Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18 : Kali Pertama

Pada akhirnya, meeting siang tadi dihentikan karena Justin dalam kondisi tidak baik. Setelah Nancy menyusul cowok itu dan kembali ke ruangan, Rini tidak habis-habisnya menanyai kondisi Justin bagaimana. Tadinya Nancy mau bungkam saja, tapi karena Rini seperti ingin menikamnya jika tidak memberi jawaban, akhirnya ia hanya berujar setengah menekan kalau ia tidak tahu.

Rini sempat mencurigai, "terus lo ngapain lari ke luar nyamperin dia?"

Dengan akting yang sudah terlatih, ia hanya menjawab santai. "Siapa yang ngikutin dia? Orang aku ke toilet kak. Dari tadi aku tahan pipis. Pas dia keluar ya udah sekalian aja. Aku bener-bener nggak tahu apa-apa."

Rini menyipitkan mata, setelah itu kembali menyetir dalam diam.

Diam-diam sampai detik ini, sampai malam tiba, Nancy masih tidak mengerti dirinya sendiri kenapa ia mempunya refleks "menurut" pada suatu hal. Kenapa ia tidak bilang saja ya kalau Justin itu punya sakit lambung yang kelihatan parah? Setiap kali memikirkan itu, ia dan Justin seperti memiliki sesuatu yang tidak orang lain tahu selain mereka berdua. Sesuatu yang kedengarannya spesial namun sebenarnya sangat naif. Nancy memang tidak punya alasan lain selain menuruti kata Justin. Mungkin itu untuk pribadinya sendiri, tapi ia tidak tahu kalau ternyata ia sendiri juga cukup peduli terhadap masalah cowok itu. Mungkin tidak sengaja peduli.

Meski demikian, Nancy sebenarnya hanya tidak mau berurusan lagi dengan orang itu. Sudah cukup tekanan batinnya, dan ia tidak mau lagi menjadi bodoh di hadapan cowok itu. Lebih baik ia menurut dan menelan omongan kasarnya daripada harus menelan tiga kali lipat dari apa yang Justin lakukan pada karyawan kecil sepertinya.

Nancy berdiri di depan kamar ibunya. Sambil memandangi dengan penuh perhatian, dokter Wu, spesial organ dalam itu sedang memeriksa keadaan ibunya seperti biasa. Dokter Wu lumayan berperan juga dalam perawatan ibunya selama ini. Meski ada beberapa dokter saraf lain, tapi dokter Wu terbilang cukup ramah dan menarik. Wajahnya meskipun sudah tua, masih bisa membuat tenang orang-orang yang menunggui pasiennya. Mungkin itu tujuan kenapa dokter terlihat menarik, supaya psikologis dan mental pasien lebih tenang dan nyaman. Ah, dunia yang seimbang, pikir Nancy.

Tidak ada lima menit, pemeriksaan selesai dan dokter Wu keluar ruangan dengan senyum hangatnya seperti biasa.

"Ibu kamu masih belum bisa dipanggil. Tapi semuanya baik-baik saja, pencernaannya tidak ada masalah," katanya langsung sambil meletakkan stetoskop ke kantung jas prakteknya. Nancy melirik ibunya sejenak.

"Makasih, dok."

Dokter Wu hanya tersenyum mengangguk, lalu hendak pergi. Tapi tiba-tiba sesuatu yang mengganjal di kepala Nancy sejak tadi membuatnya kembali memanggil dokter itu.

"Dokter kenal Justin Wijaya?" Pertanyaan itu terpental begitu saja dari mulutnya. Sesuatu yang janggal berhasil ia luapkan. Nancy juga tidak tahu pasti kenapa ia tiba-tiba ingin menanyakan hal ini, tapi sejak permintaan maaf di restoran waktu itu...

"Ya?" Dokter Wu menoleh sambil kembali mendekat.

Nancy awalnya tidak yakin apakah ini akan menjadi pertanyaan yang lancang atau bagaimana, tapi ia tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya itu.

"Justin Wijaya? Kamu siapanya?" Di luar perkiraan, dokter Wu malah berbalik bertanya.

"Ah.. aku cuman partner dikerjaan, dok."

"Oh," dokter Wu menggangguk, tapi tidak ada kalimat lagi setelah itu.

"Kenapa dok?"

"Nggak apa-apa," katanya lagi sambil tersenyum hangat.

"Dok, dia itu sebenarnya sakit apa? Kenapa waktu itu perutnya sampai bikin dia nggak bisa jalan, ya?" Nancy bertanya lurus tanpa membuat getaran dalam suaranya. Rasanya kalau penyakit itu sudah kedengaran parah ia harusnya memaki-maki Justin untuk tidak mengancam manusia lemah sepertinya dan malah harusnya berkaca diri. Tapi tunggu...

"Ibu kamu butuh temen, tuh. Sana temenin. Saya masih ada urusan, permisi dulu, ya."

Dokter Wu meninggalkan senyum terakhirnya sebelum berbalik, lalu ia berjalan tanpa meninggalkan jawaban apapun dari pertanyaannya. Nancy melihat dokter Wu yang berbelok ke koridor lalu menghilang di antara kermunan pasien di lobi.

Sejenak, Nancy memandangi sepatunya, berpikir.

Perasaanku aja, apa kelihatannya dokter Wu menyembunyikan sesuatu soal penyakit Justin Wijaya?

xx

Langit malam itu cerah. Nancy berdiri di rooftop rumah sakit. Ketika mendongakkan kepala, bintang seperti menghujaninya dengan tatapan penuh gemerlap. Seakan membuatnya tidak merasa sendiri. Angin berembus, Nancy heran ia kedinginan. Padahal kota yang kalau sedang siang begitu panas dan terik ini, malam malah tetap mengigil. Untung ia bawa jaket parasut yang setiap hari ia pakai itu.

Di belakang gedung, Nancy memenuhi pandangannya. Parkiran sepi, jalan raya yang samar-samar nampak dari antara pohon-pohon yang menepi di sekitar gedung rumah sakit. Mini supermarket yang ada di dekat pintu masuk rumah sakit, dan beberapa petugas yang berdiri dengan agak mengantuk, berjaga di posnya.

Rooftop yang Nancy datangi ini berbeda dengan balkon di mana ia melihat Justin dan dokter Wu waktu itu. Tempat ini agak menyepi dan jauh dari peradaban. Mungkin karena harus memakai tangga darurat di pojok lorong, jadi menyulitkan pasien untuk naik tangga sampai atas sini.

Nancy memejamkan mata, merasakan angin menyentuh wajahnya. Rasanya hangat sekali berada di suasana seperti ini. Ketika hanya ada dia dan kesendiriannya, langit seakan menemaninya, membuatnya tidak sendiri, meski tahu kalau ketika Nancy kembali ke bawah, semua permasalahan dan kekhawatiran akan kembali ke dalam punggungnya yang perlu ia pikul setiap hari itu.

Ia melangkah mundur sedikit, bersandar ke dinding panel listrik yang berdengung rendah. Sambil berjongkok, ia menengadah ke langit. Sejenak, Nancy merasa seperti melihat sesuatu di antara beton yang membatasi rooftop. Dalam penerangan yang tidak jelas, Nancy mendekati sisi beton perbatasan. Ia mengernyit, sesuatu bergerak-gerak waktu angin menerpa. Di sepanjang sisi beton perbatasan itu, ada sebuah kertas yang dilipat dan disisipkan di antara beton lantai yang tak rata. Posisi kertas itu agak mencuat dari lantai.

Ketika angin menerpa lagi, Nancy semakin penasaran dengan kertas yang terselip di antara lantai dan perbatasan beton itu. Apa itu? Kertas?

Tanpa berpikir lagi, ia mencungkil sedikit kertas itu, menariknya keluar lalu secarik kertas lusuh yang terlipat menjadi beberapa bagian kini digenggamnya. Dengan masih tertegun dalam bingung, Nancy memandangi kertas-kertas yang lain di sepanjang lapisan beton yang tak rata itu lalu membuka lipatan kertas itu perlahan-lahan. Ia agak berjalan ke dekat pintu tangga, berharap sinar lampu bisa memberikannya petunjul Lalu ketika ia berhasil membaca tulisan panjang di kertas itu, mata Nancy membulat.

Surat?

----

Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️

Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.

Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro