9 : Ibu Nancy
Seburuk-buruknya Nancy, setidaknya, ketika ia tertimpa masalah seberat ini, ia tidak pernah ingin mengakhiri hidupnya begitu saja. Ia masih bersyukur, depresi yang ia alami tidak separah orang lain. Sore itu, setelah basah kuyup dengan segala rasa serba salah, kecemasan, akhirnya Pak Adi marah padanya. Ia hampir melempar kursinya kalau bukan telepon dari istrinya. Rini sudah tidak berkata apa-apa lagi, diam yang mengerikan dan seluruh penghuni kantor yang menatapnya kecewa.
Perasaan kacau dan tidak tahu harus mencari pertolongan kemana lagi, akhirnya Nancy memutuskan pergi ke rumah sakit, tempat di mana ibunya dirawat.
Sudah hampir 8 bulan ibu Nancy tak beranjak dari koma sejak kecelakaan waktu di kota kecil bersamanya. Ketika itu, Nancy yang mau antar ibunya ke pasar membeli keperluan dagangan, tanpa sengaja bertubrukan dengan truk sampah yang tiba-tiba berhenti di depannya. Kali ini masalah tabrakannya bukan Nancy yang melakukan. Tapi ibu Nancy terpental ke sisi kiri dan kaki kanannya tertabrak mobil yang melintas tanpa bisa berhenti. Dalam sekejap, kehidupan Nancy sejak itu berubah.
Adiknya yang sedang kuliah di luar negri, membantu sedikit biaya operasi dan rumah sakit sementara dirinya hanya menyumbang sedikit dari biaya kesehatan kantor. Adik Nancy sudah bilang kalau semuanya akan baik-baik saja, ibunya sudah tua jadi wajar saja koma. Tapi bagi Nancy, ibunya hanyalah satu-satunya orang yang bisa mengerti dirinya. Mengerti cerita dan curhatnya meski kesannya Nancy sangat terlihat bodoh. Hanya ibunya yang tahu Nancy sebodoh itu, seceroboh dan bertindak seenaknya begitu saja. Nancy butuh orang yang bisa memakinya supaya dia sadar dan bangkit untuk lebih bekerja keras lagi, tapi sosok ibu yang selalu ia inginkan ada, menghilang selama 8 bulan ini. Dan ia merasakan bagaimana jika suatu saat nanti ibunya meninggal. Rasanya...
Sesepi malam ini.
Ia memandang ibunya sudah hampir satu jam setelah ia sampai di sini. Tapi genggaman erat yang tidak dibalas itu sama sekali tidak ada rasanya. Seperti jiwa ibunya sedang pergi entah kemana, dan yang ia pegang ini cuma kumpulan daging tanpa nyawa. Nancy pernah dengar, katanya kalau orang sedang koma, jiwa atau roh mereka sedang di luar berjalan-jalan di alam sana. Nancy berpikir, apakah ibunya sedang berjalan-jalan di surga? Ia ingin sekali memanggilnya kembali, setidaknya ia butuh tempat untuk merasa takut, dan ingin pergi dari dunia yang begitu kejam padanya ini.
Tiba-tiba, saat suasana di dalam kamar begitu tenang, suara denyut nadi dari mesin berbunyi cepat. Nancy yang sedang melamun menoleh kaget ke monitor hemodinamik yang tiba-tiba berbunyi nyaring memenuhi ruangan. Ia melihat ibunya bergeming, tapi mesin itu berbunyi keras. Dengan gerak panik, ia bangkit keluar ruangan, menyebarkan pandangan ke koridor mencari suster atau dokter. Dari ujung koridor, tempat resepsionis, ada beberapa suster dan satu pemuda bertubuh tinggi kurus yang membelakanginya. Nancy segera berlari dan berteriak heboh, memberitahu kalau ibunya kritis. Lagi.
Keadaan kritis ini bukan kali pertama. Ibunya sudah mengalami beberapa kali kritis, entah karena apa. Kata dokter, ada beberapa saraf yang masih suka berkontradiksi di otaknya, tapi itu bukan masalah besar karena orang yang sedang koma terkadang mengalami hal tidak masuk di akal seperti ini. Selama masih bisa dikendalikan, dokter selalu menenangkan Nancy. Beberapa suster dan dokter yang biasa memeriksa ibu Nancy menyuruh Nancy tunggu di luar, sementara para suster dan dokter mengerubungi ibunya di kamar rawat. Mengeluarkan alat-alat khusus, dan dokter memeriksanya dengan penuh perhatian. Dari luar pintu kamar, Nancy meringis, ia merasa sangat tidak berguna. Menjadi anak yang gagal dalam pekerjaan, membuat masalah, dan ibunya sakit juga gara-gara dia. Tanpa sadar, hidung Nancy tersumbat, napasnya sesak. Para suster dan dokter sudah tenggelam dalam pekerjaannya. Air mata nyaris saja menetes dari pelupuknya jika seseorang tidak berbicara padanya.
"Nyokap?"
Nancy segera menghapus air matanya, lalu menoleh ke arah sumber suara.
Seketika matanya langsung membelalak. "Lo—"
"Sakit apa?" tanpa menghiraukan reaksi Nancy, cowok itu tidak mengalihkan pandangan dari Ibu Nancy yang sedang di periksa. Cowok yang tadi berdiri di depan meja resepsionis ternyata...
"Lo ngapain—"
Justin seketika menoleh pelan ke arahnya, menghentikan jalur terkejut sekaligus sebal. Tatapan yang tidak bisa di mengerti, tapi Nancy membeku.
"Apa?" tanyanya tanpa ekspresi.
Seketika seluruh raga dan pikiran Nancy sadar. Tidak peduli lagi Justin sedang apa di sini, meski itu sangat aneh dan di luar perkiraannya, tapi ini adalah saat yang tepat untuk membicarakan rencana yang sebelumnya terbengkalai itu. Ia tidak tahu kapan bakal ketemu orang ini lagi, maka ia segera mengutarakannya saja.
"Gue mau ngomong penting sama lo," ujar Nancy lurus, menatap Justin yang mengernyit.
"Nggak mau." Justin langsung melengos, hendak pergi. Tapi Nancy buru-buru menahannya.
"Jangan batalin penawarannya."
"Lepasin tangan gue." Justin berkata tanpa menoleh.
"Tolong, jangan," lagi, Nancy meminta dengan nada lembut, berusaha menyentuh perasaan cowok tidak berperasaan itu. Ini adalah satu-satunya cara. Di depan ibunya yang sedang kritis, ia tidak mau lagi gagal. Di depan masa depannya yang masih abu-abu, ia ingin memperbaiki sesuatu yang telah ia rusak. Keringat, darah dan harga diri seseorang harus ia pertaruhkan. Tidak peduli Justin menyetujuinya atau tidak, ia hanya berharap pada mukzijat.
Tapi Justin hanya menepis tangannya dengan kasar hingga genggaman Nancy lepas.
"Lo tahu kesalahan lo apa? Pertama, di hari gue harusnya fokus, semua hancur gara-gara kecerobohan lo. Kedua, lo nggak kasihan sama nyokap lo kayak gitu tapi tingkah lo kayak cewek nggak ada martabat?"
"Nggak usah bawa-bawa nyokap gue." Nancy menatap dingin, berkata ketus.
"Kenyataan, kan? Lo itu cuman hidup di ambang rasa iba orang-orang, jadi jangan bertindak seenaknya. Paham sampai sini?"
Nancy serasa ditampar. Ia tersekat pada kata-kata orang asing yang rasanya sangat-sangat benar. Ibunya pernah bermaksud seperti ini, tapi ia tidak pernah mengatakannya. Tapi ketika maksud itu dikatakan dengan jelas, kenapa rasanya sangat sakit? Nancy memang tidak punya apa-apa, ia tidak punya ilmu yang dicari-cari para ilmuwan, ia bukan seseorang yang pintar membuat orang menyeganinya, ia sangat buruk dalam sosialisasi, ia tidak punya apa-apa. Ya, Justin benar, Nancy tidak punya apa-apa selain tekatnya. Harga diri saja sudah dirampas oleh orang brengsek ini. Apa yang masih Nancy punya untuk bertahan hidup?
Tapi kata-kata itu bersamaan keluar dari mulut orang yang sangat Nancy benci. Tidak adil rasanya bagaimana si brengsek ini bisa langsung menembaknya tepat di pusat, lalu membuat seluruh hidup yang sudah Nancy tata hancur berkeping-keping begitu saja. Nancy tidak rela, ia masih layak untuk bernapas meski ia mendapatkannya dari belas kasihan orang.
Perlahan-lahan, air mata Nancy menggenang. Ia menatap Justin sambil menyisipkan senyum miring, menahan air matanya agar tidak jatuh.
"Apa lo dilahirin buat menciptakan kata-kata kayak gitu? Kalau iya, lo menang."
Raut wajah Justin seketika melunak sejenak. Dengan keberanian penuh, dan keputusan bulat, Nancy menarik napas, lalu mengangkat tangannya menunjuk koridor ujung sana.
"Pergi."
Mata Justin membulat. "Oh, jadi lu berani usir gue? Bahkan lo nggak bilang makasih ke gue setelah semalem gue tolongin."
"Apa? Makasih?" Nancy tertawa remeh. "Mendingan gue mati." Ia tidak tahan dengan seluruh perdebatan ini. Di depan ibunya, di depan semua masalah yang tak pernah mampu ia selesaikan lagi, ia ingin tidak ada lagi orang yang menyakitinya.
Justin berdecih, lalu dengan berat hati pergi dari koridor itu.
Tapi, sesekali seseorang harus memakinya. Seseorang seperti ibunya, walau seharusnya bukan orang itu. Seharusnya bukan Justin Wijaya.
----
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya Senin depan ya. Terima kasih✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro