21 : Yang terjadi di malam sebelumnya
"Lebih baik diutarakan, nggak ada salahnya, kok." Justin berdiri di samping Hendrick yang sedang menggenggam suratnya. Ia merasakan angin malam berembus melewati telinganya.
"Tapi aku takut dia nggak terima kondisiku." Hendrick menulis lagi. Justin hanya tersenyum tipis, menikmati angin malam yang mengacak-acak poni rambutnya hingga menusuk-nusuk mata. Saking dinginnya, ia sampai tidak merasa kesakitan dengan ujung rambut yang menusuk-nusuk itu. Atau mungkin, hanya seluruh tubuhnya yang mati rasa kecuali ingatan soal penyakitnya yang dibicarakan dokter Wu beberapa saat yang lalu.
Justin menoleh ke arah Hendrick yang seolah-olah kehilangan arah. "Kan, aku bilang cuma utarain aja. Utarakan itu artinya kan kamu jujur sama dia, bukan artinya dia harus terima kamu, kan? Percaya sama aku, pasti rasanya lebih baik. Lagi pula, kamu bakal tahu arti cinta yang sebenarnya waktu udah besar nanti."
Tangan Hendrick kembali menulis pendapatnya.
"Bagimana dengan kakak sendiri? Kakak bilang, waktu cewek itu bantuin kakak, kakak merasa cuman dia satu-satunya orang yang mengetahui kakak aslinya."
Membaca kalimat itu tergores di buku pembantu Hendrick, Justin tertawa pelan. Sambil memandang langit malam, ia bercakap sendiri.
"Maksudnya kamu suruh aku nyatain perasaan? Emangnya aku ini udah suka sama dia?"
Hendrick hanya mengendikkan bahunya, memasang wajah "mungkin saja" dengan polos.
"Hendrick, yang namanya cinta itu bukan asal kamu utarain begitu aja. Kamu juga harus tahu timingnya. Dan saat ini, masih belum tepat."
Kepala Hendrick miring sedikit, memberi isyarat "kenapa". Justin awalnya tidak yakin untuk menjawab. Tapi kata-kata itu, kegelisahan, ketakutan, dan juga kekecewaan yang rasanya sudah ada di ujung lidahnya tidak bisa lagi dihentikan. Ia memandang pemuda tampan berketurunan Belanda itu menahan parau dari mulutnya.
"Karena waktu yang aku punya tinggal 3 bulan lagi. Aku nggak mau kasih kebahagiaan semu buat orang lain lagi."
xx
Rini menggebrak berkasnya tanpa sadar, membangunkan hampir lima kepala bapak-bapak yang sedang fokus mendengarkannya bicara. Ia menatap Nancy setengah geram, kertas gambar yang ia gemggam rasanya bakal diremas-remas lalu di lemparkan ke wajahnya. Awalnya Nancy tertegun tidak mengerti kenapa Rini tiba-tiba menatapnya begitu. Mood-nya hari ini memang sedang tidak baik. Dari tadi pagi, ia pusing memikirkan proyek lain yang tiba-tiba minta berubah desain. Padahal semua desainnya sudah di-submit dan akan melakukan pemasangan dekat-dekat ini.
Ditambah hari ini, Justin menginginkan meeting dadakan. Ia asal menyuruh Nancy untuk memeriksa data revisi yang terakhir dan salahnya ia tidak mengecek ulang data yang di bawa Nancy. Alhasil, data yang dibawa itu salah semua dan itu melipat gandakan semua kebenciannya terhadap Nancy.
"Lo tuh bisa kerja nggak, sih? Kan gue bilang ini data kemarin!" Rini gila, pikir Nancy. Di ruang pribadi begini, mentang-mentang dia kepala desain lampu, dan yang ikut meeting saat itu hanyalah bawahan staf-staf dari kontraktor, ia bisa seenaknya membentak Nancy begitu saja?
Nancy tergagap, antara kaget melihat reaksi Rini yang berlebihan, dan kaget atas kesalahannya sendiri. Ia menatap gadis yang melotot ke arahnya.
"Ma—"
"Marah-marahnya jangan di depan muka gue deh. Urus masalah kalian berdua nanti lagi," celetuk Justin seketika membuat semua orang terkejut. Begitu juga Nancy yang langsung menoleh ke arahnya. Meski terdengar aneh kalimat barusan, tapi itu bisa membuat Nancy sedikit bernapas, mendapat bantuan kecil untuk menyuruh Rini tutup mulut. Rini menghela napas keras-keras. Ia melirik Justin dengan ekspresi melunak, tapi ketika matanya bertemu dengan Nancy, Rini seakan bisa mencolok bola matanya tanpa menggunakan apa-apa.
Kesalahan kecil, kok, memang harus sampai bereaksi seperti itu? pikir Nancy kembali duduk, membantu menganalisa meeting. Ia tidak begitu fokus karena rasanya, seketika omelan Rini barusan membuat suasana menjadi canggung. Orang-orang lain menatapnya enggan, dan bahkan ia semakin terasa menjadi bayangan saja di ruangan itu. Rasanya ia ingin cepat-cepat pulang saja.
Tuhan, kenapa ada orang sebegitu menjengkelkannya begini?
"Mana gambar lantai 2, siniin!"
"Lo gila ya? Ini yang kemarin lo titikin salah semua. Kan gue bilang jaraknya 30 senti, kenapa nempel dinding banget? Lo sekolah apa tidur sih dulu?"
"Tuh, lihat kan, ini yang kemarin gue suruh ganti, lo nggak ganti.."
Nancy mengepalkan tangannya. Suara-suara Rini yang penuh tekanan memenuhi gendang telinganya. Ia seperti ditatap Justin dari jauh, tapi ia tidak peduli.
"Kak, ini kan revisi satu, aku cuman salah print aja, kok."
"Lo bilang cuman? CUMAN?" Rini kian melotot, semua orang kembali berpusat padanya.
"Lo pikir ya kesalahan lo. Seenaknya lo bilang cuman--"
"Bisa nggak, kita skip ke bagian yang lo pegang aja? Itu yang penting. Kenapa lo jadi omel-omelin karyawan lo? Gue juga belom minta gambar itu kok, santai bisa?"
Lagi-lagi Nancy menatap Justin terheran-heran dari kursinya. Anak itu salah minum obat ya? Rini kian menggebrak berkasnya dengan kasar, tapi orang-orang yang nampaknya sudah terbiasa dengan sikap Rini, hanya menggeleng kepala dan kembali berdiskusi dengan pelan. Sementara Nancy masih tertegun menatap Justin dari kejauhan, Rini tidak bisa menghentikan sesak di dadanya.
----
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro