20 : Yang sebenarnya terjadi
"Sebenarnya ada hal lain, selain aku takut suka sama dia. Permasalahan hidup orang dewasa lebih banyak dari itu. Dan menurutku, hidupku lebih penting daripada memikirkan soal percintaan lagi." Nancy melanjutkan seraya melempar senyum tipis ke arah pemuda itu.
"Tapi, selama kamu masih muda, nikmatin aja hari-harimu. Sebelum kedewasaan datang, kamu udah harus mempersiapkan diri, biar nanti nggak menyesal."
Pemuda itu kembali menulis lagi, agak cepat.
"Emangnya menjadi dewasa sesulit itu?"
Nancy berpikir sejenak. Memang sesulit itu? Apakah Nancy hanya berpikir sendiri kalau menjadi dewasa itu sulit? Ia pernah melihat pergaulan teman-temannya di sosial media seperti apa, bagaimana cara gaya hidup perkuliahan mereka yang mewah sedangkan Nancy harus membiaya hidupnya sendiri dengan bekerja tanpa kuliah. Merelakan harapannya pupus, dan mengabdikan dirinya sebagai anak paling tua untuk menjaga ibunya, membiarkan adiknya sendiri yang menjalani dunia perkuliahan yang Nancy impikan. Apakah sesulit itu menerima kenyataan pahit ditangan sendiri?
Sejenak, Nancy tidak menjawab apa-apa. Ia hanya menatap kosong pemandangan di depannya sementara pemuda itu terus menatapinya dengan pandangan penasaran.
"Mungkin sebagian orang nggak. Aku cuman kurang beruntung aja," ujar Nancy sambil menertawakan dirinya sendiri.
"Akhir-akhir ini aku juga ketemu sama teman baru. Dan dia juga mengeluhkan permasalahan menjadi dewasa. Aku jadi khawatir nggak bisa menghadapi itu," tulis pemuda itu beberapa saat setelah hening menjeda mereka. Nancy tersenyum memandangnya.
"Jangan terlalu dipikirin. Orang dewasa emang selalu ngerepotin. Tapi percaya aja, kamu bisa melewati masa-masa itu. Yang penting, cintai dirimu sendiri dan percaya kamu nggak pernah sendiri."
Pemuda itu memiringkan kepalanya, menatap Nancy bingung. Kemudian ia menunjuk ke langit.
"Jangan lupakan pencipta dunia ini. Kamu masih punya Dia buat menangis, dan mengadukan segala permasalahan kamu, kan?"
Senyum anak itu seketika terbit. Seperti ia mendapatkan jawaban atas segala permasalahan yang ia takutkan. Bagaimanapun, manusia selalu akan kembali mengingat sang pencipta. Meski kedewasaan menelan semua perasaan itu dan menggantinya dengan kekuatan duniawi yang begitu kuat, tapi percayalah, itu hanya sementara. Nancy belajar banyak soal itu, dan ia tidak ingin tidak melangkah bersama doa-doanya.
"Nama kakak siapa?" Pemuda itu menyodorkan bukunya lagi. Nancy terkejut kemudian tertawa.
"Astaga, kita belum kenalan, ya! Aku Nancy. Kamu?"
Seakan-akan semuanya berubah ketika Nancy melihat senyum pemuda itu, ia merasa hubungannya menjadi lebih baik. Entah kenapa, ia seperti memiliki teman yang benar-benar mengerti dirinya. Meski pemuda itu bisu, tapi bagi Nancy, ia tidak mengharapkan balasan apa-apa. Ia hanya ingin mengungkapkan semua sesak di dadanya. Ketika menjadi dewasa, semua permasalahan itu datang dan pergi. Menumpuk dan jatuhi pundakmu berkali-kali, dan harus bertahan berkali-kali. Dan menceritakan soal itu kepada pemuda itu ia merasa jauh lebih baik. Apalagi waktu melihat pemuda itu kembali tersenyum semangat. Ia seperti sukses menjabarkan permasalahan dan solusinya secara lengkap. Meski tetap saja, semuanya bergantung dengan cara orang menerima pendapat itu, tapi perasaan Nancy seperti dua kali lebih bahagia.
"Aku Hendrick. Di kamar 105 lantai lima. Kakak lantai berapa?"
Berkomunikasi dengan tulisan membuat Nancy lama-lama terbiasa. Ia segera menyahut kalau kamar ibunya sendiri ada di lantai 7 kamar 200.
"Kamu kenapa sering keluyuran malem-malem gini? Nggak ketahuan mama papa kamu?"
Hendrik tersenyum sambil menulis.
"Mama papa cuman taunya kerja aja. Lupa kayaknya kalau dia punya anak."
Nancy berdecak kecil melihat tulisan itu agak acak-acakkan. Seakan-akan Hendrick malas membahas orangtuanya.
"Mama papa kamu itu bukan lupa sama kamu. Mereka itu lagi cari duit, buat biaya rumah sakit ini, kan. Biar kamu cepat sembuh."
Hendrick menatap bulan di atas kepalanya, menghela napas. Memandangi polosnya wajah anak laki-laki ini, ia jadi sangat penasaran bagaimana suaranya jika sedang bicara. Tiba-tiba Hendrick mengangkat tangannya, menggerak-gerakkan tangannya berbentuk isyarat. Nancy agak tertegun, kemudian ia berseru kecil, "hey, aku nggak bisa bahasa isyarat--" Hendrick memotong sambil tersenyum, baru ia menulis lagi.
"Nggak apa-apa. Enaknya jadi bisu adalah kalau mau memaki orang nggak ada bahasa isyaratnya." Ia tertawa tanpa suara. Nancy terkikik membaca tulisan itu.
"Tapi kamu nggak memaki mama papamu sendiri, kan?"
Hendrick menatap Nancy beberapa saat, lalu jari telunjuknya terangkat.
"Satu kali." Isyarat Hendrick sambil tertawa lagi.
"Sekali tidak apa-apa. Tapi jangan sampai benci mereka. Kamu cuman butuh teman, kok. Kamu bisa cerita ke aku semuanya mulai hari ini. Gimana?"
Hendrick melempar senyum maut itu lagi.
"Kakak baik banget, walaupun awalnya ngeselin. Pasti banyak laki-laki yang suka, ya?"
Nancy yang membaca kalimat itu tersedak tawanya sendiri.
"Lihat, kan? Kamu pinter muji orang, ya!" Nancy dan Hendrick tertawa bersamaan.
"Soalnya orang yang kutemuin di sini itu juga sama baiknya kayak kakak. Dia mau dengan sabar dengerin cerita aku."
"Oh ya? Siapa?" tanya Nancy.
Beberapa saat menunggu jawaban anak itu, Nancy menguap. Rasa kantuknya mulai menyerang. Semakin malam, semakin dingin. Nancy heran kenapa Hendrick bisa berlama-lama dengan pikirannya di tempat seperti ini. Berada di atas sini, rasanya sangat berbeda dengan apa yang besok ia akan jalani. Ruang kantor yang hening, perselisihan dirinya dan Rini, obrolan di pantry yang tidak ada habisnya. Dibanding sekarang ini, memandangi wajah Hendrick di sampingnya, membuat Nancy merasa bersyukur, karena ia tidak terlahir menjadi seorang Rini yang workaholic. Ia bahagia menjadi Nancy, karena rasanya duduk bersama malam, begitu mendekatkan kita dengan sang pencipta.
"Ada, cowok seusia kakak kayaknya. Dia ganteng, gagah. Tapi sayang dia juga orang yang kesepian, jadi kita ngobrol banyak."
"Well, jangan khawatir, sekarang kamu nggak kesepian lagi kok. Aku bakal setiap hari ke sini, karena aku belum bisa pisah sama ibuku juga." Nancy sudah menceritakan ibunya yang sakit, anak itu agaknya mengerti.
Hendrick melempar senyumnya, lalu membereskan surat-surat itu. Sesekali ia bersin, dan menggigil. Nancy yang melihat itu melepas jaketnya kemudian memyerahkannya pada Hendrick. Enaknya memaksa orang bisu adalah, Nancy bisa dengan mudah memberikan kepadanya meski orang itu hendak menolak. Hendrick hanya geleng-geleng lalu mengucapkan kata "makasih" tanpa suara.
Setelah ia beres menyelipkan surat, Hendrick memandangi kertas-kertas yang terselip berjajar di lantai beton itu. Nancy yang seperti bisa baca pikiran Hendrick itu hanya menempuk pundaknya.
"Kamu benar-benar harus kasih tahu dia kalau udah sembuh. Suaramu, bisa balik lagi, kan?"
Hendrick hanya tersenyum, memberi jawaban tidak yakin. Tapi Nancy tidak ingin Hendrick berpikir tidak bisa. Anak itu memiliki sikap yang baik, Hendrick harus bisa membuat dirinya tidak lemah. Karena seperti itulah karakter yang Nancy baca selama ini di suratnya. Siapapun, bahkan jika perempuan yang Hendrick suka membacanya, harusnya ia tahu, kalau Hendrick sangat berjuang keras dalam melewati masa-masa hidupnya sekarang ini.
---
Pembahasan bab ini agak berat ga sih? Tentang menjadi dewasa, menurut kalian, poin apa sih yang harus diperhatikan? Mental, prestasi, pencitraan, semuanya penting sih. Tapi kira-kira apa yang bikin kita jadi dewasa setelah melewati masa masa itu? Share yuk!
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro