Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Crazy

Nggak semua rasa harus bersama untuk bahagia. Perpisahan, nggak selalu dinamai kesedihan.

***

Aluna berpamitan ke kantin beberapa waktu lalu. Hanya tersisa Shilla dan Zello yang dibalut keheningan. Shilla tak banyak bicara seperti biasanya, gadis itu hanya memerhatikan Zello sesekali, membuat Zello merasa tidak nyaman. Diakui Zello, ia sempat kagum dengan perubahan Shilla yang tiba-tiba, Shilla terlihat berbeda dan cantik tentu saja. Hijab di kepalanya membuat wajah Shilla tampak segar.

"Lo kenapa tiba-tiba pake jilbab?"

Zello mengeluarkan suaranya setelah diam untuk beberapa lama. Laki-laki itu menatap Shilla sekilas.

"Ya, karena mau jadi yang lebih baik lagi."
"Klise, Shill. Pasti ada alasan kuat di balik itu."

Shilla tersenyum tipis, matanya terpaku pada Zello yang lebih banyak diam sepeninggal Aluna.

"Lo suka nggak kalau gue pake jilbab?" Shilla bertanya.

Zello membuang napasnya, mengalihkan tatapannya pada acara televisi yang sedang menampilkan tayangan musik dari chat billboard.

"Kalau hijrah lo bukan karena Tuhan, tapi karena manusia, gue nggak suka Shill. Jangan jadiin gue sebagai alasan buat lo hijrah, tapi Tuhan dan diri lo sendiri," kata Zello telak. Shilla memandangnya dengan gelisah.

"Gue--gu--"
"Gue udah bilang, jangan berharap sama gue, Shill. Gue suka sama orang lain."
"Siapa?" Napas Shilla tersekat. "Cewek tadi?" Tebaknya.

Zello tak memberi jawaban, karena ia merasa itu privasinya. Shilla tak berhak tahu ketika orang yang bersangkutan pun bahkan masih meragukan perasaannya. Lantas, mengapa orang lain harus diberi tahu?

"Jangan lepas hijab lo, sekali pun tujuan awal lo pakai itu salah. Pertahanin, Shill."
"Kata Indah, cowok kayak lo biasanya suka cewek baik-baik, maka dari itu gue pakai hijab. Gue tahu tujuan awal gue salah, tapi apa salahnya gue berharap. Keinginan gue nggak bakal terwujud kalau gue nggak ngelakuin apa-apa, dan ini salah satu tujuan gue buat memperjuangkan lo, Zell."

"Sori, Shill."

Shilla mengerjap-erjapkan matanya, ia hanya menunduk. Sepertinya usahanya memang sia-sia, Zello bukan tipe laki-laki yang menuntut pasangan sempurna.

"Gue nggak masalah kalau orang yang gue suka nggak pakai hijab, karena mungkin dia belum berproses ke arah sana, Shill. Manusia berubah itu butuh waktu, gue nggak mau maksain orang yang gue suka pake hijab, gue yang bakal nuntun dia nanti, buat jadi baik, sama-sama belajar dengan gue."

Shilla mengangguk gamang, kepalanya dipenuhi oleh kalimat penolakan Zello. Sampai di sini, dia paham laki-laki itu mungkin telah memiliki keyakinan besar pada gadis yang disukainya. Dan, Shilla harus menerima kenyataan jika itu bukan dirinya. Kenyataan memang lebih sering menyakitkan bukan? Namun, Shilla sudah cukup senang, untuk pertama kalinya mereka berbicara panjang lebar di luar urusan kuliah dan organisasi.

"Emh, maaf ganggu. Aku cuma mau pamit."

Suara seseorang memecah keheningan di antara Zello dan Shilla.

"Ini sudah malem, kamu pulang sama siapa?" Tanya Zello pada Aluna, gadis itu menggaruk belakang kepalanya. Tadi dia menebeng pada Nimas, tak membawa kendaraan.
"Taksi online deh, gampanglah."
"Nggak, kamu masuk dulu. Arsyad sama mama bentar lagi datang, biar kamu diantar dia."
"No no. Nggak perlu, bisa pulang sendiri."
"Nggak, Lun. Kamu di sini sampai malam karena permintaan mama, biar Arsyad yang mengantarmu."
"Dia bisa pulang bareng gue, Zell. Gue udah dijemput sama Indah."

Zello memandang ke arah Shilla, gadis itu tampak bersungguh-sungguh. Tapi, Zello tahu Aluna itu orang yang cukup susah akrab dengan orang baru, Zello tidak ingin Aluna merasa awkward nantinya.

"Biar dia diantar Arsyad."
"Emh oke, kalau gitu gue balik dulu. Anyway, thanks, karena hari ini lo ngomong panjang lebar sama gue."

Shilla tersenyum kecil, lalu pergi meninggalkan kamar inap Zello. Menyisakan Aluna yang merasa kaku dengan keadaan mereka.

"Kamu mau sampai kapan di depan pintu? Udara malam nggak baik buat orang sakit," ucap Zello, seakan menyindir Aluna. Ia masih berdiri di depan pintu, dan otomatis pintu itu terbuka lebar.

"Oh, iya. Sori."

Gadis itu lalu masuk ke dalam kamar inap Zello. Ia duduk di tempatnya semula.

"Aku haus, bisa tolong bantu buat minum?"

Aluna dengan sigap mengambil botol air mineral di atas meja, lalu membukanya, kebetulan sudah ada sedotan putih di dalamnya. Ia mengarahkan botol itu dekat mulut Zello, membiarkan Zello meneguk air mineral dari dal botol.

"Thanks."

Aluna mengangguk, ia mengembalikan botol itu ke atas meja dan mengambil selembar tissue.

"Kalau minum jangan kayak bayi deh, sampai keluar gitu airnya. Udah gede juga," gerutunya sembari mengelap bekas air yang mengalir di rahang Zello sampai ke lehernya.
"Sengaja."

Alis Aluna bertaut, "Maksudnya?"
"Biar dibersihin sama kamu."

Mata Aluna melotot. Apa-apaan itu? Mau bikin anak orang baper? Atau cuma mau menggoda Aluna?

"Apaan sih!"
"Apaan gimana?"
"Ya tadi itu."
"Itu gimana?"
"Ya ituuu...kamu mau bikin anak orang baper kan?"

Zello terkekeh, "Oh, jadi baper ya?"
"Anjay, ya nggak. Siapa juga yang baper, udah mantan juga."
"Oh, mantan? Mau balikan nggak, Tan? Kita buat komitmen baru," kata Zello sambil melihat ke arah Aluna.

She lost her words. Wajah Aluna sudah merah padam. Sialan, benar-benar kurang ajar Zello ini. Membuat Aluna ingat masa-masa di mana mereka PDKT.

"Nggak usah ngawur."
"Siapa yang ngawur?"
"Ya kamu."
"Aku serius, mau balikan nggak?"

Aluna memutar kedua bola matanya. Bertepatan dengan kehadiran Arsyad dan Tante Keya. Aluna membuang napasnya lega, kalau mereka tidak segera datang, Aluna mungkin sudah pingsan gara-gara sikap Zello yang kelewatan membuatnya baper. Ia perempuan normal dan masih muda, digoda seperti itu pasti akan baper, apa lagi Zello itu mantan pacar yang sialannya masih ia sayang.

"Syad, anterin pulang ya? Tadi mau pulang tapi nggak dibolehin Zello kalau bukan kamu yang anter," kata Aluna setelah sadar, ada Arsyad dan Tante Keya yang memandangnya sejak tadi.
"Beres Mbak."
"Mantu Tante nggak nginep di sini aja?"

Aluna meringis, "Nggak Tan, Aluna ada kelas pagi besok," katanya berdusta. Biarlah, daripada lama-lama di sini dengan Zello.
"Ya udah, Mbak. Ayo," ajak Arsyad, Aluna mengangguk. Ia berpamitan pada Tante Keya dan Zello, sebelum meninggalkan kamar inap laki-laki itu.

***

Mobil Zello yang dikemudikan oleh Arsyad membelah kemacetan ibu kota yang semakin menjadi, mobil itu berjalan perlahan-lahan karena padatnya kendaraan yang berhamburan di jalan. Aluna tak banyak bicara, ia lebih banyak diam sambil memikirkan ucapan Zello beberapa saat tadi. Komitmen? Kalau benar tadi, Zello memintanya untuk berkomitmen lagi seperti dulu, jujur, Aluna akan mengatakan jika ia tak bisa. Hatinya selalu cemas dan gelisah saat ia mendengar kata komitmen. Aluna tidak pernah yakin untuk hal itu.

"Mbak, boleh nanya?"
"Kenapa, Ar?" Jawab Aluna, matanya fokus pada jalanan di depan yang dipenuhi lampu-lampu kendaraan. Suara bising klakson pun tak luput mampir di telinganya.

"Kenapa sih Mbak mutusin Abang?"

Kepala Aluna menoleh pada Arsyad yang sedang menyetir, sesekali Arsyad memandang ke arah Aluna.

"Dia masih suka sama Davika."
Arsyad mengeryit bingung, "Darimana Mbak tahu?"
"Dari keyakinanku, dari banyak hal. Faktanya memang begitu."

Arsyad membuang napasnya, merasa Aluna ini gadis yang tidak peka dan minim pengalaman soal cinta.

"Mbak salah. Keyakinan Mbak Aluna salah. Semua itu nggak bener. Waktu Mbak mutusin Abang, dia sedih banget Mbak. Apa lagi tiap Mama nanyain Mbak."

Aluna memandang lurus jalanan yang dipenuhi kendaraan, asap-asap polusi berkumpul di luar sana, beberapa anak jalanan fan pedagang asongan menyebar di jalan. Apa maksud Arsyad berbicara seperti ini? Zello, sedih? Ia bahkan tampak baik-baik saja.

"Abang itu sayang banget sama Mbak. Mbak nggak tahu kan setelah Mbak sempet block sosmednya abang, dia selalu stalk akun mbak pake akunku. Ya, untung aja sih, sekarang udah nggak di-block lagi."
"Kamu jangan becanda deh," kilah Aluna. Itu semua tidak mungkin, Aluna tahu perasaan Zello padanya tidak sedalam itu.
"Jangan ngelihat pake mata telanjang Mbak, nggak semua orang bisa dibaca ekspresinya. Kadang-kadang perasaan kehilangan nggak selalu harus dipublikasikan."

Aluna tidak berani menyahuti ucapan Arsyad, seperti mumukulnya telak. Tapi, sebagian besar hatinya tetap ingin sendiri, sekalipun ia tak menampik kalau masih mencintai Zello. Aluna masih memercayai, nggak semua cinta harus sama-sama.

***

Ada...
Apa yang kamu ketahui tentang ada, Lun?
Cinta?
Ia bisa saja penuh drama.
Ada dan cinta adalah dua kata yang ingin kusemogakan
Untukmu, untuk kita.

Origami itu masih sama, berbentuk segitiga.

Aluna mencoba baik-baik saja setelah malam itu. Ia tetap kuliah, pergi ke Ormawa, hang out dengan Davika, bertukar pikiran dengan Alya dan teman-temannya yang lain. Semuanya masih tetap sama sejak kejadian seminggu yang lalu, Aluna tidak pernah lagi menjenguk Zello. Ia merasa aneh dengan keadaan ini, Aluna memang pengecut dengan menghindari laki-laki itu. Tapi, saat ini yang bisa dilakukannya hanya menghindar.

Tentang Origami berisi kalimat puitis, ia masih selalu mendapatinya. Kadang ada di dalam tas atau terselip di sepeda motornya. Dan, Aluna tak lagi ambil pusing mengenai orgami-origami itu. Siapa pengirimnya, dan dari mana ia datang.

"Lun!"
"Yah!"
"Mau ke mana?"
"Piket Al, di Ormawa," sahut Aluna.
"Oke! Ntar gue nyusul," kata Alya. Aluna mengiyakan sambil lalu.

Ia meneruskan langkahnya lagi untuk pergi ke Gedung Ormawa. Kehidupannya mungkin monoton, kuliah, organisasi, dunia menulisnya. Kadang-kadang Aluna memang dilanda bosan, seiring dengan tugas-tugas kuliahnya yang semakin menggila. Beberapa hari ini editornya yang bernama Wisnu tiba-tiba digantikan oleh Mbak Andira, dengan beberapa perubahan lagi di plot terakhir naskah novelnya. Dan, Aluna memang sedikit penasaran kenapa tiba-tiba Wisnu menghilang, meski ia tak mencoba bertanya pada Andira mengapa.

"Kenapa baru datang?"

Ucapan seseorang yang berada di dalam ruang Departemen Infokom membuat Aluna terkejut. Ia melihat Zello sedang duduk manis di sana, dengan tangan yang dibalut oleh arm sling.

"Astaghfirullah!" Pekik Aluna. Tadi ia mengira Zello itu mahluk halus, konon, salah seorang temannya yang bisa melihat jin, katanya di ruangan ini ada sesosok mahluk halus berjenis kelamin laki-laki. Aluna bergidik ngeri.

"Kaget?"
"Menurutmu ajalah, yakali nggak kaget." Aluna memberengut.
"Hahaha..."

Aluna memutar bola matanya, ia kesal dengan Zello karena laki-laki itu malah tertawa.

"Kamu, kenapa nggak jengukin aku lagi, hm?"
"Sibuk. Lagian situ siapa musti aku jengukin terus?"

Zello tersenyum miring, ia bergerak mendekati Aluna, membuat gadis itu bertambah gugup. Oh, sungguh sialan sekali ia ada di posisi ini.

"Calon imam kamu," ucap Zello dengan suara tegas.

***

Lama ya? Iyai aja. Wkwk maafkan. Apa amat ini cerita, apalah.
Regards
Ig: aristavee, arzello.prakarsa, aluna_dewi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro