Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

46 : Jemuran pagi di Bandung

Sudah hampir tiga hari Nancy menempati rumah ini. Bangun tidur, biasanya ia langsung lari pagi mengelilingi separuh kompleks villa lalu turun gunung melintasi jalna-jalan setapak di antara kebun teh, mengamati beberapa penduduk lokal di dekat pasar dan kadang-kadang jajan di warung-warung. Sesekali jika sedang menengadah dan menatap langit, ia merasa kalau apa yang terjadi akhir-akhir ini seperti mimpi. Berada di Bandung saja sudah cukup jauh dari bayang-bayang realita. Kalau bukan karena kekuatan dan keyakinan tentang Justin, ia tidak akan ada di sini. Sulit untuk mengakui kalau kekuatan hati itu bisa membuat raga kita begerak dan menuruti tanpa memikirkan rasa gengsi sekali pun. Kadang, kalau dipikir-pikir lagi, Nancy tidak menyangka bisa benar-benar berada di titik ini untuk merasa sepenuhnya peduli terhadap Justin.

Biasanya Justin selalu bangun siang. Setiap Nancy bangun sekitar pukul tujuh, pintu kamar Justin pasti tertutup dan ruang bawah masih sepi. ruang tengah luas yang ada di antara kamar mereka memiliki jendela yang mengarah lapang ke hamparan atap-atap villa dan rumah-rumah warga. Di langit-langit ruang tengah, Nancy pernah bertanya, untuk apa semua origami-origami kupu-kupu itu digantung dalam benang? Justin cuma bilang kalau dia nggak ada kerjaan, jadi setiap origami itu adalah hari di mana ia memiliki tambahan kekuatan.

Jauh dari lubuk hati, Nancy ingin sekali membisikkan kalau ia ingin menjadi kupu-kupu yang nyata untuknya. Tapi setiap melewati ruang kosong itu, Nancy hanya diam, tak melakukan apa-apa.

Ia kembali ke villa Justin setelah beberapa jam berlari. Nampaknya Justin tidak menanyakan juga apakah ia sudah mendapatkan villa baru atau tidak. Selama ia belum bertanya, itu tandannya ia masih aman-aman saja. Yang penting cucian piring, baju dan menyiram tanaman selesai dengan baik. Tapi kalau dipikir-pikir, Justin bisa juga seharian di dalam kamar entah sedang apa, sementara ia hanya menikmati pemandangan dan mengobrol dengan tetangga di sebelah rumah Justin.

"Justin emang jarang banget ke sini, neng. Oh ya, neng pacarnya ya? Saya nggak pernah lihat dia bawa cewek loh," kata tetangga Justin setelah Nancy kembali dari pasar.

"Ah, jangan mikir yang aneh-aneh dulu mas. Kita nggak pacaran kok, saya ini... adik--ya--adiknya mas!" seru Nancy merasa perkataannya lebih baik. Daripada membuat opini yang aneh-aneh akibat cowok bukan sedarah tapi tinggal serumah, lebih baik ia mengibul saja. Itu juga supaya Justin tidak dianggap jelek di mata penduduk sini.

Tetangga itu seperti tidak yakin. Ia tidak tahu apakah tetangganya mengenal Justin sebaik itu, tapi semoga tidak.

"Justin?"

Sesampainya di rumah, Nancy meletakkan belanjaan di atas meja dapur. Ia mengecek setiap ruangan tapi Justin tidak ada di mana pun. Mungkin sedang cari angin di taman belakang. Akhirnya ia membawa jemuran baju yang kemarin ia sudah kasih pewangi melewati lorong, lalu membuka pintu belakang menuju tempat jemuran.

"Justin?" Tiba-tiba sosok yang dari tadi ia cari muncul di depan mukanya. Punggung Justin yang agak membungkuk sedang menatap langit. Sebelah tangannya dimasukkan ke saku sambil merasakan angin yang menerpa rambutnya, berdiri tenang dan bergeming. Nancy yang melihat itu hanya terdiam dan meletakkan embernya, menunggu respon.

"Mau gue ajak ke suatu tempat, nggak?" Cowok itu seketika menoleh sambil tersenyum kecil. Menunggu responnya, Nancy mengerjap sesaat, "ke mana?"

"Deket, kok. Yuk."

xx

Tempat yang Justin bilang dekat itu ternyata hanya clickbait. Nyatanya ia harus mendaki di antara kebun teh untuk sampai ke gereja kecil dekat bukit yang jaraknya hampir 3 kilometer itu. Nancy sudah hampir kehabisan napas dan berpeluh banyak ketika tiba di sana. Gereja itu berdiri di tengah kebun teh tanpa siapapun. Pohon-pohon rindang menemani bangunan itu. Awalnya Nancy merasa aneh kenapa bisa ada gereja dan pondok kecil di atas gunung begini. Tapi semua itu terjawab setelah Justin menceritakan beberapa hal padanya.

"Dulu, penduduk di sini percaya kalau Tuhan itu bisa membuat semua kebun teh menumbuhkan tanaman terbaik supaya nilai jualnya bertambah baik. Desa ini dulunya kecil, nggak ada pemukiman vila. Dulu, villa gue itu pertama kali di bangun. Dan nyokap bokap gue suka nginep kalau lagi weekend.

"Gue ini orangnya penasaran banget. Sampai suatu ketika gue tersesat dan menemukan tempat ini. Kata penjaga gereja ini, dulu, gerejanya ramai. Setiap weekend suara nyanyi dan doa kedengaran. Tapi sejak gereja ini ditutup karena bangunannya yang udah nggak terawat, dan mayoritas semua penduduknya berbeda agama, akhrinya, ya beginilah kondisinya."

Justin menjelaskan tempat itu sambil duduk di salah satu kursi umat yang reyot. Nancy memandang berkeliling ke interior bangunan, merasa gereja ini masih layak pakai dan baik-baik saja. Bahkan lampu sakramennya masih nyala.

"Masih ada yang rawat?"

"Masih, kok. Orangnya tinggal di bawah. Dua hari sekali sering bersihin ke sini."

Nancy kagum sejenak. Patung-patung dan lukisan jalan salib tertempel di sepanjang dinding gereja. Jendela besar menyeruakkan sinar matahari. Lantainya bersih dan suasananya sangat tenang. Sama seperti di rumah. Tapi keheningan ini, sangat menyentuh. Seakan-akan dengan keheningan ini Nancy bisa merasakan kalau suara terbaik dari dunia adalah ketenangan.

Ia melirik ke arah Justin yang bergeming di kursinya. Cowok itu ternyata sedang memejamkan matanya. Lagi berdoa, kah? Nancy hanya meratapi siluet wajah Justin di sebelahnya dengan seksama. Membayangkan masa-masa dulu yang menyedihkan hingga sekarang, siluet itu membuat pandangan berbeda di mata Nancy.

Sesaat, Justin membuka matanya, menatap wajah Nancy dan berujar pelan, "dulu sebelum kenal lo, gue kira gue bakal baik-baik aja." Tiba-tiba ucapan Justin membuat Nancy gugup.

"Gue pikir, gue bisa benci lo sama kayak dulu lo benci gue. Nyatanya, berbagai hal terjadi di hidup gue, dan lo menyaksikan itu tanpa mikirin kebencian yang terjadi di antara kita. Gue kira orang kayak lo udah nggak ada di bumi ini. Tapi ternyata masih ada satu."

Nancy tidak mengatakan apapun. Mata Justin yang teduh beserta ucapannya yang hangat ketika itu, rasanya ingin ia biarkan membentuk kenangan di hari itu. Apa maksud Justin itu waktu pertama kali ia melihatnya jatuh sakit dan memberinya makanan instan seharga delapan belas ribu itu?

"Dulu gue terlalu sibuk sama kerjaan, sibuk ngurus orang-orang dan bermanis-manis di depan mereka sampai nggak percaya kalau gue masih bisa menemukan ketulusan di dunia bisnis kayak gini. Bahkan gue kayak kehilangan diri gue yang sebenarnya. Tapi setelah ketemu lo, gue sadar ternyata gue nggak pergi sejauh itu dari apa yang gue pernah milikin dulu. Lo itu kayak cerminan gue. Dan rasanya, tanpa lo, gue kehilangan diri gue yang sebenarnya."

Justin meratapi langit-langit gereja, tersenyum pahit seolah sedang berkaca pada kenyataan pahit yang akan ia jalani beberapa hari ke depan. Tanpa sadar, menyaksikan itu membuat dada Nancy terasa sakit. Napasnya sesak dan ia tidak bisa melihat dengan jelas. Siluet dan garis bibir yang tersenyum pada bayangan masa lalu itu buram di depan pandangannya.

Tidak apa, lebih baik begini. Lebih baik ia tidak pernah menyaksikan senyum bahagia itu, daripada ia merasa sesak karena tak pernah bisa memiliki itu.

----

Manteman, gimana ya ini aku tiap hari makin ga rela ini end coba :') tinggal 3 part terakhir, rela kah kalian?

Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️

Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.

Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro