Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

36 : Rumah asing dan ibunya

Nancy kaget waktu Justin benar-benar baru melepaskan tangannya ketika ia masuk ke mobil. Di sebelahnya, cowok yang sedang diam menyetir itu menembus jalanan di hari yang semakin gelap.

Tadi sore, ketika ia baru pulang dari kantor, kabar buruk langsung menhempaskan lututnya. Nancy yang tidak tahu soal kejadian siang itu seketika merasa terpukul. Ibunya kritis lagi, dan lagi, ia tidak bisa melakukan apa-apa selain menangis dan merasa seluruh dunia kejam. Ia tidak pernah bisa melakukan apa-apa setiap ibunya kritis. Yang ada hanya rasa penyesalan semakin menumpuk tanpa habis. Selain kesepian, apa lagi yang dunia inginkan? Ia sudah cukup untuk setiap hari berharap ibu akan bangun. Ibu akan membuka mata dan tersenyum. Bahkan bayangan yang terasa nyata itu sudah benar-benar cukup. Tapi kenapa masih saja ia merasa dunia separuh membohonginya? Atau apa ini yang sebenarnya dunia ingin katakan pada Nancy, bahwa sebenarnya ia cukup kuat untuk menahan itu semua?

Tapi barusan...

Diam-diam Nancy merasa hidungnya beringsut. Dengan tanpa mengatakan alasan apa Justin mengajaknya makan di rumahnya, tapi jujur, ajakan itu membuatnya hangat. Kalau Justin bukan orang yang ia benci, mungkin ia sudah ingin memeluknya, menangis keras di pelukannya dan berharap semua orang di dunia ini mengerti betapa bersyukurnya ia ketika satu orang mendengarkan suaranya. Mengetahui kenyataan yang selama ini ia pikul. Nancy tidak tahu, ternyata sebenci-bencinya ia terhadap orang itu, ia masih bisa berharap banyak.

Dan ketika harapannya terkabul, Nancy tidak bisa berpikir jernih selain mengikuti Justin.

Ketika mobil memasuki kawasan permukiman perumahan yang nampak seperti mansion, Nancy terperangah pada semua pemandangan itu. Halaman depan luas, putaran air mancur yang lebar, lampu-lampu menyorot penuh pesona, menampikkan lekuk bangunan yang mewah, semuanya nampak hebat. Ia turun setelah Justin memasuki sebuah rumah besar bertingkat dua yang panjang dan luas. Mereka memasuki rumah itu tanpa mengatakan apa-apa selain Nancy yang masih bergumam sendiri dengan tingkat kemewahannya.

Justin memimpin langkah memasuki rumah itu. Gumaman Nancy semakin keras ketika melihat interior luas yang nampak berkilau. Figura emas, sofa besar dan vas dengan bunga segarnya di mana-mana, lapisan tembok yang dibalut cat beige, lukisan-lukisan apik, aroma sejuk sekaligus guci-guci berkilau dijatuhi sorot lampu. Langkah Justin berhenti di dapur, dan Nancy menyadari seorang wanita tua memakai celemek sedang meletakkan sayur ke atas meja. Ketika mata mereka bertemu, wajah wanita itu langsung sumringah.

"Justin—"

"Bu, kenalin temenku, Nancy. Kasihan dia bu, belom makan."

Justin yang klasik, pikir Nancy. Nancy memeluk wanita itu sejenak, menyapa tanpa memaksa senyum. Wajah ibu Justin, apakah sama menyenangkan seperti anaknya? Seperti melihat wajahnya saja, perasaan Nancy jadi membaik. Beban yang tadi menahan napasnya seketika lepas waktu melihat senyum itu melengkung di bibir wanita tua itu. Kadang Nancy sangat bersyukur Tuhan bisa menciptakan orang sesimpel itu. Hanya melihat mata dan tawanya, ia merasa baik-baik saja.

"Ah, jangan didengarkan, Justin mah. Ayo makan, pas banget tante masak banyak. Tante kira Justin juga nggak pulang dari meeting. Dia sering bohongin tante gitu soalnya. Oh ya, tadi nama kamu siapa?"

"Nancy, tante," jawabnya sopan. Walau tidak bisa disebut muda juga, karena banyak senyum, wanita itu jadi nampak lebih cantik. Ia mengajak Nancy menyusun piring di atas meja. Sejenak, ia melirik Justin yang berdiri dengan tangan di depan dada, mengamati mereka dengan wajah setengah tersenyum. Apa-apaan itu..

Di antara bising suara ibu Justin, senyum samar Justin sesaat terasa begitu dekat. Seakan ia berada di dalam sebuah foto yang membuat senyum itu begitu mengesankan. Nancy tidak bisa bersungut atas ekspresi itu. Ia malah tidak bisa berpikir karena semua ini rasanya seperti mimpi. Ibu Justin yang dengan semangat menyiapkan makan malam, dan tatapan Justin yang begitu terasa dekat. Seakan-akan, ia bangga bisa menerbitkan kebahagiaan di foto figuranya sendiri. Percikan hangat di dalam hatinya membumbung menyentuh pangkal jiwanya.

Mereka menyiapkan nasi, meletakkan teko air bersama-sama. Kicau obrolan dan basa-basi seorang ibu Justin akan terus teringat di kepalanya. Bagiamana semua itu bisa membuatnya bahagia hanya dalam beberapa menit. Bagimana ia bisa seyakin itu pada dirinya sendiri kalau kebahagiaan hari ini adalah kebahagiaan yang paling langka. Membuatnya lupa atas kesedihan dan segala beban yang beberapa jam lalu menempa hatinya.

Di hadapan Nancy, Justin perlahan-lahan tersenyum, dan itu terlihat kian nyata.

Kenapa bisa dulu ia sebegitu menyebalkannya? Dan kenapa bisa sekarang ia sebegitu bersyukur bisa mengenal Justin?

xx

"Tante punya banyak banget bunga, di sebelah sana itu om pernah beli di Belanda. Bunganya nggak mekar kalau di sini, jadi tante gantung aja bareng anggrek-anggrek ini. Bagus, ya?"

Malam semakin membayang. Karena terlalu banyak topik yang ia miliki bersama ibu Justin, mereka malah melanjutkan topik itu di rumah kaca. Nancy diajak ke rumah kaca lewat kebun belakang. Sementara Justin mandi dan sibuk di kamarnya sendiri. Rumah orang kaya memang sangat berbeda. Bahkan Nancy masih merasa ini semua mimpi. Tanaman yang berjejer memenuhi satu tempat, membentuk rumah kaca jadi penuh seperti sebuah hutan di dalam kotak. Berada di rumah kaca yang penuh dengan aneka ragam tanaman yang di sebutkan oleh ibu Justin, ia tidak tahu kalau dunia berotasi begitu cepat. Jauh dari tadi siang, ketika ia merasa terpukul sendiri, kini ia raanya bersyukur sekali pernah merasakan itu, karena hatinya bisa begitu hangat waktu Justin mengulurkan tangannya.

"Maaf ya tante, Justin jadi bawa tamu malem-malem begini," kata Nancy menyela topik mereka sewaktu ibu Justin menuangkan teh dan duduk di kursi rumah kaca. Di suatu sudut taman, ada kursi dan meja kayu yang kelihatannya sering di pakai untuk baca koran di pagi hari oleh penghuni rumah. Ibu Justin menggeleng keras.

"Jangan minta maaf. Tante seneng malah Justin bawa temennya ke sini."

Ah, iya tentu saja, Justin kan banyak yang nggak suka, pikir Nancy.

"Tante sejujurnya udah lama nggak ketemu Justin. Sejak dia diangkat jadi General Manager, hubungan kami kayak putus. Dia jadi jarang pulang, dan jarang makan bareng. Tante nggak tahu bahkan makanan apa yang sudah jadi favoritnya sekarang. Tante sering kali merasa asing, tapi..."

Ibu Justin memandangi pohon-pohon kecil dihadapannya seraya membayangi kata-kata itu.

"Aku masih bersyukur dia nggak lupain tante. Kamu tahu kan, banyak orang yang suka nggak menghormati orang tuanya apalagi waktu dewasa kayak kalian. Oh ya, apa ibumu nggak marah kamu pulang larut?"

Nancy menatap wanita di depannya, tersenyum. "Ibuku lagi koma, tante. Jadi aku nanti pulang ke RS, kok."

"Oh?" Wanita itu mengerjap beberapa kali, terkejut sesaat tapi ia tidak mengatakan apa-apa.

Rumah kaca yang besar ini sangat sejuk. Pohon-pohon kecil menaungi sudut-sudut ruang kaca. Setiap tanamannya nampak segar apalagi beberapa bunga yang tumbuh menyempil di antara pot-pot tanaman. Ada tanaman yang menjulang liar dari potnya. Menikmati teh hangat meski di tengah kota, Nancy bisa bernapas layaknya jauh di suatu tempat yang berbeda. Sekarang Nancy penasaran, apakah Justin menyukai tempat semacan ini?

"Maaf ya, tante nggak tahu kalau kesedihanmu pasti sering ditanya oleh orang, ya kan?"

Nancy tersenyum kecil. "Udah biasa tante, aku nggak apa-apa kok."

"Kamu beda, tante tahu. Makanya Justin bawa kamu ke sini. Sebelumnya, nggak pernah ada cewek lain yang dia kenalin ke tante. Kamu satu-satunya orang yang setelah sekian lama aku dan Justin berpisah, kembali menyatukanku dengan ankku sendiri."

"Maksud tante?"

"Tante bisa lihat semua di mata kamu. Kadang, Justin memang bukan orang yang baik. Kami salah mendidiknya. Dia jadi arogan dan semena-mena, tapi dengan begitu, ia nggak pernah tutupin sikapnya. Ia selalu terbuka pada siapa pun. Dan pada siapa pun yang adalah termasuk kamu, tante bisa lihat, kamu itu satu dari seribu orang yang bisa mengerti dia."

"Oh ya?"

Ibu Justin tersenyum yakin. "Memang kamu pernah lihat Justin punya teman banyak?"

Nancy berpikir sejenak. Teman untuk formalitas mungkin ada banyak, pikirnya. "Sebenarnya, tan, aku cuman sering lihat dia sendirian, kerja tanpa berhenti. Aku nggak tahu banyak soal kehidupannya."

"Tapi dia mungkin punya teman satu." Ibu Justin memandang lurus ke arahnya.

"Siapa?" tanya Nancy.

"Kamu."

Sejenak, Nancy terdiam.

"Justin itu sulit diterima sama di masyarakat, makanya dia nggak punya teman." Ibu Justin menoleh, menatapnya dengan senyum hangat, agak lama, bahkan membuat Nancy seperti diberi kekuatan hanya melihat senyum itu.

"Makasih ya, udah mau jadi temen Justin."

Ibu Justin menutup malam itu dengan kalimat singkat tapi cukup membuat degup jantung Nancy berdebar. Kenapa ia rasanya jadi tidak ingin berpirsah dengan ibu Justin? Sosok Justin yang lain rasanya melekat dalam diri ibunya sendiri. Tentu saja, tidak ada ibu yang tidak kenal anaknya. Dan Nancy merasa, apa yang hari ini ia dengar dari ibu Justin adalah sosok Justin berbeda, yang tidak dikenal di masyarakat umum atau di dunia perkantoran. Sosok yang hanya Nancy tahu, yang hanya ia dengar dari ibu Justin bahwasanya, Justin sebenarnya sama-sama kesepian.

Sama seperti dirinya.

----

Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️

Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.

Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro