesiap, ia melihat ke arah Zello dengan mata membulat.

"Eng, minggu--"
"Ulang tahun pernikahan mama sama papaku, Lun."

Aluna menelan kembali ucapan penolakan yang hendak ia lontarkan.

"Iya deh. Nanti aku kasih tahu Davika."

Zello tersenyum tipis, Aluna merasa udara di paru-parunya terenggut begitu saja. Seutas senyum Zello membuatnya benar-benar tidak bisa move on. Sial.

"Lun..."
"Ya?" Aluna refleks menoleh. Matanya memandang Zello dengan dahi mengerut.
"Nanti malam, ada acara?"
"Hah? Nggak, kenapa?"

Ditatap intens oleh Zello membuat Aluna gugup. Badannya sudah panas dingin. Ia merasa udara di sekitarnya tambah pengap, oh kemana perginya oksigen?

"Aku jemput ya."
"Hah, memang mau kemana?"

Zello mengendikkan bahu, ia tersenyum misterius. Lalu meninggalkan Aluna yang masih bertahan di muka musala. Kembali menuju ormawa, dengan Shilla yang sudah bertengger di kursi kerja Departemen Infokom.

"Kenapa, Shil?"
"Oh itu, gue mau ngajakin lo jalan ntar malem. Beli buku."
"Gu udah punya janji, Shill."

Shilla mencembikkan bibirnya, wajahnya tampak memelas saat memandang Zello. Gadis itu mendekati Zello, berdiri di depan Zello dengan tangan bersedekap.

"Sejak gue bilang suka sama lo, lo jadi tambah ngejauh ya, Zell. Kenapa?"

Zello membuang napasnya. Ia harus tegas pada Shilla, Zello hanya menganggap Shilla sebagai temannya. Dan, kebaikannya selama ini murni karena ingin membantu Shilla yang seorang anak rantau. Zello tahu, sebagai anak rantau--apa lagi Shilla tidak diizinkan membawa motor oleh pamannya, pasti akan menemui banyak kesusahan saat ada acara kampus atau saat mengerjakan tugas. Dan, selama ini Zello memang setia menjadi tukang ojeg Shilla.

"Gue nggak mau ngasih harapan ke lo, Shill."
"Kenapa? Gue segitu nggak pantesnya ya buat lo?"

Zello menggeleng, ia memegang kedua bahu Shilla. Mata tajamnya menatap Shilla yang tampak menunduk, menekuri lantai berkarpet hijau.

"Karena gue suka sama orang lain dan nggak mungkin gue suka sama lo. Gue nggak mau ngasih harapan ke lo, Shill. Lo paham kan? Gue nggak mau jadi cowok brengsek."

Shilla mendongak, matanya berair melihat Zello di depannya. Shilla merasa harga dirinya terkoyak, ia mencintai Zello, kenapa laki-laki ini tidak bisa mencintainya balik?

"Apa suatu saat lo bener-bener nggak bisa balik suka ke gue, Zell?"

Zello mengangkat bahunya. Bisa saja perasaan manusia itu berubah, Zello tidak ingin mendahului takdir. Ia hanya ingin menjalani takdir sebagaimana mestinya. Tidak mengalir seperti air--karena kesannya itu terlalu pasrah, namun tidak pula melawan arus air.

"Nggak ada satu pun yang tahu perasaan gue bakal gimana ke depannya, Shill."

Shilla mengangguk lemah, ia memejamkan matanya sejenak, membuat satu butir air matanya jatuh. Zello mengusap air mata gadis itu dengan tangan telanjang.

"Gue cuma pengin ngerasaan kasih sayang, Zell. Nggak lebih, dan gue bakal nunggu lo buat itu," kata Shilla, ia lalu memilih pergi dari hadapan Zello. Menyisakan Zello yang bingung bagaimana menyikapi Shilla. Zello tidak ingin menyakiti hati Shilla, namun ia sadar penolakannya pada Shilla sudah membuat Shilla sakit hati. Shilla adalah seorang anak yatim piatu, ia dikuliahkan oleh pamannya selaku wali, kedua orang tua Shilla sudah meninggal saat gempa Yogya beberapa tahun lalu. Sejak hari itu, hidup Shilla berubah.

***

Arzello: kamu sudah siap, kan? Aku di depan.

Aluna melompat dari kasurnya, matanya mengerjap beberapa kali. Ia tidak mengira Zello akan bersungguh-sungguh terhadap ucapannya. Aluna gelagapan, ia segera membuka lemarinya, mencari apa pun baju yang bisa ia kenakan dan pantas untuk ia kenakan di depan Zello. Tidak mungkin ia pergi dengan piama lusuh bergambar cartoon Crayon Sinchan pemberian maminya tiga tahun lalu kan?

"Zello ih nyebelin, kirain becanda doang."

Aluna menggerutu sambil memoleskan lipstick mate sewarna bibirnya. Ia menambahkan maskara ke bulu matanya yang tidak begitu lentik dan sedikit menaburkan bedak di wajahnya, lalu mengambil sling bag dan segera turun untuk menemui Zello. Yang penting ia memakai pewarna bibir, itu penting agar bibirnya tidak tampak pucat, Aluna sudah dewasa, tidak masalah kalau ia memakai pewarna bibir.

Mantan pacarnya itu sudah bertengger di atas motor matic kesayangannya. Helm berwarna putih melekat di kepala Zello, laki-laki itu juga mengenakan jaket kulit berwarna cokelat.

"Maaf lama, kirain tadi becanda," kata Aluna, Zello tersenyum membalasnya.
"Ayo."
"Memang mau kemana?"
"Nanti juga tahu."

Gadis itu naik ke atas motor Zello, sedikit memberi jarak pada Zello. Namun, mantan pacarnya itu malah menarik kedua tangan Aluna hingga melingkar di tubuhnya. Sialan, itu membuat Aluna terkena serangan jantung.

Zello melajukan motornya menuju daerah tempat ruko-ruko yang menjual makanan berjejer di pinggir jalan. Aroma masakan langsung menguar di hidung Aluna, membuatnya lapar, karena memang ia belum makan sejak siang tadi. Zello menghentikan motornya tepat di depan Sate Cak Mu'in berada. Warung sate ini, Aluna hafal benar...tempat kencan terakhirnya saat menjadi gebetan Zello, karena susudahnya, Zello menyatakan perasaannya saat mengantar Aluna pulang--tepat di depan rumah Aluna, sejak saat itu Aluna resmi menjadi pacar Zello. Saat itu tanpa berpikir panjang Aluna langsung menerimanya, walau hari-hari setelahnya Aluna memang merasa gelisah saat menjalin hubungan dengan Zello. Ia hanya merasa tidak nyaman dengan status pacaran, bayangan Zello berkhianat selalu hadir di kepalanya, diperkuat dengan pernyataan Zello yang membalas komentar rindu Davika waktu itu. Kepercayaannya terhadap sebuah komitmen sangat minim.

"Cak satenya dua porsi, minumnya es jeruk saja," kata Zello pada Cak Mu'in.
"Beres Mas. Lama sekali ndak kesini, kemana saja, Mas?" Tanya Cak Mu'in dengan logat Madura yang kental. Zello memang mengenal baik pria asli Pamekasan itu.

"Sibuk, Cak. Saya cari bangku dulu ya, Cak."
"Siap, Mas."

Zello lalu menggandeng tangan Aluna menuju sebuah meja yang ada di depan ruko, meja yang sedikit jauh dari pengunjung lainnya. Tidak terlalu ramai, namun cukup nyaman.

"Kamu baik-baik saja kan?"
"Hah? Memang aku kenapa?"
"Muka kamu pucat. Belum makan?"

Aluna meringis, Zello seperti sudah hafal kebiasaannya yang suka lupa makan. Bukan lupa, lebih tepatnya Aluna malas untuk makan sendirian. Kalau di rumah ia selalu makan sendiri, tidak ada papi dan mami yang menemani. Aluna rindu suasana makan malam hangat seperti saat ia masih kecil. Ngomong-ngomong tentang papi, tiba-tiba ia ingat, lima hari lagi Rama ulang tahun, dan Aluna belum membelikan hadiah untuk Rama.

"Belum," jawab Aluna, Zello membuang napasnya.
"Jangan lupa makan, Lun. Jangan sakit, jangan bikin orang khawatir. Jaga diri kamu."
"Khawatir?" Dahi Aluna mengerut lagi. "Siapa?" Tanyanya, Papi? Aluna sangsi papi akan khawatir padanya, sedangkan maminya? Maminya sedang ada di Surabaya, mana tahu semisal ia sakit.
"Aku," balas Zello membuat pipi Aluna merah seketika. Tapi, ia menggeleng, Aluna tidak boleh baper lagi dengan Zello. Zello itu masa lalunya, tidak lebih. Dan, Aluna juga tidak ingin pacaran dulu, itu menyiksanya, membuatnya gelisah dan tidak nyaman.

"Ini mas satenya," kata seorang pelayan Cak Mu'in sambil meletakkan dua porsi sate dan es jeruk di atas meja.
"Terima kasih," balas Zello.

Pandangan laki-laki itu kembali fokus pada Aluna yang tampak menunduk, menekuri piringnya yang berisi sate dengan bumbu kacang khas Madura yang tampak menggoda.

"Dimakan Lun, jangan dilihatin terus."
"Eh? Iya."

Aluna mulai memakan satenya dengan lahap, ia tidak peduli dengan pandangan Zello, toh laki-laki itu sudah sering melihat cara makannya yang tidak jaim, Aluna akan memakan jenis makanan apa pun yang disuguhkan, kecuali Sayur Klentang dan Belut--Aluna sangar anti dengan dua makanan itu.

"Gimana Lun, masih enak kan?"
"Hmm, nggak berubah. Masih enak kok."
"Kapan-kapan kita ke sini lagi," ujar Zello, Aluna hampir tersedak makanan.
"Emh, ya."

Dalam kepalanya sibuk berpikir, memang ada lain waktu?

"Aku bisa minta tolong nggak?"
"Apa?"
"Anterin beli robot-robotan buat Rama. Lima hari lagi dia ulang tahun," kata Aluna sambil mengigit satu tusuk sate.
"Boleh. Tapi, habiskan dulu makananmu."

Aluna hanya bergumam menanggapi ucapan Zello. Ia menyantap lagi satenya yang masih tersisa.

***

"Dia suka robot yang seperti apa?"

Zello bertanya saat mereka berada di sebuah toko mainan besar di pusat kota.

"Nggak tahu."

Aluna mengendikkan bahunya, ia memang tidak begitu mengenal Rama. Hubungan mereka tidak sedekat itu.

"Berapa umur Rama sekarang?"
"Sepuluh."
"Satu set robot power rangers?"

Aluna sedikit berpikir, lalu menganggukkan kepalanya. Lagi pula ia tidak begitu tahu tentang robot.

"Biar aku yang bayar," ucap Zello mencegah Aluna saat akan membayar robot yang tadi dipilihkan oleh Zello.

"Nggak, Zel. Biar aku aja."
"Lunn..."
"Zelll...ini kan hadiah buat adikku!"

Aluna bersikeras begitu pula Zello.
Mereka terlibat perdebatan alot di depan kasir.
"Nanti juga dia jadi adikku!"
"Apa?" Wajah Aluna merah padam, kasir perempuan yang melihat perdebatan mereka malah tekikik geli. Dasar anak muda.

"Nggak usah ngawur deh, minggir biar aku yang bayar!"
"Aluna Anindya Dewi, aku nggak mungkin membiarkanmu bayar sendiri. Sudahlah, masukkan dompetmu!"

Aluna membuang napasnya kasar, mereka sudah menjadi tontonan. Karena tak ingin memperpanjang perdebatannya dengan Zello, Aluna pun membiarkan laki-laki itu membayar robot untuk Rama.

"Ayo pulang!" Kata Zello, gadis itu hanya menunduk, mengikuti Zello menuju tempat parkir dengan peradaan yang tiba-tiba tidak enak. Kenapa?

Tbc

Aku tahu ini lama banget :( dan dikit banyak typos, maafkeun, tapi kehidupan nyataku lagi sibuk banget. Anyway GA akan diumukan tgl 19 di insta story igku ya, besok hari terakhir, hadiah keduanya adalah hadiah hiburan berupa review cerita, dan follow darikuh di wp *sok ngartis*, pemenang utama dapat novel Love is Possible. ;) ongkir gratis plus ttd dan gambar Bunga Petunia Hitam.

Salam,
Arista vee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro