43 : Berjalan sendiri
Nancy melupakan semuanya. Ia melangkah mantap menuju stasiun, menaiki kereta pagi arah Bandung. Four Season, meeting, Rini, gambar kerja, Jakarta, tinggalkan itu semua dijejak kaki terakhirnya menuju Bandung. Hari ini, pagi ini, dan stasiun Bandung nanti, semuanya tentang orang itu. Ia sudah berpamitan dengan ibunya, menitipkan pada perawatnya supaya menjaganya terus. Tentang semalam, ia menyimpan ingatannya baik-baik.
"Bandung, di taman penuh kupu-kupu, kamu lihat dia di sana. Ini alamatnya."
Pak Leo menuliskan alamatnya di ponselnya sendiri lalu memberikannya pada Nancy. Ia tidak tahu kenapa emosinya bisa sekuat malam kemarin, tapi yang pasti, setelah mengetahui semuanya, ia tidak ingin menangis lagi. Waktunya bertemu Justin, waktunya ia menyiapkan napas baru. Hendrick akan memulai operasinya hari ini. Ia sudah mengirimkan pesan singkat untuk menyuruhnya supaya tidak takut. Meski anak itu menanyakan kondisi Justin, kebohongan hanya menjadi jawabannya.
Bandung.
Nancy tidak pernah mengira kalau semua itu bisa berujung di sana.
Justin menyukai ketenangan. Di rumah kecil yang ada di tengah lautan kebun teh, udara sejuk dan segar, dengan sinar matahari yang malu-malu mengintip dari sela-sela pohon, Nancy tahu ia hanya perlu melanjutkan langkahnya. Ia tidak bisa kembali lagi, tidak ada lagi waktu untuk menyesali dan berpikir yang lain. Waktunya terlalu berharga untuk mengingat itu semua. Kesedihan dan air mata tinggal kemarin. Hari ini, langit cerah harus memberi energinya lebih kuat lagi untuk bertemu Justin nanti.
Apa Justin marah ya? Atau ia malah menyuruhku keluar dari rumahnya?
Villa Palms Season.
Alamat kosong di-bubble pesannya muncul. Ia melihat tempatnya di Google Maps, jauh dari perkotaan. Ia harus mengambil angkutan khusus yang melewati pemukiman kebun teh. Villa itu berdiri di antara villa-villa yang lain, tapi posisi Villa Palms Season ada di ujung bukit dekat kebun teh. Nancy berpikir harus membual apa? Masa ia harus pura-pura tersesat...
Ting!
Ah, ia tahu sekarang. Nancy tersenyum kecil, ia mengerti sekarang kenapa banyak drama yang ia tonton sering mengangkat ide ini. Karena hanya satu-satunya ide itu yang membuatnya bisa bertemu Justin tanpa memikirkan dampak dan sisi negatif yang lain. Nancy kan bisa cuti. Dan ia juga butuh itu. Jadi, harusnya Justin tidak perlu bertanya banyak soal itu. Sekarang yang perlu ia siapkan hanyalah hati yang tegar dan fokus mencarinya. Ia tidak ingin mengambil risiko untuk mengatakan kejujuran kalau sebenarnya ia ingin Justin....
Tidak, ia hanya ingin bersama Justin disaat ini. Dan tidak akan ada yang menghalanginya meski itu keyakinannya sendiri.
Dua jam naik kereta akhirnya Nancy sampai di Bandung. Bulan itu bukannya bulan liburan, jadi tak ramai orang di stasiun seperti hari libur biasa. Ia mengambil angkutan umum bersama penduduk lokal dan beberapa orang liburan juga. Udara di Bandung sejuk mengisi rongga paru-parunya. Siraman cahaya matahari yang menjatuhi kulit wajahnya terasa hangat. Suara mobil dan angkutan umum yang tidak berisik menenangkan pikirannya. Ia tersenyum kepada penumpang di sebelahnya, lalu bertanya sebentar tentang alamat itu.
"Ah, mbak nanti turun di pertigaan Ciwidey. Bilang sama kenek-nya juga bisa mbak," kata wanita itu ramah.
"Biasanya berapa jam perjalanan ya mbak?"
"Dua jam mbak paling lama."
"Oh, gitu. Makasih ya, mbak."
Nancy menatap jalanan di depannya. Angkutan ini melewati jalan-jalan di tepi bukit yang berkelok-kelok. Guncangan kecil di jalan yang tidak rata menggoyangkan gantungan di kaca spion depan mobil. Samping kanan penuh bukit yang hijau dan perkebunan teh. Tapi karena masih di dekat kota, Nancy merasa perjalannya masih sangat panjang. Ia pun terlelap sambil memeluk ranselnya.
Akhirnya setelah dua jam, sesuai yang penduduk lokal tadi bilang, Nancy diturunkan di pertigaan Ciwidey yang isinya hanya kebun teh di kanan dan kirinya. Udaranya lumayan dingin meski sinar matahari menyoroti puncuk kepala. Ia melihat sekeliling, ke mana harus berjalan? Titik mana yang menunjukkan pemukiman villa di dekat sini? Yang benar saja? Selama mata memandang, semuanya hanya lautan kebun teh dengan beberapa pemetik daun bertopi bambu. Suara burung lalu lalang di sekitar pohon tinggi yang menjulang di sekitar jalan. Sekarang pukul tiga sore. Ia melihat ponselnya, ingin sekali menelepon Justin langsung dan bertanya dia di mana. Tapi itu tidak bisa.
Dengan berharap banyak, ia berjalan ke arah salah satu pekerja kebun teh yang sedang sibuk di dekatnya.
"Punten, bude, di sekitar sini emang ada pemukiman villa ya?"
Wanita berkulit hitam bertopi caping itu memandang Nancy sesaat lalu berpikir sambil melihat ke belakang, tepatnya ke jalan tempat angkutan tadi menurunkannya.
"Pemukiman villa ada di atas neng, tadi angkutannya turunin di situ, ya?"
"Iya bude. Kalau ke atas naik apa ya?"
Wanita tua itu tersenyum sambil melepaskan topi capingnya, memperlihatkan rambut hitam dan setengah uban yang keluar-keluar dari sanggulnya.
"Kalau neng nggak keberatan, bude sebentar lagi selesai metik ini. Bude mau pulang, kebetulan rumah bude dekat pemukiman itu."
Nancy membulatkan matanya sambil tersenyum cerah. "Ah, nggak apa bude. Sini aku bantu juga deh kalau gitu. Petik ini, kan bude?"
"Boleh neng, di sebelah situ ya neng. Nih, petik kuncupnya aja ya, masukin ke keranjang ini," katanya sambil menyodorkan keranjang bambu.
Nancy tidak tahu ia sedang dimanfaatkan atau tidak, tapi ia tidak memiliki pilihan lain kecuali ia mau tersesat di hutan kebun teh. Dari pada begitu mending ia memetik daun teh saja dan mengharapkan wanita tua itu. Beberapa menit kemudian, wanita itu selesai di lahannya sendiri lalu menghampiri Nancy untuk menyerahkan pekerjaannya sendiri biar wanita tersebut yang melanjutkan. Nancy setuju karena ia merasa lengannya hampir patah memetik daun-daun itu. Sekilas Nancy merasa salut dengan orang tua yang bekerja memetik daun teh, fisiknya pasti kuat. Ditambah pemandangan gunung dan lahan sawah di bawah bukit sangat memanjakan mata. Dibanding perkotaan, Nancy rasanya sangat tenang jika ada di sini. Seakan beban tentang Four Season, meeting dan kenyataan yang ada lepas dan hanyut begitu saja dalam perjalanan tadi.
Tidak lama setelah itu, Nancy dan wanita itu selesai. Mereka mengendarai sepeda ontel mendaki ke jalan setapak lewat jalan kebun teh. Kalau di suruh kembali, Nancy bisa mati. Ia tidak ingat satu pun belokan yang tadi ia lewati. Wanita tua itu sangat kuat, menanjak pun ia hajar. Tadinya Nancy khawatir tapi nyatanya bude bisa menggilas pedal kuat-kuat. Hingga beberapa menit melewati jalan setapak dan hutan pendek, mereka berbelok ke jalan kecil. Di situlah Nancy melihat pemukiman villa dan rumah penduduk dekat situ. Jauh mata memandang, mereka seperti menuju gunung. Di kaki gunung, wanita itu menurunkan Nancy.
"Nah neng, bude cuma bisa antar sampe sini ya, masuk villa nggak boleh. Neng jalan aja."
Nancy melambaikan tangannya dan tersenyum sambil menyelipkan selembar lima puluh ribuan untuk menghargai kebaikannya. Tapi bude itu menolak dengan lembut dan balas melambai menyuruhnya hati-hati. Ternyata banyak orang baik hati juga, pikir Nancy. Tinggal PR saja ia berjalan ke dalam pemukiman villa itu, mencari nomor rumah yang dimaksud.
Berjalan di antara pemukiman villa yang sepi, Nancy sibuk mengamati sekitarnya. Nomor 13, 14..
Villa Justin ada di nomor 20. Rasanya villa ini tidak banyak, bahkan rasanya tidak ada dua puluh atap. Tapi ketika ia berjalan tenang, hanya terdengar angin yang mendesir lewat telinganya, tiba-tiba entah dari mana ia mendengar suara aneh. Ia menghentikan langkahnya, memperdalam pendengarannya.
Suaranya seperti datang dari rumah yang ada di sebelahnya. Ia menoleh, melihat keadaan rumah berpagar pendek itu sepi. Tapi jelas sekali ia bisa mendengar suara orang mengerang dibalik sana. Nancy takut, tapi juga penasaran. Ia mengumpulkan keyakinannya beberapa saat sebelum benar-benar masuk ke rumah itu.
Suara erangan itu semakin dekat ketika langkah Nancy semakin memasuki halaman belakang. Nancy berbalik dari rumah lalu melihat kebun belakang rumah itu, sedetik, ia terperanjat ketika matanya melihat seorang cowok yang sudah terbaring di tanah sambil mengerutkan wajah dan memegang perutnya.
"Justin!?"
----
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro