Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

41 : Tersesat

"Ah, Nancy?" Nancy hampir saja tersandung di depan dokter Wu ketika ia mengejar dan memanggil namanya dari ujung koridor. Ia terengah-engah sejenak, menatap dokter Wu dengan cemas.

"Ada apa, Nancy?"

"Dok, Justin udah nggak di sini?" disela-sela napasnya, Nancy bertanya. Dokter Wu tersenyum tidak yakin, ia mendorong pundak Nancy untuk duduk sebentar di kursi koridor yang sepi.

"Nancy, tenang dulu. Pelan-pelan," kata dokter Wu lembut. Tapi ini bukan saatnya Nancy merasa tenang. Semakin ia bernapas susah payah, sesak di dadanya semakin meledak-ledak.

"Dok, di mana Justin? Jangan bohong lagi. Nggak usah mengelak apa-apa lagi. Di mana dia?" Nancy tidak mau membuang-buang waktu lagi, ia menatap dokter yang melihatnya dengan raut cemas itu lurus-lurus.

Dokter Wu tidak menjawab langsung. Wajahnya yang tadi kelihatan sangat tenang seketika berubah dingin. Ia menarik napas panjang sebelum berkata-kata. Nancy tidak siap, ia tidak tahu kenapa dokter memasang ekspresi seperti itu. Ia takut, jantungnya semakin berdebar-debar seperti lari-larinya tadi masih berlanjut.

"Justin.. nggak seharusnya kamu tahu, Nancy."

"Nggak, dok. Aku udah kelamaan. Selama ini dia--selama ini kita--" Nancy tidak bisa berpikir. Otaknya membeku di setiap kilasan seorang Justin, ditatapan dingin disuara-suara masa lalu yang meneriakinya, kini berubah menjadi jeritan tak tentu arah. Di tangannya, origami kertas kupu-kupu itu masih ia genggam. Semakin erat ia genggam, semakin takut ia akan kehilangan itu.

"Nancy, kamu—"

"Di mana?!" tanpa sadar suara Nancy hampir berteriak tak sabar. Detik semakin terasa sulit. Ia susah bernapas, kenapa dokter Wu memperlama jawabannya? Apakah benar ada sesuatu yang besar dan selama ini mereka sembunyikan? Kalau iya, berarti apa yang selama ini Nancy perkiraan, apakah...

"Dia sakit apa, dok?" suara Nancy kian bergetar, menatap dokter Wu penuh memohon.

Dokter Wu kian tertunduk, merasa tidak siap untuk mengucapkan kata yang sudah siap di ujung lidahnya.

"Justin mengidap kanker lambung. Kondisinya sudah kritis dan tidak bisa lagi disembuhkan."

Setelah kalimat itu, tubuh Nancy terhempas ke sandaran kursi. Rohnya seperti tercabut dari jiwanya, dan ia ingin menghentikan waktu karena rasanya ia seperti ingin mati.

xx

"Pertama kali kami bertemu adalah waktu dia dibawa ke rumah sakit oleh Leo. Larut sekali, aku ketika itu sudah mau pulang, tapi melihat kondisi Justin, yang adalah pasien waktu kecilku juga—"

"Pasien waktu kecil?" Nancy memotong.

"Ah, dulu Justin jatuh dari tangga, kakinya terkilir dan cukup lama penyembuhannya karena ia sering main ke atas."

"Maksud dokter, rooftop?"

Dokter Wu mengangguk tenang. Nancy merasa otaknya membeku, sejenak, setiap cerita yang Dokter Wu katakan itu seperti menyambungkan puzzle-puzzle yang Justin lemparkan padanya begitu saja. Kejadian beberapa waktu itu perlahan-lahan membentuk sebuah fakta bersamaan pernyataan dokter Wu.

"Aku mengira ia mengidap maag akut biasa. Aku tahu maag akut tidak boleh di biarkan begitu saja maka kusuruh Pak Leo untuk membantunya mengingatkan minum vitamin dan makan yang teratur. Tapi suatu ketika aku bertemu dengan Pak Leo di sekitar rumahnya, karena rumah kami dekat juga, kutanya kondisi Justin, Pak Leo hanya menggeleng dan apa yang kukatakan hanya angin lewat.

"Justin mengalami naik pangkat dalam pekerjaannya. Waktu bertemu denganku itu ternyata ia baru saja kembali dari Amerika. Beberapa bulan setelah itu, aku tidak menerima kabar apa-apa lagi, karena kupikir ia sudah membaik, maag akutnya sudah disembuhkan oleh obat-obat yang kuberikan. Ternyata, aku salah. Pak Leo bilang, Justin terlalu sibuk, pekerjaan barunya saja membuatnya tidak menyempatkan mampir pulang ke rumah. Aku tahu Justin bukan anak yang supel, dia sangat pendiam, egonya tinggi. Meskipun ibunya sangat menyayanginya, itu hanya membantunya beberapa saat.

"Hingga waktu itu, sekitar beberapa bulan kami tiba-tiba dipertemukan, Pak Leo bilang kalau beberapa minggu terakhir Justin sering muntah-muntah. Ia istirahat selama satu minggu tapi tidak ke dokter. Kutanya kenapa dia nggak ke dokter? Jawabannya adalah bekerja. Kalau hari itu bukan Pak Leo yang mengantarnya, mungkin aku nggak bisa tahu kalau tumor yang ada di lambungnya sudah menyebar hingga ke kalenjar getah bening. Aku takut buat bilang itu, karena Justin kelihatannya tahu... stadium tiga.

"Kami melakukan sebaik yang kami bisa. Aku meminta Pak Leo menjaga pola hidup Justin yang setiap hari bekerja dan tidak makan tepat waktu. Kusuruh Pak Leo membelikannya makan, memaksanya untuk memperbaiki. Kuberi obat-obat terbaik, aku bahkan merasa kalau aku terlalu berlebihan, tapi... aku nggak bisa menyangkal kalau ketakutan yang kulakukan dalam memberi perhatian sebanyak itu lewat obat dan Pak Leo, berubah menjadi kesalahan besar. Aku terlalu terlambat. Kami terlambat."

Dokter Wu memangku wajahnya dengan kedua tangan yang tersannggah di atas paha. Menatap lantai rumah sakit dengan kerut di kening yang samar dan tertekan. Tanpa sadar, pandangan Nancy mengabur, ia merasa air mata yang menggenang memberatkan matanya.

"Sekarang atau nanti, kematian itu akan datang. Stadium tiga menuju empat, aku tidak bisa apa-apa lagi. Aku hanya bisa mengatakan semuanya dengan menyesal. Dan Justin..." Mata dokter Wu membayang di sisi lain, seakan teringat akan bayangan wajah laki-laki itu. Ia menoleh pelan ke arah Nancy, berujar pelan, "ia menerimanya dan tersenyum pasrah. Ketika itu, aku melihat punggungnya berjalan lemah keluar koridor, lalu kutanya pada diriku sendiri, apakah setiap manusia harus diberi beban seperti itu?"

Perlahan dokter Wu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, meratapi kata-katanya yang kini melayang di udara bagai rasa penyesalan tak berujung. Setiap pasien yang pergi menemui ajalnya, ia selalu berpikir kenapa setiap manusia harus mati setelah berbuat kebaikan. Apakah untuk mencontohkannya pada manusia lain agar kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang abadi? Melainkan rasa bersyukurlah yang abadi?

"Dok, jadi sekarang dia di mana?" suara Nancy serak, ia menahan air mata, tak berani menatap dokter Wu di sebelahnya.

"Aku nggak tahu."

----

Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️

Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.

Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro