Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26 : Sejak perubahan itu...

Nancy termangu di layar komputernya. Pukul sembilan pagi yang tenang. Pikirannya sedang terbang kemana-mana. Semalam, setelah jas milik Justin merekat di tubuhnya, entah kenapa, bayangan wajah laki-laki itu menyangkut terus di kepalanya. Melewati koridor yang sepi, Nancy melihat ke kamar Hendrick terlebih dahulu, melirik pemuda yang sudah tertidur pulas di kasurnya. Ia sempat menarikan selimut untuk menutupi kakinya. Hendrick suka membaca buku. Ia mengambil buku yang masih dipeluk pemuda itu. Ternyata ia membaca sampai tertidur.

Hendrick pasti selalu menginginkan ibunya yang melakukan ini. Hendrick pasti selalu ingin ibunya yang membacakan dongeng sebelum tidur untuknya. Hanya saja, impian orang tidak sering menjadi kenyataan. Dan Hendrick, hanya selalu berharap suatu hari nanti, ia menerima perlakuan itu, meski nyatanya mustahil. Orangtua Hendrick gila bekerja, dari yang sering diceritakan bocah itu, Nancy merasa kasihan.

Setelah dari kamar Hendrick, baru lah ia pergi ke sofa kecil di ruang rawat ibunya, tidur bersama jas cowok bermulut pedas itu. Ia sendiri tidak memikirkan apa-apa selain sikap perubahan yang terjadi pada Justin. Meski itu sedikit sulit diterima, tapi Nancy percaya pada yang namanya sikap orang pasti berkembang dan berubah. Karena ia sendiri percaya dirinya sendiri akan melakukan hal yang sama. Perihal keberadaannya di rumah sakit yang akhir-akhir ini sering muncul juga sebenarnya Nancy cukup penasaran. Tapi, selama itu tidak mengganggu hidupnya, sebaiknya ia menyimpan privasi Justin pada tempatnya. Lagi pula, ia tidak boleh terlalu banyak tahu soal cowok itu. Ya, lebih baik jangan.

Tiba-tiba, ketika ia semakin larut, dari samping, Rini dengan setumpuk berkas keluar dari ruangan Pak Adi, mengejutkannya sesaat. Mereka habis meeting berdua beberapa menit yang lalu. Tampang cewek itu agak datar, tapi tak menunjuk banyak kesinisan.

"Eh, ini proyek bakal menghantui kita. Sanggup nggak lo?"

Nancy segera tersadar, ia bingung. "Maksudnya?"

Seraya merapikan berkasnya satu-satu, Rini memberi amanat, "Katanya, Justin mau proyek ini selesai akhir tahun. Dan, katanya ia bakal cabut bulan depan."

"Hah?"

Rini melirik tajam ke arahnya. "Kenapa reaksi lo gitu? Nggak terima kalau proyeknya bukan dia yang pegang lagi?"

"Bukan. Maksudnya, kenapa tiba-tiba begitu?"

"Emang gue Roy Kiyoshi apa bisa baca pikiran orang?"

Biasanya juga lo tahu semua tentang Justin, pikir Nancy. "Terus nanti kita koordinasi sama siapa?"

"Pak Nando, ayahnya Justin."

Nancy terdiam sesaat. Bayangan wajah muram Justin sekelebat muncul. Apa jangan-jangan ada terjadi sesuatu...

"Kenapa? Nggak sanggup?" tanya Rini sedikit menyindir.

Nancy terkesiap kecil. "Nggak. Mau siapapun itu orangnya, aku sanggup-sanggup aja, kok."

Rini hanya manggut-manggut tidak peduli, lalu mulai memberi beberapa lembar kerja update revisi untuk Nancy kerjakan. Sementara sudah kembali ke keadaan semula, otak Nancy semakin bertanya-tanya.

Kenapa tiba-tiba banget ya, si orang brengsek itu? Masa iya tersinggung gara-gara kemarin gue tanya kapan proyeknya selesai?

Setelah mengetahui kalau beberapa minggu kemudian ia akan jarang sekali meeting karena fokus pada gambar kerja dan urus ke lapangan, Nancy berharap ia bisa bertemu dengan Justin di sekitar rumah sakit. Sesekali ia ingin sekali bertanya pada dokter Wu lagi sebenarnya apa yang terjadi dengan kondisi Justin yang sebenarnya, tapi mengingat pertemuan terakhirnya mengenai topik itu, ia jadi mengurungkan diri. Kelihatan sekali mereka merahasiakan itu. Dan Nancy paling meraasa tidak layak untuk mengetahuinya.

Jadi ia hanya berbicara dengan malam hari, setiap hari, sampai beberapa hari mereka bertemu.

Di sampingnya, Hendrick sibuk membaca buku, sedangkan Nancy memilih mengerjakan sebagian pekerjaannya yang belum selesai. Karena ia benci lembur, jadi lebih baik dikerjakan di rooftop dengan angin malam yang begitu tenang.

Akhir-akhir ini Hendrick sering mengajarkan bahasa isyarat menggunakan tangannya. Seperti kata-kata sederhana, "maaf, terima kasih, aku, kamu, dia, mereka," dan sejenisnya. Untuk kesekian kalinya ia bertemu Hendrick, anak itu lama-lama seperti adiknya sendiri. Nancy jadi ingat adiknya sendiri. Terakhir adiknya menghubunginya itu beberapa minggu yang lalu. Biasanya Nancy yang selalu telepon, menanyakan kabar dan perkembangan di kampusnya. Tapi semenjak karirnya hancur dan ia luntang-lantung di Jakarta, ia jadi terbiasa untuk menunggu kabar.

"Hendrick, apa akhir-akhir ini kamu masih sering ketemu temanmu yang waktu itu kamu ceritain?"

Hendrick yang sedang membaca beralih menatapnya, terdiam sejenak seperti berpikir. Kemudian ia menangguk, lalu menulis.

"Kemarin siang aku ketemu. Dia beliin aku es krim lagi."

"Ah," Nancy agak kecewa mendengar jawaban itu. Akibat rasa curiga yang besar sewaktu melihat hubungan Hendrick dan Justin kemarin nampak sangat dekat, Nancy jadi berpikir kalau mereka sedang berkomplot, sebenarnya sudah kenal lama. Terlebih soal teman yang sering Hendrick ceritakan itu. Sepertinya tidak ada lagi anak seumuran Hendrick yang di rawat di rumah sakit ini. Dan kalau pun ada, kebanyakan mereka sakitnya normal-normal saja. Maka itu, Nancy awalnya curiga kalau teman yang disebut Hendrcik adalah Justin.

Tapi nyatanya, Hendrick berkata jujur.

"Kak, kenapa waktu itu kakak kelihatan nggak suka sama Kak Justin yang beberapa hari lalu kita temuin itu?"

Nancy membaca tulisan Hendrick, ia lalu memandang awan, berpikir sejenak.

"Sebenarnya, nggak begitu kok."

Angin mererpa wajahnya. Pohon-pohon di sekitar rumah sakit berayun, membisikkan suara malam lewat daun-daun yang bergesekan. Bulan sedang tak nampak. Ia sedikit menggigil. Memeluk tubuhnya sendiri, lalu merasakan jas yang pernah menghangatkan hatinya waktu itu. Kalau dia masih benci, jas ini seharusnya sudah dibakar dan dikubur jauh-jauh dari pandangannya. Tapi nyatanya, ia tidak melakukan itu.

"Dulu kita sempat cekcok aja. Karena aku nggak sengaja nabrak dia di stasiun. Kebetulan juga dia ternyata klien di kantorku. Ya sudah, jadi banyak cekcok yang nggak semestinya terjadi, malah terluapkan. Apalagi, Justin orangnya galak, aku jadi kena musibah yang cukup yah... menyebalkan."

Hendrick melambaikan tangannya, berkata benarkah? Matanya membulat tidak percaya.

"Nggak juga kayaknya. Setiap orang punya banyak sisi dalam hidupnya. Kamu tahu kan, sisi ketika dia ketemu orang, sisi ketika dia sendirian, di kamarnya, yang nggak orang lihat." Nancy menoleh ke arah Hendrick, meyakinkan kalimatnya. "Setiap orang punya sisi-sisi itu. Sisi yang gelap dan terang."

Hendrick terdiam, memahami kalimatnya, lalu menulis pelan di bukunya.

"Apa itu pelajaran waktu dewasa nanti?" tanya Hendrick lewat tulisannya.

Nancy tersenyum kecil. "Ya, pastinya. Lebih dari itu, bahkan kadang."

"Tapi kelihatannya Kak Justin itu baik. Buktinya jasnya kakak pakai terus." Hendrick kembali mengajukan bukunya. Membaca tulisan itu membuat pipi Nancy merah. Ia melihat jas Justin, kemudian tertawa kering.

"Bukan begitu maksudnya. Aku ini nggak bawa jaket, jadi terpaksa pake yang ada aja. Bukan apa-apa kok."

Hendrick diam. Ia kembali menulis lagi. "Tapi masa iya kakak mau sebal sama orang yang punya sisi baik kayak dia?"

Sejenak, Nancy terdiam lagi. Itu adalah pertanyaan yang selalu hatinya tanyakan sendiri pada logika. Nancy masih ingat bagaimana pedasnya kata-kata Justin yang menamparnya malam ketika mereka bertemu di depan kamar ibunya. Nancy masih ingat dengan jelas bagaimana marah dan kecewanya ia pada dirinya sendiri akibat kata-kata Justin yang benar sekaligus menusuk kenyataan yang paling Nancy takuti soal hidupnya.

Ia hanya hidup di ambang batas rasa kasihan orang-orang.

Perlakuan Pak Adi yang kasihan padanya, perlakuan Justin yang kasihan padanya dan tidak jadi membatalkan perjanjian, perlakuan Rini yang setengah hati harus bekerja sama dengannya, Kak Lia, dokter Wu...

Nancy masih ingat bagaimana rasanya berada di tengah-tengah jurang yang hampir saja menalannya bulat-bulat karena dorongan Justin yang begitu kuat itu. Ia tidak mungkin merasakan sakit hati yang rasanya masih ada. Tapi seharusnya Nancy tidak bisa menyalahkan semua itu kepada Justin. Justru ia harusnya berterima kasih, berkat Justin, ia jadi tersadar, ia jadi semakin mengerti keadaan dan dirinya sendiri. Bahwa tidak semuanya harus menjadi sempurna. Mungkin Nancy memang hidup di ambang rasa kasihan orang-orang, tapi di sisi lain, Nancy harus bangkit. Ia tidak boleh selamanya begini-begini saja. Dicaci maki sana-sini, terima saja. Justin benar, ia harus mengangkat dagunya sedikit. Berbangga pada dirinya sendiri supaya dunia tahu, kalau ia layak tinggal dan hidup di antara mahkluk yang lain.

Setelah itu semua, apakah Justin pantas dibencinya terus menerus?

Gue nggak selamanya sama.

Kalimat itu, kalimat yang masih Nancy simpan dalam hatinya. Logika menolaknya untuk menerima itu, tapi alam bawah sadar Nancy tahu, kalau ia tidak pernah memandangnya selalu sama.

"Aku bukannya sebal. Aku cuman jaga jarak. Ingat, kan? Aku takut suka sama orang yang kayak gitu. Aku nggak mau."

Hendrick memiringkan kepalanya, bertanya kenapa untuk kesekian kalinya. Untuk satu kali tulisan, anak itu menyerahkan bukunya, Nancy membaca tulisan itu.

"Jadi cowok yang waktu itu kakak ceritakan itu Kak Justin?"

Nancy terjebak di antara ruang hitam di dalam otak dan hatinya. Ia takut menyukai Justin. Ia takut untuk merasa tidak layak. Karena sesungguhnya ia memang tidak layak untuk siapa-siapa.

"Hendrick, aku cuman kupu-kupu yang hidupnya sebentar. Nggak layak di sukai sama siapa-siapa. Jadi, lebih baik nggak usah berharap banyak sama siapa pun, kan?"

----

Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️

Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.

Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro