Berjalannya Waktu
Terkadang, kehilangan membuat kita sadar, bahwa ego yang kita pelihara dan perasaan yang kita pendam terlalu lama pada akhirnya hanya akan menghancurkan.
***
6 bulan kemudian...
"Aksi mahasiswa turun ke jalan tidak kan menyelesaikan masalah, kita masih bisa mediasi dengan pihak kampus terkait masalah UKT," kata seorang laki-laki yang duduk di atas kursi di ruang sidang Ormawa. Pandangannya lurus, mengarah pada Riko yang sejak satu jam lalu ngotot ingin melaksanakan aksi mahasiswa menuntut penurunan UKT.
"Tapi ini cara terbaik untuk protes sama kebijakan fakultas, Zell."
"Gue masuk ya. Menurut gue Zello ada benarnya. Kita masih bisa mediasi dengan pihak kampus tanpa harus turun untuk aksi, jangan sedikit-sedikit main turun aksi, itu hanya akan bikin semuanya lebih buruk. " Ahmed menyahut. Ia mengetuk-entukkan bolpoinnya di atas meja.
Riko menghela napasnya, ia menoleh pada temannya yang mendukung untuk aksi. Merasa tidak akan menang pada debat kali ini, laki-laki itu memilih untuk mengangguk singkat.
"Baik, gue percaya sama lo. Tapi, kalau sampai ini nggak berhasil, kita harus tetap turun untuk aksi."
Sebagai Presiden BEM yang baru menjabat empat bulan, Zello mengangguk paham. Ia mempersilakan Riko yang tadinya berdiri untuk duduk lagi.
"Ok, rapat kali ini gue rasa cukup. Terima kasih. Kalian boleh bubar."
Zello mengambil buku saku miliknya beserta bolpoin berwarna hitam sebelum berlalu meninggalkan ruang sidang.
Ahmed menyusulnya, sambil membawa proposal program kerja yang tadi diserahkan oleh sekretaris BEM U untuk diberikan pada Zello, namun karena laki-laki itu memilih untuk pergi terlebih dahulu, Dila--Sekretaris BEM U menitipkan proposal itu padanya.
"Lo berubah," kata Ahmed, ia menyamai langkah Zello.
"Gue bukan superhero yang bisa berubah."
Ahmed mendengus, "Sejak lo putus dari Aluna, berapa cewek yang udah jadi pacar lo?"
"Lima."
Ahmed menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lo nggak waras."
"Waras gue udah hilang pas dia pergi."
"Lo harusnya nggak lemah hanya karena cewek."
Zello duduk di ruangannya, disusul Ahmed yang mengambil kursi di sebelah Zello. Mereka ada di sekretariat BEM U.
"Gue nggak lemah, gue cuma pengin buktiin ke Aluna, tanpa dia gue baik-baik saja. Gue nggak pengin dia kepikiran sama gue di sana."
Laki-laki jangkung itu menepuk bahu Zello dramatis.
"Lo masih jadian sama Gea?"
"Semalem putus."
Zello membalas tanpa minat, ia membuka laptopnya, mengerjakan tugas makalah yang belum rampung, namun otaknya terasa buntu.
"Lo bakal cari pacar lagi?"
Zello menggelang, rasanya sudah cukup untuk membuat pembuktian pada Aluna. Saat ia tahu Aluna memblokir media sosialnya semalam, ia lantas memutuskan Gea. Zello tahu, ia tak ubahnya laki-laki brengsek yang memanfaatkan perempuan lain untuk kepentingannya, tapi selama ini merekalah yang mengajaknya pacaran, dan saat ia memutuskannya mereka juga harus menerima. Hubungan paling lamanya hanya bertahan satu bulan, sisanya bahkan tak sampai 20 hari. Ia mencari seseorang yang sama dengan Aluna, walau sampai saat ini sosok itu tak pernah ia temukan di dalam diri para mantan pacarnya.
"Lo dulu nolak Shilla karena Aluna dan sekarang lo gila karena Aluna juga. Bahkan Shilla sekarang udah bahagia dengan tunangannya, dan lo... Masih sama, masih meratapi mantan pacar lo. Kapan lo move on?"
"Kapan umur gue habis?"
"Maksud lo?"
Zello memejamkan matanya, lalu membukanya lagi dan mendapati jumlah kata di layar laptopnya masih 480 kata, belum bertambah semenjak tadi ia membuka tugasnya.
"Lo tahu jawabannya, dari pertanyaan yang lo ajukan tadi."
Ahmed mengusap wajahnya kasar, ia melemparkan proposal program kegiatan lingkungan hijau pada Zello.
"Lio nunggu lo di kontrakan," pungkas Ahmed mengakhiri, ia memilih pergi daripada bertemu dengan Zello yang semakin tidak waras.
***
Lio sudah keluar dari rehab dua bulan lalu, ia yang sebelumnya cuti kuliah akan kembali kuliah di semester baru nanti. Dan, Lio memilih tinggal bersama ibu beserta adiknya dengan rumah baru mereka yang tak jauh dari kampus, setelah perceraian kedua orang tuanya. Ibu Lio beserta Liara memilih untuk keluar rumah dan mencari tempat tinggal baru.
Mungkin Lio masih bisa bersyukur saat kedua orang tuanya bercerai dan ibunya masih memiliki harta warisan dari perusahaan kakeknya yang saat ini dipegang oleh pamannya, jadi ia tak perlu repot untuk memikirkan biaya hidup mereka setelah kedua orang tuanya bercerai. Lio memilih untuk tidak menerima uang bulanan yang diberikan papanya, dan membiarkan uang itu mengendap di rekeningnya.
"Lo beneran nggak waras, Zell."
Lio berdecak, saat melihat Zello duduk di atas karpet di rumah kontrakan Ahmed. Zello menjadi semakin cuek dari biasanya, meski wibawa yang dimiliki laki-laki itu masih tampak. Setelah memenangkan pemira beberapa waktu lalu, Zello kelihatan lebih sibuk, ia jarang pulang ke rumahnya, lebih sering pulang ke kontrakan Ahmed dan Aldo, katanya... Ia malas pulang ke rumah karena mamanya terus menanyai dirinya tentang Aluna.
"Kopi, biar lo nggak suntuk. Pake susu kayak biasanya."
Lio menyodorkan secangkir kopi susu hangat yang baru dibuatnya. Ia berhutang banyak pada Zello, dan saat melihat Zello seperti ini, Io merasa memiliki tanggung jawab untuk ada di saat Zello susah.
"Gue nggak akan kayak Aldo atau Ahmed yang nyuruh lo buat lupain Aluna, karena gue tahu lo nggak akan bisa. Gue cuma minta lo buat bangkit, jadi orang sukses, lalu cari Aluna ke Surabaya dan lamar dia, ikat dia biar nggak kabur lagi."
Zello melirik ke arah Lio yang tampak menatapnya tenang. Lio memang banyak berubah semenjak pulang dari rehabilitasi. Ia menjadi lebih baik dan terlihat lebih bijak dari dulu. Hidup memang memberinya banyak pelajaran.
"Gue juga mikir gitu."
"Nah ya udah. Sekarang, lo jangan menye-menye, pacaran sana sini sama cewek lain cuma buat keliatan buruk di mata Aluna."
"Gue rindu dia."
Lio menghampiri sahabatnya itu, ia menunjukkan insta story dari instagram Aluna, tampak gadis itu sedang tersenyum bersama teman-teman sekelasnya di kampus yang baru.
"Insta story dia kemarin. Dia baik."
Laki-laki itu mengangguk, lalu tersenyum tipis begitu tahu Aluna baik-baik saja. Sampai ponselnya berdering, nama Davika tertera di sana.
Davika: gue mau ke Surabaya, lo mau nitip sesuatu?
Ia lalu menekan tombol panggil di kontak Davika dan buru-buru menyambar jaketnya lalu meninggalkan Lio dengan dahi mengerut bingung.
***
"Muka lo kenapa sedih? Aluna nggak papa kan?"
Davika menggeleng. "Cuma kangen Aluna."
Zello membuang napasnya lega. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya. Mereka bertemu di kafe dekat kompleks perumahan Davika.
"Gue titip buat Aluna, pas dia pergi gue belum sempet kasih ini."
"Lo sayang banget sama Aluna?"
"Apa masih perlu gue ucapin?"
"Nggak. Bayi ngeces juga tahu lo masih sayang dia."
"Lo memang mantan gue yang paling pengertian."
Zello terkekeh yang dibalas pelototan oleh Davika, gadis itu ingat bagaimana kelakuan Zello selama enam bulan ini.
"Eh lo sekarang jadi cowok brengsek ya, minta dimutilasi lo? Sialan tahu nggak?" geram Davika, Zello malah tertawa. Dan, Davika tahu itu bukan jenis tawa karena ia berkata lucu, tapi jenis tawa yang mengandung maksud lain di baliknya.
"Gue cuma cari orang yang mirip Aluna, gue mau dia nggak lagi mikirin gue selagi dia di sana. Gue nggak mau membebani pikiran dia."
"Tanpa lo kayak gini, lo juga bakal jadi beban buat dia. Dia seneng lo bahagia, tapi apa lo nggak mikir disaat yang bersamaan dia juga hancur?"
Mengusap wajahnya, Zello menyesap kopi susu yang lagi-lagi sudah masuk ke lambungnya untuk kelima kali hari ini.
"Gue mikir, saking mikirnya sampai gue nggak bisa mikir lagi."
"Lo berubah, ini bukan Zello yang gue kenal."
"Semua manusia pasti berubah."
"Tapi nggak dalam waktu singkat kayak begini!" suara Davika meninggi.
"Ya...patah hati bener-bener bikin gue gila."
"Lo memang nggak waras. Harusnya gue bawa lo ke Grogol, atau lo mau ikut ke Surabaya biar gue masukin ke Menur?" kata Davika sarkas--menunjuk nama-nama Rumah sakit jiwa yang ia tahu.
"Aldo sama Ahmad udah berencana gue bawa ke RSJ. Lo nggak perlu repot-repot."
Suara decakan keluar dari bibir Davika. Ia melirik jam di pergelangan tangannya, dua jam lagi ia harus ke bandara.
"I'm done. Nyerah gue sama lo."
Davika pergi meninggalkan Zello, ia menyerah dengan sikap Zello saat ini.
***
Bukan tanpa alasan Davika datang ke Surabaya, pagi ia mendapat kabar dari Rajendra kalau mami Aluna berpulang. Kabar yang membuat Davika tersedak seketika--pasalnya, ia tengah sarapan saat ia menerima kabar tersebut dan ia memutuskan untuk segera mencari tiket penerbangan ke Surabaya.
Rajendra tampak sama sejak terakhir kali ia bertemu dengan laki-laki itu, sewaktu menyusul Aluna ke Surabaya dengan Zello. Hanya, rambut Rajendra kelihatan lebih panjang sejak terakhir kali mereka bertemu dulu.
"Aluna gimana?" tanya Davika tak sabaran. Rajendra yang menjemputnya di bandara menatapnya sekilas. Lagu milik Maroon 5 berjudul Sugar terdengar memenuhi hening di mobil Rajendra.
"Udah bisa nerima kepergian tante."
Davika menghirup napas dalam, ia merasa tak tega melihat Aluna seperti ini. Membayangkan saja ia sudah menyerah, apalagi saat nanti tiba dan melihat Aluna secara langsung.
"Bagaimana kabarmu?" Rajendra bertanya dengan tiba-tiba.
"Gue? Eh, aku baik."
Davika hampir memukul mulutnya saat kelepasan memakai kata lo-gue. Ia lupa Surabaya agak tabu memakai bahasa itu.
"Mbak Aluna banyak cerita tentangmu. Thanks, sudah banyak membantu Mbak Aluna."
"No need thanks, dia sahabatku."
"Ayo," kata Rajendra.
Mereka sampai di rumah Aluna, orang-orang sudah berlalu lalang di sana. Sibuk mengurusi segala sesuatu tentang pemakaman, ada pula yang melayat. Satu hal yang membuat pemandangan Davika menjadi pahit, papi Aluna--Anggara datang dengan keluarga barunya, tak ada yang menampik raut wajah sedih dan mungkin penyesalan di wajah Anggara.
Aluna yang berada di depan jenazah maminya hanya duduk diam sewaktu Anggara menggapai bahunya.
"Lun, kamu masih punya papi," samar-samar Davika mendengar.
"Aku cuma punya mami. Dan selamanya tetap mami."
"Aluna!"
"Jangan sekarang, Pi. Mending papi pergi. Aluna mau nememin mami sampai mami dimakamkan. Jangan sekarang kalau mau ajak Aluna berdebat."
Anggara menundukkan wajahnya. Ia melihat jenazah mantan istrinya yang tidur dengan tenang, kalau ada yang bilang ia tidak sedih dan kehilangan, maka semuanya salah. Anggara merasa penyesalan itu tengah memaksanya untuk terpuruk saat ini.
"Apa papi pernah mencintai mami?"
Satu pertanyaan Aluna memukul Anggara secara telak, Diah, Rama dan Jani yang duduk di belakang Anggara memilih untuk diam.
"Kenapa kamu bertanya begitu? Kalau papi tidak mencintai mamimu, kamu tidak akan ada di dunia ini."
"Tapi papi nyakitin mami. Papi cinta mama Diah, papi nggak cinta mami. Ya, cinta? Omong kosong ya, Pi?"
Aluma tersenyum kecut. Di depan jenazah maminya dan suara tahlil yang masih berkumandang, Davika hanya mampu melihatnya tanpa mau mencampuri urusan Aluna saat ini. Ia tahu Aluna butuh bicara dengan Anggara.
"Luna, papi minta maaf."
"Mami tinggal raganya dan papi baru minta maaf? Lucu ya, Pi? Ngomong-ngomong, terima kasih sudah mau datang ke sini. Aluna hargain kok, Pi."
Air mata Aluna kembali merembes, tubuhnya bergetar membuat Anggara terasa tertusuk oleh kata-kata anaknya. Sehebat itukah ia sudah menyakiti Aluna dan mantan istrinya? Sebrengsek itukah dirinya?
Tak tahan melihat kehancuran Aluna, Davika bergerak untuk memeluk Aluna, membawa gadis itu dalam dekapannya, menangis bersama Aluna.
"Lo kuat, lo kuat, lo kuat. Lun. "
Davika terus membisiki kata-kata itu di telinga Aluna, mensugestikan Aluna untuk tetap bertahan, ia tahu Aluna bukan gadis lemah.
"Mami nyenyak banget tidurnya, Dav mami udah bahagia, mami nggak sakit lagi, hatinya, fisiknya. Mami udah bebas, Dav."
Aluna berkata dengan suara tersendat, Davika tak mampu melontarkan kata-kata lagi, ia peluk Aluna, membiarkan bajunya basah oleh air mata Aluna.
***
Jello kok jadi brengsek sih? :( kujadi sediiiii wkwk. Lama ya lamaa? Maap T.T
Gue kalau bikin cerita kok selalu tentang kehilangan sama perselingkuhan ya -___- lagi zaman pelakor apa guenya aja yg error wkwk. Tahu dah
Komen yak komen, awas gakomen. Jahat kalau gakomen haha
Ig squad
Arzello.prakarsa
Aluna_dewi
aristavee
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro