48 : Kepergian salju
Nancy membuka matanya susah payah. Langit sudah terang. Kepalanya terasa sakit. Kakinya tertutp oleh selimut. Ia bangkit lalu merasa mimpi semalam rasanya sangat nyata. Jendela di kamar yang terbuka itu memperlihatkan samar-samar gunung dan ladang kebun teh yang luas. Ia menarik napas.
Tidak, semalam bukan mimpi. Meski ia berharap itu mimpi. Sebelah tangannya masih menggenggam panel bluetooth itu. Dengan perlahan, ia mengusap wajahnya, pergi ke toilet lalu mencuci muka. Matanya bengkak, seolah tangis semalam itu masih terasa sampai sekarang. Ia menatap kembarannya, hendah menangis lagi ketika ia berpikir apakah ia berani naik ke atas dan melihat kondisi Justin.
Sejenak, Nancy menarik napas, mengisi paru-parunya dengan keyakinan penuh.
Bukan itu tujuan ia ke sini. Ia sendiri yang memilih melangkah untuk menyaksikan ini semua. Ia bukan datang untuk kesedihan. Ia datang untuk kerelaan, ingatkan, Nance? Ia merutuki dirinya sendiri di tengah badai remuk redam hatinya. Himpitan waktu yang mencekik rasanya tidak pernah berakhir. Satu malam bukan waktu yang cukup untuk menangis dan menyesali semua langkah ini. Tidak, bukan itu yang seharusnya ia lakukan. Ia harus melihat ke depan, menatap matahari yang sedang menjaganya seperti kata Justin waktu itu.
Orang yang hidup di dunia ini dilahirkan ada sebabnya, bahkan yang brengsek sekalipun.
Dengan keyakinan teguh, akhirnya ia pun melangkah ke atas, mengecek kamar Justin. Tapi ia terkejut waktu kamar itu ternyata sudah kosong. Nancy berlari turun, mengecek seluruh isi rumah. Ruang keluarga, teras depan, taman belakang...
Ke mana Justin? Obat yang kemarin masih ada di nakas, tidak di minum sama sekali. Bekas selimutnya berantakan di atas kasur. Pecahan beling kemarin ternyata ada di sisi kiri kasur. Nancy tidak punya waktu lagi untuk membersihkan itu. Ia harus mencari Justin. Tiba-tiba ketika memikirkan cowok itu ia merasa kehilangan sekali. Seperti ia tidak bisa melihatnya lagi setelah semalam itu. Ia merenggut panel bluetooth dan memasukannya ke saku jaket lalu lari ke luar rumah.
Setelah menatap puncak gunung di depan sana, Nancy tahu harus ke mana.
xx
Ia berlari sepanjang jalan di antara kebun teh. Meskipun udara sangat segar, tapi ia tidak pernah merasa hatinya baikan. Gereja itu sepi. Sama seperti waktu pertama kali ia datang. Entah kenapa, Nancy yakin kalau Justin ada di sana. Berlari sekuat tenaga, ia membuka pintu ganda besar itu lalu menyeruak masuk dengan terburu-buru.
Ruang gereja itu sepi. Derit pintu menggaung sebentar lalu hening menyambar wajahnya. Kursi yang pernah Justin duduki tiba-tiba terbayang jelas akan sosoknya. Cowok itu menoleh ke arahnya lalu tersenyum. Tapi, sayangnya itu hanya bayangan. Nancy setengah berlari mengecek setiap sudut gereja tapi ia tidak menemukan siapa-siapa. Nancy berpikir keras. Apakah tidak ada ruang lain? Tapi Nancy sangat yakin kalau cowok itu ada di sini. Kalau bukan di sini, di mana ia bisa menemukan Justin? Semakin memikirkan itu, Nancy semakin takut, semakin sesak. Apakah sesulit untuk menyampaikan ucapan selamat tinggal?
Tiba-tiba matanya terarah ke sebuah pintu kayu besar yang agak memojok di depan altar. Ruang Sakristi begitu tulisan papan di depan pintu tersebut. Nancy tertegun sejenak, lalu dalam entakan keyakinan, ia berjalan masuk. Ruangan itu nampak lebih kecil dan sempit. Ada beberapa gantung baju dan meja panjang dan beberapa lemari. Sekotak lilin menimbun di antara pintu lainnya. Di sebelah pintu ada sekotak jendela kecil yang menampikkna pemandangan taman di belakang. Dengan segera, Nancy membuka pintu tersebut lalu keluar.
Kebun belakang yang luas di kelilingi kebun teh yang rindang. Di lautan rumput pendek itu, Nancy melihat satu pohon besar di sana. Di bawahnya, seorang laki-laki memakai baju lengan putih berbaring. Hidung Nancy beringsut, ternyata Tuhan masih mengijinkannya melihat Justin.
Nancy berlari pelan ke arah Justin yang terpejam sambil berbaring di bawah pohon itu. Seakan-akan sedang menikmati suasana pantai. Kedua tangannya di letakkan di belakang kepala, sementara kupingnya di sumpal earphone. Matanya terpejam, napasnya pelan. Nancy tidak ada niatan untuk membangunkan laki-laki itu, akhirnya hanya ikut berbaring pelan di sebelahnya.
Melihat wajah Justin yang sangat bersih dan polos itu rasanya seperti berkali-kali ia bisa jatuh hati pada semburat siluetnya. Justin yang terdiam, merasakan angin yang mengelus lembut wajah dan rambutnya seolah mengembuskan keyakinan kalau ia baik-baik saja seperti memberi ketenangan dan pesan itu lewat semua pesonanya. Tanpa sadar, beberapa menit terlewati, pandangan Nancy memburam.
"Emang gue seganteng itu ya sampe di liatin terus?"
Nancy terkesiap kecil, wajah Justin menolehnya pelan. Cowok itu tersenyum sambil menyipitkan matanya.
"Apaan sih, lo," gerutu Nancy sambil berbalik, membuang wajah.
"Lo mau denger lagu kesukaan gue nggak?" tiba-tiba Justin menyerahkan satu earphone-nya ke arah Nancy. Awalnya Nancy tidak yakin, tapi beberapa saat kemudian ia meletakkan earphone itu di sebelah kirinya. Dengan senyum samar, Justin menatap Nancy seperti tidak ingin melepaskannya.
"Jangan dilepas kalau belum selesai. Walaupun lo nggak suka, lo harus denger lagu ini sampai habis. Oke?"
Nancy tidak bisa berkata apa-apa, bibirnya terkunci rapat takut menjerit tak rela. Seakan-akan waktu menempatkannya untuk takdir yang tidak bisa dilawan. Seolah-olah mereka sudah tahu kalau mereka akan memiliki waktu seperti ini hingga Nancy hanya bisa menurut daripada air matanya menggenang dan dadanya sakit lagi. Memandangi senyum Justin yang sudah membuatnya bahagia saja ia sudah bersyukur. Ia tidak berharap apa-apa lagi, meskipun sangat ingin memiliki keabadian itu. Justin dan semua tentangnya, beberapa saat kemudian tenggelam dalam lagu yang mengalun pelan.
Mata Justin tertutup, tapi bibirnya terus tersenyum.
Don't think of anything
Don't say a single word
Just laugh with me
still don't believe it
It all seems like a dream
Please don't disappear
Is it true? Is it true?
You You
You're so beautiful, I'm afraid
Untrue Untrue
You You You
Will you stay by my side?
Will you promise me?
I'm afraid If I touch you, you'll fly away, and shatter
I'm afraid I'm afraid I'm afraid
Will you stop time?
When this moment passes
Nothing might've happened
I could lose you
I'm afraid I'm afraid I'm afraid
Butterfly, like a Butterfly
Just like a butterfly Like a bu, butterfly
Udara dan langit cerah Bandung ketika itu menjatuhkan Nancy dengan sejuta perasaan sendu. Wangi tubuh Justin yang berterbangan di sekitar hidungnya, membuatnya lagi-lagi menoleh, menyaksikan senyum itu masih di sana. Seperti sebuah lagu yang sedang ia dengarkan, begitu indah dan takut ia tidak bisa dengar dan lihat lagi. Perlahan-lahan, Nancy menyentuh tangan Justin yang bergeming. Pandangannya buram, ia takut berkedip, air matanya bisa saja jatuh kapan saja. Tapi ketika tangannya menyentuh Justin, untuk waktu yang tidak ia sangka, Justin membuka mata dan tersenyum sambil menatapnya.
"Eh jelek, jangan ge-er ya."
Setelah itu, mata Justin kembali tertutup. Senyum itu tidak lagi di sana. Sedetik sebelum ia benar-benar merasakan Justin juga menggenggam tangannya, genggaman itu mengendur. Perlahan-lahan, hening yang terasa semakin memenuhi kepalanya. Lagu itu berhenti, selesai dalam tempo yang pelan dan sendu. Nancy tidak bisa bernapas, tanpa sadar hidungnya sudah penuh dengan ingus, air mata tidak berhenti meleleh. Napasnya sesak. Udara yang tadinya terasa sejuk perlahan-lahan kini terasa dingin dan menusuk.
Mulai detik itu, tangan Justin hanya sebuah kenangan. Genggaman yang tidak pernah tersampaikan itu akhirnya tinggal dalam tidurnya yang panjang.
"Makasih, Nance."
Setelah mengatakan itu, Nancy sadar, kalau itu adalah kalimat terakhir yang ia dengar dari seseorang yang sangat ia relakan kepergiannya seperti kupu-kupu yang ditinggalkan oleh salju.
Tidak, bukan di tinggalkan.
Tapi dititipkan.
----
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro