33 : Ibu
Pagi-pagi sekali, Justin terbangun karena suara pecahan di lantai bawah. Ia membuka mata cepat, lalu tersadar beberapa saat. Pasti ibunya. Ia bangkit dari kasur, lalu beranjak turun ke dapur. Ketika melewati tangga, ia melihat ibu dan satu asisten rumah tangga sedang membersihkan pecahan vas di meja makan. Sebelum kedua orang itu sadar, Justin lebih dulu memanggil ibunya.
"Bu," panggil Justin pelan sambil merapikan rambut yang masih acak-acakkan.
Yang dipanggil terperangah sejenak, lalu ketika pandangan mereka bertemu, sosok wanita dengan keriput di beberapa sudut matanya terperanjat.
"Justin? K-kamu kapan pulang?"
Justin berjalan mendekat, ia menyentuh tangan ibu lalu tersenyum pelan. Ibu pasti kaget dengan kedatangannya tiba-tiba ini. Terang aja, sudah berapa bulan ia tidak kembali sejak sibuk mengurus pekerjaan?
"Semalam banget. Ada makanan nggak, bu? Laper." Ia melirik dapur. Lalu seperti kebiasaan ibunya, ia langsung tersentak dan mengangguk cepat.
"Ada! Ada! Ya ampun, kamu kenapa sih nggak kabarin dulu kalau mau ke sini? Udah lama banget, terakhir kapan ya kamu pulang? Natal ya?"
Mata Justin membelalak.
"Hah? Bukannya Juni lalu aku datang?"
Keduanya saling bertatapan. Ibunya dengan pandangan kosong itu tiba-tiba kaget dengan ingatannya sendiri.
"Ah?! Iya, ya? Aduh, maaf ya, ibu akhir-akhir ini agak lelah dan ngantuk kayaknya." Ibu Justin menarik anaknya ke meja makan, lalu dengan gerak sibuk menyiapkan sarapan bersama satu asisten rumah tangga yang tadi setelah selesai membereskan pecahan vas tadi.
Justin memandang miris ibunya yang sibuk sendiri menuangkan sayuran ke mangkuk besar. Punggung ibu yang kecil dan lemah, tangan ringkihnya yang sangat kasar, menandakan ibu pasti berjuang keras menyibukkan diri agar tidak merasakan sepi. Ia melihat tenaga itu terbuang percuma hanya karena ingin menipiskan rindu kepada anak dan suaminya. Kenapa baru sekarang siluet bayangan ibu yang terpancar di lantai terlihat sangat berbeda? Seperti ada sesuatu yang menopang pundaknya hingga terlihat lebih bungkuk dan kurus. Justin menarik napas, ia membuang wajah ke luar jendela.
Di sana, matahari sedang menatapnya. Hai, matahari apakah kamu tahu apa yang selama ini ibuku rasakan? Apakah dia sebegitu merindukan kami sampai membuat dirinya seperti ini? Wajah bahagianya yang sudah tidak nampak, yang ada hanya senyum pura-pura agar dilihat baik di depannya? Bagaimana ia bisa sebuta itu terhadap ibunya sendiri?
Dulu, ketika Justin masih kecil ia ingat ibu selalu nempel dengan ayah. Kadang ibu masih suka ikut ke kantor, meninggalkan Justin sendirian bersama Pak Leo di rumah. Tapi perbandingan ayah dan ibu cukup berbeda. Entah kenapa, ibu selalu berusaha ada di samping Justin, sementara ayah, tidak.
"Nih, semalam mama masak bandeng kesukaan kamu, ayam kremes, mbak juga lagi masak sayur asem sama mau goreng ikan asin. Kamu mau sarapan yang mana? Pilih aja gih, banyak tuh sayang tiap hari nggak ada yang makan jadi kasihin ke anaknya Pak Pir, deh." Ibu sibuk memindahkan mangkuk sayur ke atas meja dengan cepat, sibuk dengan ocehannya hingga tidak memperhatikan wajah Justin sendiri.
"Bu, Justin mau makan sama ibu. Bisa nggak, biar mbaknya aja yang mindahin sayur-sayur itu?"
Mendengar itu, baru lah garis wajah ibu yang asli terlihat. Mata lelah dan bibir melengkung ke bawah, menatap sendu ke arahnya.
"Iya, bu. Saya bisa pindahkan sendiri, ibu makan aja, ya," kata asisten rumah tangganya sambil mengambil mangkuk sayur asem yang sedang digenggam ibunya itu. Ibu Justin tertegun beberapa saat sebelum Justin menyuruhnya lagi duduk.
"Bu, ayah belum pulang, ya?"
"Ah, ayah? Ayahmu itu sama dari bulan kemarin belum pulang juga. Kalian lagi ada proyek besar, kan? Eh! Hari ini kan, Senin! Kamu kenapa bolos?" Tiba-tiba wanita itu terperangah sambil membenarkan rambutnya dengan gerak bingung dan ekspresi panik. Justin hanya melambai sambil mengambil tahu goreng, melahapnya sekali.
"Kangen masakan ibu aja. Bosen makan di luar. Lagian aku lagi pengin istirahat bu, capek kerja. Aku juga nanti bulan depan mau cuti." Bukan sekarang bicara jujurnya, gumam Justin.
Ibu terdiam beberapa saat, tak melepas pandangannya dari wajah Justin di depannya itu. Seakan sudah lama sekali mereka tidak bertemu, Justin merasa ada sesuatu yang berubah dari ibu. Entah kenapa, Justin merasa kesibukan yang mungkin selama ini ibu jalankan, malah melahirkan kegelisahan. Semakin dipikirkan, Justin semakin menyesal.
"Bu, akhir-akhir ini kegiatannya apa?"
Wanita itu terkesiap kecil, lalu menarik napas sambil tersenyum lembut. "Ibu punya tanaman baru di rumah kaca. Mau lihat nggak nanti?"
Justin mengangguk-angguk sambil menikmati nasinya. "Ayo!"
"Saking banyaknya tanaman yang udah nggak pernah kamu lihat, sekarang mereka udah besar-besar."
"Bagus dong? Emang terakhir aku ke rumah kaca itu, kapan ya?"
Ibu Justin menjawab tanpa berpikir. "Pas masih SD. Kamu udah mulai sibuk belajar ujian buat ke SMP, lupa deh sama rumah kaca itu. Padahal dulu kan kamu sering main di sana. Kamu cabutin bunga-bunga ibu. Pasti lupa."
Justin hampir tersedak dalam ingatan masa kecilnya itu. Ia melirik ibunya sambil tertawa kering. "Lupa, sih. Tapi ya udah lah. Aku juga tahu kok ibu paling nggak suka kalau tanaman di cabut-cabutin. Habis gimana ya, bunganya cantik-cantik, kayak ibu."
"Halah, kamu ini. Kerja terus sampe nggak pernah godain cewe jadi godain mamanya, ya?"
Detik itu Justin menatap ibunya lalu tertawa keras. "Bu, apa-apaan sih! Justin belum mau mikirin cewek lah."
Tatapan ibu Justin menggoda anaknya. "Masa sih. Ibu jarang loh, lihat kamu ketawa gini kalau disinggung soal cewek sedikit. Dulu, kamu kalau sama ayah mah di rumah aja ngomonginnya kerjaan mulu. Haduh, ibu sampai yang nggak ngerti apa-apa jadi ngerti dikit-dikit loh." Mungkin ibu dulu sering dibilang sebagai tangan kanan ayah, tapi ayah mengajak ibu ikut kegiatan kantor sebenarnya hanya untuk kebutuhan sosialita dalam urusan bisnis. Tak lebih, maka jarang ibu juga memahami bidangnya. Selain mengurus tanaman, ibu paling senang memasak. Hanya dua hal itu yang ibu pandai.
"Maaf ya bu." Justin menatap ibunya, ingin wanita itu merasakan kejujuran yang selama ini ia simpan.
Kalau seandainya waktu bisa lebih lama dan lebih panjang, mungkin kata-kata itu tidak akan pernah muncul di bibirnya.
"Sudah lah. Ibu nggak apa-apa kok. Kamu makan yang banyak, ya. Nanti kita ke rumah kaca! Ibu nggak sabar kasih lihat kamu anak baru ibu." Ibu terlihat bersemangat, senyumnya tidak pudar bahkan ketika ia sedang makan.
Pemandangan ini, apakah Justin bisa miliki lagi seutuhnya suatu hari nanti?
----
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro