19 : Surat tersembunyi
Nancy terus mencabuti surat-surat lainnya dari selipan lantai di sisi perbtasan itu. Ada orang yang menyimpan surat-suratnya dengan cara seperti ini? Apa mereka mengira tidak akan ada yang pernah ke rooftop ini? Beberapa ada kertasnya yang masih bagus dan beberapa lainnya sudah kusam seperti terkena air hujan. Ujung-ujungnya mengering dan kuning, kadang mengerut. Semalam ia tidak sempat membaca semuanya, karena udara yang terlalu dingin, ia malah mengantuk ketika membaca kalimat pertama surat itu. Meski begitu, hari ini ia kembali lagi ke atas, masih penasaran dengan surat-suratnya.
Siapa yang meletakkan surat-surat ini ya? Ia tidak tahu apa maksud si pembuat surat, tapi cara menyelipkan rahasia serta curahan hatinya di antara selipan beton bukanlah ide yang baik. Bahkan Nancy masih tak menyangka, ia bisa menemukan surat itu di sana. Apa jangan-jangan itu adalah surat dari pasien yang sudah meninggal? Apa jangan-jangan ada rahasia yang disembunyikan dari pasien-pasien yang tak terucap? Nancy kian bersemangat, ia harus tahu siapa penulis surat-surat itu.
Setelah menemani ibunya beberapa saat, ia kembali naik ke atas. Kali ini dengan persiapan penuh. Jaket dan ponsel dengan daya baterai penuh untuk flashlight. Ia melangkah cepat ke atas, supaya bisa tidurnya tidak kemalaman juga.
Sampai di atas, suasana seperti kemarin. Angin menderu-deru dingin. Nancy menutupi kepalanya dengan kupluk hoodie yang ia pakai. Berjalan ke arah ruangan panel lalu berbelok ke belakang temboknya yang menghadap parkiran. Nancy melakukan hal yang sama seperti kemarin, berjongkok lalu mencabuti kertas itu satu per satu.
Ia duduk di lantai rooftop yang tidak dikeramik, mengapit surat-surat itu di bawah kakinya, menyalakan flashlight, lalu membacanya satu per satu.
Tulisan tangan yang rapi itu merujuk pada kalimat-kalimat manis tentang seorang laki-laki yang menyukai seorang gadis, namun tidak bisa diutarakan. Semakin larut Nancy membaca, kejadian demi kejadian dalam surat itu mengisi ruang imajinasi Nancy sendiri.
Tanggal 21 Juni,
ini adalah hari ke 90 aku ada di rumah sakit ini. Hujan dan panas telah lewati rumahmu berapa kali? Aku rindu sepeda sore itu sama kamu. Berpisah ternyata bukan hal yang baik. Meskipun bukan aku yang menginginkannya, tapi aku yakin waktu telah mengatur semuanya. Kamu baik-baik saja, kan? Apa aku bisa bertanya pada langit, apa yang ia lihat? Apa aku bisa bertanya pada matamu, apa yang kau lihat? Apa yang kau ingat? Masih adakah aku di bibirmu? Masih adakah aku di tanganmu? Untuk kau sebut namaku, untuk kau genggam tanganku, agar kita bisa selalu bersama?
H
Nancy mengedipkan matanya yang terasa kering. Siapa gerangan penulis ini? Kenapa begitu sedih ceritanya, pikir Nancy. Ia seperti berlarut-larut dalam surat itu, seakan-akan ia juga merasa sesak akan kerinduan dan cintanya yang gagal diucapkan.
Hampir seluruh isi surat itu tentang penulis yang sakit akibat kecelakaan dan lumpuh sementara. Nancy bisa merasakan bagaimana rasanya menyukai seseorang tapi takut untuk mengatakannya karena keterbatasan fisik itu. Ia selalu merasa tidak layak untuk dicintai, tidak layak untuk dimiliki karena tidak ada yang menarik dari dirinya. Bahkan keadaan itu sama seperti apa yang sedang Nancy alami sendiri sekarang. Dulu, Nancy hanya punya ibu dan adiknya yang menerima dia apa adanya, tapi sekarang, angin hanya membisikkan suara pelan untuk terus bertahan hidup di tengah orang-orang yang melihatnya seperti bayangan.
Nancy hampir menangis ketika ia sadar ia juga bukan orang hebat seperti Justin. Orang yang selalu dibicarakan, dikagumi, dan dipikirkan setiap hari oleh orang lain. Ia bukan sosok yang bisa melekat di hati orang sama seperti penulis surat ini. Jauh di lubuk hati ia ingin bisa seperti Justin, ingin orang-orang memusatkan perhatian, sekedar bertanya apa kabar, atau memberi bantuan, tapi waktu dan keadaan tidak mempersilakan tempatnya untuk ada di sana. Ia tidak di tempatkan pada hal-hal yang sebagian orang bisa mudah untuk dapatkan.
Sejenak, Nancy mengusap air matanya yang menggenang di mata.
Sekarang ia menyesal telah membuka rahasia orang lain. Apakah ini hukuman baginya juga? Akibat membuka rahasia orang lain, ia jadi ikut berbagi kesedihan di dalamnya. Nancy hendak meletakkan semua surat itu kembali ke dselipan, tapi gerakannya terhenti waktu samar-samar ia mendengar langkah kaki orang menyeret-nyeret di belakang ruangan.
Nancy kaget dan hampir berteriak ketika ia melihat seorang pemuda asing, berpakaian pasien muncul dan berdiri di hadapannya. Ia yang sedang menggenggam surat-surat itu seketika merasa tidak enak. Jangan-jangan surat ini...
Pemuda itu membelalakkan matanya ketika ia dan Nancy saling berpandangan, tanpa suara dan gerak cepat, pemuda itu menarik kasar semua surat yang ada di tangan Nancy. Nancy tersentak sejenak, memandang pemuda yang tergagap dan kaget, tapi tetap tidak mengatakan apa pun.
"Ma-maaf. Ini pasti, punyamu, ya?"
Pemuda itu kelihatan kaget, tapi tidak marah. Tangannya sibuk merapikan surat, lalu mengecek keselipan beton perbatasan dengan sigap. Ketika tahu kalau semua suratnya Nancy cabut dari selipan, ia benar-benar merasa sangat bersalah.
"Aku tahu nggak sopan, tapi, aku janji nggak akan bilang sama siapa-siapa, karena kurasa kita alamin hal yang sama." Nancy berusaha menenangkan pemuda itu, ia berkata tulus, berharap pemuda itu memaafkannya.
Bukannya menjawab, pemuda itu malah mengeluarkan sebuah buku kecil dari sakunya, lalu menulis. Nancy tertegun sejenak, jangan-jangan anak ini...
Pemuda itu menyodorkan buku kecilnya, lalu Nancy membaca tulisan di sana.
"Kamu baca semua?" tulis anak itu. Nancy antara tergagap dan terkejut melihat kenyataan bahwa pemuda tampan di depannya ini ternyata tunawicara.
"Ng—anu, sebenarnya nggak semua. Tapi—"
Pemuda itu menghela napas, ia menarik bukunya lagi, menulis lagi lalu menyodorkannya pada Nancy.
"Lebih baik jangan menyentuh sesuatu yang bukan punyamu." Tulisan pemuda itu menohok Nancy sekali lagi. Kesalahan pertama, ia memang terlalu lancang karena rasa penasarannya. Nancy hanya mengucapkan maaf lagi, agak merasa kecewa dengan dirinya sendiri telah menyentuh penulis surat yang ternyata wujudnya seperti ini.
Pemuda itu hanya menghela napas, lalu duduk di bawah, di belakang ruang panel tempat tadi Nancy duduk. Nancy tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain perasaan tidak enak itu. Ia hanya mengikuti pemuda itu duduk, berharap memaafkannya.
"Aku udah tahu isinya, dan menurutku, lebih baik kamu utarain langsung ke cewek itu." Nancy tiba-tiba menyeletuk ketika pemuda itu sudah terlihat melunak. Dari tempatnya duduk, ia mendongak, agak mengerutkan alis lalu menggeleng. Nancy yang awalnya merasa canggung, kini malah bersemangat.
"Kenapa nggak mau? Siapa tahu cewek itu juga suka sama kamu," ujar Nancy penuh semangat. Ia duduk di sebelah pemuda itu sekarang. Meski pemuda itu masih kelihatan sebal dengan kelakuannya yang tertangkap basah, tapi Nancy tidak peduli. Ia sudah lebih dulu merasa kurang ajar atas perbuatannya, dan ia hanya ingin menggantikan sikap jeleknya dengan berusaha berteman.
Pemuda itu menulis sesuatu lagi, lalu menyerahkannya pada Nancy.
"Kamu tahu apa soal perasaan? Biasanya orang yang sekenananya menyentuh barang-barang itu paling nggak mikirin perasaan orang yang punya barangnya."
Nancy menghela napas. Ternyata anak ini...
"Dengar ya, aku emang nyentuh barang kamu. Tapi aku kan jadi tahu, permasalahan kamu seperti apa, dan rasanya aku bisa bantuin kamu." Dengan penuh percaya diri, Nancy lancar menguntai kalimat.
Pemuda itu kembali menulis lagi. Wajahnya dingin, ia menulis dengan tangan kiri.
"Bantuin apa? Bantuin buat bilang ke suster kalau aku setiap malem keluyuran dan simpan surat-surat ini di sini?" Pemuda itu menatap Nancy setengah sebal setengah kecewa.
"Nggak. Emang aku orang yang kayak gitu? Aku ke sini juga karena..." Nancy menatap langit sejenak, baru menyelesaikan kata-katanya, "kesepian."
Pemuda itu menoleh lagi, menatapnya setengah tertegun. Seakan-akan, ia merasa tidak sendiri lagi.
"Hey, dengerin kataku, ya. Biasanya, cowok itu harus lebih berani buat utarain duluan, jangan bilang ceweknya nunggu."
Pemuda itu tersenyum miring, menulis lagi. "Emang kamu tahu rasanya jadi aku?"
Nancy tiba-tiba saling memandang. Pemuda itu hanya menggeleng sambil tersenyum. Ia menulis lagi.
"Kebanyakan, cewek itu mau cowok yang sempurna. Aku suara aja nggak punya, gimana mau ngomong perasaan ke dia?"
Nancy tersenyum tenang. "Berkomunikasi di dunia emang selalu pake kata-kata? Kalau kata BTS, salah satu boygroup dari Korea, mereka memang tidak bisa bahasa inggris, indonesia, jepang, atau bahasa yang lain untuk ketemu sama fansnya. Tapi mereka punya satu bahasa yang semua orang paham. Kamu tahu, bahasa apa?"
Kepala pemuda itu menggeleng tidak yakin. Sedangkan Nancy kian tersenyum puas.
"Musik. Kamu tahu, kan, Tuhan pasti selalu kasih cara lain untuk menyatukan kalian. Tulisan kamu itu indah, bahkan aku nggak nyangka kalau yang tulis itu ternyata anak laki-laki seumur kamu." Nancy jujur. Ia tidak menyangka awalnya kalau penulis itu adalah anak laki-laki yang masih kecil. Ia membayangkan bapak-bapak tua, atau bahkan seorang pria paruh baya dengan kursi roda. Tapi nyatanya, pemuda tampan dan berwajah cerah ini. Bagaimana bisa Tuhan sekuat itu menutupi kelemahannya?
Bibir pemuda itu agak tersenyum tipis, ia memandang Nancy lalu menyodorkan tulisannya lagi.
"Apa kakak pernah ngerasain hal ini juga? Kakak sakit apa emang?"
Nancy tersenyum ringkih, dari dasar hati yang dalam, sesuatu bergejolak ingin disebut.
"Aku nggak sakit. Aku cuman nggak tahu sama apa yang sebenarnya aku rasain. Aku benci sama seseorang awalnya, tapi ketika dia meminta maaf sama aku, aku malah kesal. Aneh, bukan? Harusnya aku memaafkannya, tapi yang kurasakan sampe sekarang ini, aku cuman takut pada sesuatu. Entah apa."
"Takut menerima perbuatan baik dari orang yang kakak benci?" Pemuda itu menyodorkan jawabannya di atas kertas buku itu.
Seketika, tenggorokan Nancy tersekat. Ia merasa kupingnya semakin dingin, dan ia ingin memeluk sesuatu.
"Aku takut, aku suka sama dia."
----
Jadi ternyata seorang Nancy takut menyukai pribadi Justin yang lain. Maksudnya pribadi yang lain adalah, setiap orang itu punya berbagai sisi untuk ditunjuk kepada orang lain. Jadi, sebenarnya nggak semua orang tahu sifat asli dari seorang Justin. Tapi akibat pertemuannya dengan Justin yang diluar kebiasaan orang normal, Nancy jadi takut merasakan perubahan seorang Justin jadi mempengaruhi sisi lain dari hidupnya sendiri. Kalian, pernah ketemu orang semacam ini? Kalau pernah, yuk coba cerita💦
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro