Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38 : Pak Leo

"Jadi, kamu belum kasih tahu ibumu juga sampai sekarang?"

Mobil di parkiran sudah dipanasi. Justin menutup bagasi setelah meletakkan kopernya di sana. Ia berjalan ke Pak Leo yang masih pakai baju tidur, menatapnya khawatir. Justin hanya memandang tanpa ekspresi. Sekarang pukul empat pagi. Justin hanya tidur dua jam.

"Aku nggak tahu, pak. Tapi kayaknya mending nggak usah."

"Kenapa?"

Justin melihat ke dalam rumahnya, membayangkan ibunya melambai tersenyum di ambang pintu.

"Aku nggak mau lagi bikin orang nangis sama kepergianku. Lebih baik begini, aku tinggal sendiri dan aku--" seketika tenggorokan Justin tercekat, hidungnya mulai beringsut. Tapi itu semua ia tebas dengan tersenyum, memandang Pak Leo di depannya.

"Kamu masih nggak berubah, Justin."

Justin memandang Pak Leo bingung. "Kamu masih sama egois seperti dulu." Wajah Pak Leo berubah kecewa. Garis wajah tegas dan bijaksana dengan kerut umurnya, seketika menggerus pelan hati Justin.

Dulu, pertama kali Justin bertemu dengan Pak Leo adalah ketika ia dibelikan somay depan gereja. Waktu itu ibunya lagi rapat perkumpulan, membuatnya harus menunggu di mobil. Sementara itu hanya ada dia dan Pak Leo. Pak Leo tahu karakter Justin bukan anak yang cerewet. Jadi ketika ia menanyakan apakah lapar, Justin hanya menggeleng pelan, gengsi. Tapi Pak Leo lebih peka dari siapa pun. Ia tahu Justin sedang mengamati pedagang kaki lima di depan gereja dengan wajah menahan lama. Maka ia turun dari mobil dan membelikan somay itu.

Pak Leo masih ingat wajah Justin yang melunak dan diam-diam memakan somaynya. Dan itu adalah kejadian pertama kalinya Pak Leo mengerti kapan waktu Justin lapar dan belum. Hingga tanpa sadar, Justin berubah menjadi dewasa, tampan dan pintar. Pak Leo yang setiap hari mengantarnya les sana-sini, membawakannya barang jika ada yang ketinggalan, mengantarnya ke kampus, dan Pak Leo yang datang mencarinya ketika Justin belum juga keluar kampus.

Dulu, Pak Leo tahu bagaimana Justin dihujat sana sini karena kesombongannya yang tidak mau bercakap dengan siapa pun. Oleh beberapa mahasiswa, ia dicap orang kaya yang sombong. Justin tidak punya teman karena menurutnya itu hanya menganggu waktu belajarnya dan merusak konsentrasinya. Di kelas, ia pernah ditunjuk menjadi penanggung jawab, tapi hanya sebagian orang yang setipe dengannya menjadi kelompok. Sisanya hanya membicarakan betapa belagunya orang kaya itu.

Bagaimana ketika itu, Pak Leo-lah yang sibuk bertanya dengan bingung, dan ditatap sangat sinis ketika mendengar nama Justin. Untungnya, Justin sangat dingin dan keras kepala. Ia tidak peduli dengan kata-kata orang asal semua perjuangannya tidak sia-sia. Lulus dengan kumlaud, langsung diutus menjadi General Mangaer selama 2 tahun, hingga sekarang.

Semua orang bangga padanya. ayahnya dan ibunya. Tapi karena sikap dingin Justin yang tidak mudah dileburkan, baik ayah atau ibunya hanya memberikan pujian sebatas barang tanpa pesan-pesan. Justin tumbuh menjadi pribadi yang penyendiri, dingin dan tidak tahu mana darah mana air. Ia menganggap semua itu sama dan hasil dari proses itu adalah uang. Tujuan utama untuk membuat ayahnya bangga. Walau tidak tahu apakah ayahnya benar-benar merasa demikian. Tapi Pak Leo cukup untuk merasakan Justin yang tumbuh dari tangannya sendiri.

Seorang anak kecil kelaparan yang tumbuh besar itu mendapat salah didikan dari orangtuanya. Anak yang seharusnya diberikan penuh rasa kasih sayang, kini hanya sebatas formalitas di kalangan masyarakat sekitar. Justin, tidak pernah benar-benar merasa bahagia atas masa-masa kecilnya. Ia terlalu dewasa pada umurnya. Dan ketika hari ini ia akan pergi, Pak Leo tidak tahu apakah ia bisa melepaskan anak kecil yang dua puluh tahun ia belikan somay begitu saja.

"Kamu udah lebih dari anakku sendiri, Justin," suara Pak Leo menahan getar, ia memandang Justin penuh iba. "Bagaimanapun, mengabdi dengan kedua orangtuamu, adalah pilihan yang benar karena aku bertemu sama kamu. Kamu memang nggak pernah menjadi anak baik, tapi bagaimanapun, dengan keberadaan kamu, bapak jadi tahu bagaimana rasanya bisa kehilangan. Kamu sudah mengisi setengah dari umurku, Justin."

Hidung Justin beringsut dalam, ia menundukkan kepala, tidak ingin melihat kesedihan itu. Meski suara getarnya cukup membuat gumpalan keras dalam tenggorokannya, ia harus menahan napas, hari ini, harus berakhir seperti ini, pikirnya. Tidak ada yang boleh mengikutinya lagi. Lalu ia mengangkat kepala, tersenyum tulus kepada pria tua di depannya itu.

"Maaf, pak. Aku terlalu cepat dan tepat hari ini, aku harus pergi." Ia terdiam sejenak, menelan ludahnya pelan, seluruh badannya bergetar, ia menahan sesak susah payah. "Ternyata selama ini aku salah. Harusnya yang aku khawatirkan itu bapak."

Pancaran pandangan berkaca-kaca itu, Justin seperti bisa membayangkan masa-masa kecilnya di sana. Bagaimana senyum Pak Leo yang masih muda menggendongnya di tengah terik panas, ketika hujan ia memayunginya dari belakang sementara salah satu bahunya basah kuyup karena payung yang kecil. Semua itu muncul dan terucap lewat sinar matanya. Justin menelan ludah susah payah, ingin menghapus kesedihan yang ia benci. Ia tidak suka menangis, ia benci menjadi lemah. Karena ia tidak lahir untuk itu. Tapi, Pak Leo, menggenangkan air matanya, melebur dalam kilas balik dua puluh tahun yang lalu. Ketika kehidupan pernah seindah itu.

Justin maju selangkah, mendekap tubuh pria tua yang mulai bernapas sesak itu. Ia menjaga suaranya, berkata pelan. "Bapak tahu aku nggak pernah ngomong gini, tapi nggak ada kata yang cukup untuk ungkapin seberapa berterima kasihnya aku sama bapak. Semua ada waktunya, dan inilah waktuku."

Ia melepas pelukannya, menatap Pak Leo yang matanya sudah basah dengan air mata. "Selamat tinggal."

Setelah mengatakan itu, Justin memasuki mobil dan melajukan gas tanpa melihat ke belakang lagi.

Justin tidak tahu apa yang akan ia lakukan jika ia kembali melihat ke belakang. Sebuah penyesalan akan melambaikan tangan padanya, berkata jangan pergi dan biar ia menetap di sana. Tapi ia tidak boleh melakukan itu. Ia sudah cukup egois pada satu orang saja. Baginya, air mata Pak Leo adalah hal yang paling berharga dari apapun. Justin yakin, suatu saat, di kehidupan selanjutnya, ia percaya ia akan dipertemukan lagi dengan beliau.

---

Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️

Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.

Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro