45 : Kehidupan Justin
Villa Justin tidak begitu besar seperti villa-villa biasanya. Ini lebih berbentuk seperti rumah pribadi berlantai dua. Di belakang ada taman kecil yang dibatasi pagar antara kebun teh liar milik orang lain. Sejuknya udara di atas gunung ini membuat rumah terasa seperti memakai AC. Selesai meletakkan perlengkapannya, Nancy keluar dan ganti celana training. Kamarnya ada di lantai atas, bersebrangan dengan kamar Justin. Ia turun ke ruang tengah saat perutnya bergemuruh. Ia melihat ke dapur sesekali, lalu berbalik ke arah Justin yang duduk di sofa sambil membaca buku.
"Dapur lo bisa dipakai, kan? Udah makan belom?" tanya Nancy dari ujung koridor. Justin hanya menoleh sekilas, tidak berniat menjawab.
"Pakai aja."
"Lo udah makan?"
Justin tidak menjawab.
"Woi," panggil Nancy lagi hingga suaranya terdengar menggaung di antara keheningan rumah.
Cowok menoleh tanpa ekspresi. "Kenapa? Lo mau masakin gue? Emang orang kayak lo bisa masak?"
Sesaat Nancy mengatupkan bibirnya. Benar juga. Apa yang Nancy bisa lakukan di dapur hanya masak indomi dan masak nasi. Paling banter ia bisa masak sayur bayam dan goreng telor.
"Bisa kok, sedikit. Gue masakin mau nggak?"
Kepala Justin menggeleng tak yakin.
"Nggak lah, daripada mati keracunan gue." Tiba-tiba Nancy memikirkan selama ini Justin makan apa. Ia tidak melihat ada restoran atau warung nasi di daerah pemukiman ini. Jauh dari perkotaan dan semuanya kebun teh. Lemari dapur kosong, kulkas hanya tersedia beberapa bumbu dapur dan sebotol soda. Rasa-rasanya, dapur ini tidak pernah disentuh. Berpikir seperti itu membuat mulut Nancy pahit. Apakah ia bisa menyaksikan ini semua sampai beberapa hari ke depan? Apakah ia sanggup menelan semua kepahitan yang lebih dari ini di depan matanya?
Dengan langkah perlahan, ia menghampiri Justin yang bergeming di kursinya, menatap tulisan di buku itu dengan serius. Ruang keluarga yang kecil itu hening sekali. Hanya sesekali suara kebetan buku terdengar.
"Jadi selama ini lo makan apa kalau dapur itu kosong?"
Justin melirik Nancy sejenak, lalu dapurnya. "Cuma makan bubur sama ketoprak yang lewat setiap pagi."
"Siang dan malam nggak makan lagi?"
Ia menggeleng tanpa ekspresi. Nancy menatap Justin tak percaya. "Lo gila ya? Kalo lu tambah sakit nanti siapa yang mau urus--" tiba-tiba tubuh Justin mencondong ke depan, mendekatkan wajahnya dengan wajah Nancy yang langsung tergagap diam.
"Jadi lo sekarang khawatir sama gue?"
Pipi Nancy memerah. Dua kali, Justin melakukan ini. Pelan-pelan Nancy mengendalikan degup jantungnya yang berdebar tak keruan. Mengarahkan pikirannya untuk tetap tenang, berbalik menatap cowok itu lurus.
"Ya lu pikir kondisi lu aja tadi udah kayak gitu."
"Kayak gitu gimana?"
"Ya kayak tadi--" Sekilas, bayangan tubuh Justin yang tengkurap dan terbaring tak berdaya di tanah berkelebat dipikirannya. Tenggorokan Nancy tersekat, ia menatap Justin yang tidak melepas pandangannya seolah membaca pikiran Nancy itu.
"Denger ya, gue di sini mencari ketenangan, pusing sama kerjaan. Lo jangan bikin gue makin ruwet cuma gara-gara gue cuma makan sekali," sahut Justin lurus. Bola mata Nancy membelalak. Ia memang tidak mengetahui penyakit itu langsung dari mulutnya, tapi kenapa bisa-bisanya Justin tetap tidak menahan kata-kata itu sebagai alasannya? Kenapa ia tidak pernah terus terang soal penyakit itu? Nancy menelan ludah, ini adalah kesaksian yang akan ia alami dihari ke depan. Ia harus sabar. Inilah Justin, ia harus mencari tahu jawabannya ketika cerita sudah selesai. Dan ketika cerita sudah selesai...
Nancy mengerjap singkat, menyingkirkan sesak yang tiba-tiba datang itu. Ia mengalihkan pandangan ke arah Justin.
"Gue mau ke pasar. Ada pasar, kan?"
Justin memundurkan tubuhnya bersandar ke sofa. "Di bawah," katanya singkat.
"Berhubung gue numpang di sini, mulai sekarang gue mau masak buat kita. Lo, mau nggak mau harus makan. Deal?"
Tatapan Justin menatap buku bergeming dingin. Tidak membalas ucapannya sama sekali.
"Gue anggep itu deal. Oke, gue pergi dulu."
Tidak menanggapi, Nancy benar-benar pergi ke pasar. Ia melipir ke pinggir jalan, menembus sore hari sambil mengingat perjalanan kembali. Kenapa bisa-bisanya Justin sedingin itu? Apa ia benar-benar pasrah atas semua yang terjadi padanya? Dan ini adalah kesalahan Nancy yang terjun dan menyaksikan itu sendiri. Ini adalah pilihan yang sudah ia ambil dari awal. Justin mungkin merasa terganggu meski ia tidak menunjukkan, tapi Nancy tidak peduli. Ini semua bukan lagi tentang Justin, tapi ini tentang dirinya yang benar-benar harus merelakan Justin mulai hari ini.
Karena kesedihan tidak akan pergi jika kita tidak pernah merelakan itu datang.
xx
Malamnya Nancy dan Justin berkumpul di ruang makan. Ia mencari resep masak omelet simpel yang dengan bangganya ia sajikan pada Justin. Sesekali ia jadi teringat makan malam waktu itu dengan ibu Justin. Mereka memasak bermacam-macam, dan seorang Justin yang adalah General Manager harusnya di sediakan banyak sekali jenis hidangan, kali ini hanya di sodorkan omelet nasi itu, ia terima-terima saja.
Melihat itu Nancy sedikit merasa bersyukur karena ia mengenal seorang Justin tidak seperti orang lain yang melihatnya dari jas dan tampang wajahnya yang sangat berkelas. Tapi melihat Justin dengan kaus putih lengan panjang dan rambut bekas keramas, mengunyah omelet tanpa ekspresi cukup membuatnya merasa Justin adalah orang yang sama sepertinya. Setara, selevel dengannya. Tidak ada hal yang istimewa dari Justin selain kesederhanaan itu. Dan Nancy menyukai ketika Justin benar-benar menjadi seorang manusia normal.
"Lumayan." Justin berujar setelah mengunyahnya beberapa suapan. Ia menatap Nancy yang kepergok sedang mengamatinya.
"Itung-itung buat balas budi masakan nyokap lo yang kemarin," kata Nancy basa-basi.
Justin hanya tersenyum. Memandangnya seperti ini, Ya Tuhan, kenapa Nancy terlambat datang di kehidupannya? Apakah memang seperti itu sudah direncanakan?
"Lo tahu Hendrick ke Jepang?"
Seketika ruang makan yang sempit itu menghangat dengan beberapa topik obrolan dan kepulan hangat dari nasi omelet.
"Udah sampai bukan?"
Nancy mengangguk semangat. Tadi sore ia mengirim pesan pada anak itu, bertanya bagaimana operasinya. Anak itu bilang ia belum bisa kasih jawaban, tapi ia merasa baik-baik saja dan tidak ada kejanggalan setelah operasi pertama. Hendrick bilang akan ada operasi lanjutan. Namun, suaranya belum bisa keluar.
"Ah, lo penasaran nggak sih sama suara anak itu? Hendrick tuh sayang banget ya bisa kecelakaan gitu," ujar Nancy sambil menyuap.
Justin melirik sekilas ke arahnya. "Sayang apanya? Itu kan udah takdirnya dia."
"Jadi lo pasrah kalau takdir lo udah begitu aja?" Rasanya bertolak belakang dengan cerita salju yang jatuh cinta pada kupu-kupu waktu itu. Entah apa yang Justin sebenarnya rasakan, tapi Nancy tidak pernah bertanya lebih. Ia membiarkan cowok itu menjelaskan.
Justin menatap Nancy lurus. "Terus? Emang lo bisa ubah apa kata Tuhan? Kalau lo di suruh mati sekarang, lo bisa nolak? Iya? Itukan, yang lo bilang waktu salju harus mati?"
Ucapan Justin terdengar menyakitkan. Ia seperti mengatakan itu untuk dirinya sendiri meski raut wajahnya tetap datar dan dingin. Nancy mengecap lidahnya, membasahi tenggorokannya meski sangat sulit.
"At least, lo mati nggak sia-sia kan, lo bisa ketemu orang itu dan belajar sesuatu. Apapun itu, walaupun keburukannya sekalipun, lo belajar kan dari dia. Kayak penjelasan gue yang terakhir di pasar malam. Ada pelajaran buat kupu-kupu itu."
Nancy menahan dorongan aneh dalam tenggorokannya. Sekilas, origami kupu-kupu pemberian dari Hendrick terlintas.
"Bener. Nggak ada salahnya."
Nancy hanya tersenyum, memberi jawaban lewat tatapan matanya.
Meski itu adalah yang Justin katakan, tapi Nancy tahu, hatinya tidak pernah mengalihkan diri. Sedalam apa pun itu, Justin tidak pernah akan bisa menyentuhnya, karena Nancy tidak pernah ingin tahu apa yang ia rasakan tentang cowok yang di depannya. Demi kebahagiaan mereka bersama. Demi waktu yang mengamati mereka. Ia ingin, Nancy tidak merasakan perasaan itu.
----
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro