17 : Ada hal yang harusnya masih bisa diperbaiki, kan?
Dua hari setelah kunjungannya ke rumah sakit waktu itu, Justin sudah menyiapkan dirinya. Ia tidak membalas pesan ibunya lagi, dan ayahnya yang adalah direktur perusahaan juga sibuk dengan pekerjaannya. Lebih baik begitu. Pelan-pelan ia harus menjaga jarak supaya ia bisa menyimpan sendiri rahasianya dengan baik. Ini hanya antara ia dan dokter Wu. Dan, oh...
Justin memandang ke penjuru ruang meeting, mendapati wajah asisten tuanya sedang duduk dan mencatat sesuatu di berkasnya.
Dia bisa saja mengetahui hal ini kapan saja...
Asisten tua, atau yang Justin sering panggil Pak Leo, sudah hampir 20 tahun bersama keluarga mereka. Ketika Justin masih kecil, Pak Leo-lah yang merawatnya ketika Justin sendirian di rumah. Masa-masa ayah jarang pulang dulu, Pak Leo mengetahui semua keluh kesahnya. Ia ingin memiliki teman untuk bermain basket, memiliki teman untuk diajak telepon ketika malam tiba, Pak Leo tahu itu semua bahkan ketika Justin tidak mengucapkannya. Bahkan Justin lebih merasa nyaman bersama Pak Leo ketimbang ayahnya yang keras kepala sendiri.
Tidak, ini bukan saatnya memikirkan itu, pikir Justin. Ia kembali fokus pada data meeting dengan konsultan lighting hari ini. Gambar-gambar kerja, spesifikasi lampu dan penarikan kabel yang harus ia perhatikan supaya detail bangunan tidak terkikis saat pemasangan dilakukan. Tapi semakin Justin berusaha fokus, ia merasa sesuatu mulai menerjang perutnya.
Oh tidak.
Perutnya mulai bergejolak lagi. Seperti sesuatu sedang mengaduk-ngaduk lambungnya, selayaknya koki sedang mengaduk adonan kue dengan gerakan penuh kekuatan. Justin tidak tahu separah apa lapisan perutnya bertahan, tapi itu tidak bisa membuatnya bertahan lama. Rasa asam yang begitu perih menggetarkan seluruh tubuhnya. Rasanya hampir sama seperti ketika waktu itu sekarat di mobil malam itu. Ia tertunduk seketika, memegangi perutnya hingga semua orang yang ada di dalam ruang meeting terkejut. Terutama Pak Leo yang langsung berlari ke kursinya menanyakan kondisinya. Justin sempat melirik ke arah gadis konsultan itu, wajahnya tertegun memandanginya. Ia tidak bisa ditelanjangi begitu. Lalu tanpa ucapan apa-apa lagi, Justin beranjak dari kursinya dengan kekuatan yang ia punya, berlari keluar ruangan.
xx
Di lorong yang agak jauh dari ruang meeting, dengan tangan gemetar hebat seraya menahan nyeri di perutnya, Justin susah payah membuka tempat obat kapsulnya itu lalu menelannya dua butir tanpa air putih. Ia terpejam, memaksa obat itu segera turun dari kerongkongannya supaya cepat sampai ke lambung, meredakan sakit itu. Keringat dingin mulai memenuhi keningnya, Justin bersandar dan terduduk di lantai tanpa ada orang yang mengetahui keberadaannya.
Ketika Pak Leo mengikutinya, Justin mendorongnya jauh sampai terjatuh supaya ia tidak mengikutinya dan berlari cepat ke lorong sepi ini. Lorong kecil yang hanya memiliki satu jendela dan jalan buntu. Ia memburu napas, sesak rasanya. Gemetar itu memenuhi seluruh tubuhnya sampai ia tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Seakan-akan semua kekuatannya habis hanya untuk merasakan nyeri dari lambungnya itu.
Ia semakin memeluk tubuhnya, berharap lambungnya segera stabil. Tapi tiba-tiba dari lorong depan, ia mendengar langkah lari seseorang dan terkejut ketika gadis itu berdiri tepat di belakangnya.
"Masih sakit? Obat lo mana?"
Justin tertegun sesaat. Ia tidak bisa berteriak mengusirnya pergi. Gadis itu lagi.
Karena masih menahan sakit dan tidak memiliki tenaga lebih, ia menghiraukan gadis itu, memilih merekatkan pelukan tubuhnya sendiri. Gadis yang tidak mendapati jawaban itu langsung membungkuk mulai mencari-cari obat sama seperti yang ia lakukan ketika malam itu. Justin menyodorkan tempat obat yang ia genggam, dengan tujuan supaya gadis itu mengerti kalau ia sudah meminumnya. Dan gadis itu mengerti, ia menghentikan gerakannya, lalu bergerak agak mundur, memandanginya dari depan.
Justin menyembunyikan wajahnya dari kedua lututnya.
"Udah tahu sakit lambung, pola makan masih nggak di jaga. Dasar bodoh." Kata-kata yang meluncur dari mulut gadis itu membangkitkan emosi Justin. Ia mengangkat wajah, memandang gadis di depannya dengan ekspresi campur aduk. Antara sedang menahan rasa sakit dan marah, tapi tatapan gadis itu seketika melunak.
"Gue lagi sakit aja masih lo marahin. Lo bener-bener nggak punya otak, ya?"
"Ngaca, ya. Kalau lu sendiri punya otak, pola makan di jaga! Gimana mau melindungi orang kalau lo sendiri nggak bisa jaga diri lo?"
Sedetik, Justin seperti ditampar. Gadis yang tidak tahu apa-apa itu bangkit berdiri lalu pergi meninggalkannya dengan langkah menghentak-hentak marah.
Nyeri di perutnya sudah agak mereda. Tapi kini suara gadis itu mulai terngiang-ngiang di kepalanya.
Kalau lu sendiri punya otak, pola makan di jaga! Gimana mau melindungi orang kalau lo sendiri nggak bisa jaga diri lo?
Justin merasa sesak dalam dirinya. Ia membuang wajah ke luar jendela, melihat siang yang begitu terik menyirami perkotaan dengan macet dan kesibukan.
Apa yang bisa ia jaga? Apakah dunia yang ia pandangi saat ini akan selalu seperti ini? Apakah selamanya ia bisa menggenggam apa yang sudah ia raih tapi tubuhnya terlalu lemah dan ringkih karena bebannya terlalu berat?
Apa yang bisa ia jaga selain harta dan tahta yang ia miliki saat ini?
Apa yang bisa ia bawa ke dunia setelah ini, selain dua itu?
Justin tertohok di kalimat gadis itu. Tepat di pusatnya, ia merasakan nyeri lain yang begitu hebat.
Tidak ada. Ia tidak memiliki apa-apa.
----
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro