15 : Dia bener-bener salah minum obat
Proyek Four Season resmi di lanjutkan kembali setelah satu minggu membahas gambar kerja dari arsitek. Jika gambar kerja arsitek sudah diserahkan ke pengawas dan sesuai dengan lapangan, maka konsultan lighting sudah bisa memulai gambar kerjanya sendiri.
Pak Adi yang tahu progress proyek ini bersama pihak klien berjalan dengan baik setelah beberapa hari badai soal pembatalan kontrak itu, akhirnya, keseharian Pak Adi dalam minggu ini sepertinya terlihat sangat tenang. Tidak seperti waktu Nancy berada di ambang kematiannya. Apalagi proyek ini dipegang oleh Rini yang katanya paling rajin, bahkan mau sampai berlembur-lembur.
Tatkala Rini juga pernah membawa pekerjaannya ke rumah demi mengejar deadline. Mengingat itu, rasanya Nancy mau muntah. Pekerjaannya memang tidak sebanyak Rini, tapi kadang melihat seseorang sampai workaholic seperti itu rasanya tak habis pikir. Memang tidak ada salahnya, tapi bagaimana bisa Rini tidak memikirkan waktu hiburannya sedikit? Tapi kalau pekerjaannya adalah hiburannya, ... ya Nancy tidak bisa berkata-kata apalagi. Lagipula itu Rini, apa peduli dia? Gadis arogan itu, sampai sekarang saja masih memperlakukannya seperti awal-awal ia masuk. Padahal ini sudah memasuki 2 minggu Nancy bekerja.
Berhadapan dengan Justin di ruang meeting, Nancy ingat sekali terakhir kali bertemu dalam keadaan di luar perkiraannya. Sekarang cowok itu duduk manis seakan tidak terjadi apa-apa.
Jangan bilang siapa-siapa.
Lagi pula, apa peduli dia sampai harus mengumumkan kalau Justin kejang-kejang sekarat hampir tidak ada yang menolong jika bukan Nancy yang datang secara kebetulan? Justin seharusnya merasa beruntung kali itu ia selamatkan. Tapi sepertinya kejadian malam itu seperti menguap saat itu juga. Bahkan hari ini, ketika meeting berjalan, Justin tetap seperti Justin yang pertama kali ia kenal.
"Kalau begitu kita pamit dulu, pak. Nanti keputusannya akan saya emailkan bersamaan gambar kerjanya ya. Terima kasih, permisi, pak." Rini dan Nancy sudah membereskan berkas-berkas dan hendak keluar. Saat itu ia meeting cepat dan selesai saat jam makan siang. Tapi saat keduanya bangkit, Justin mengangkat wajah dan memandang Nancy yang tidak sadar.
"Rini, gue pinjem karyawan lo lagi."
Wajah Rini menekuk. Ia seketika memandang Nancy yang tertegun melihat Justin. Tapi kali ini ia tidak melemparkan senyum lagi, ia langsung keluar ruangan dengan langkah menghentak-hentak dan menutup pintu keras-keras sampai berdebum menggema ke seluruh ruangan. Nancy yang kini kembali berada di situasi paling menyebalkan--yaitu berdua bersama cowok bermulut kasar ini—hanya menyingkapkan tangannya di depan dada.
"Ngapain lagi?"
"Ikut gue." Justin berdiri, membereskan berkasnya sejenak lalu keluar ruangan tanpa memandangnya sama sekali.
"Kemana? Gue nggak punya waktu."
"Yang pasti nggak gue culik. Nggak ada harganya juga lo." Justin mulai keluar ruangan tanpa menoleh, membuat asap di kepala Nancy mulai mengepul.
Rasanya kalimat demi kalimat yang semakin Justin ucapkan sudah terdengar biasa. Nancy marah, tapi tidak sedengki waktu pertama kali. Ia seakan-akan mengenal Justin lewat sikap buruknya itu. Justin sudah biasa menyeletuk seperti itu, biarlah lakukan semau dia, pikir Nancy. Kalau di lawan bisa jadi bumerang, tapi kalau dibiarkan anak itu malah semakin tidak tahu diri. Dari pada emosi batin, Nancy memilih menarik napas, lalu mengembuskannya pelan-pelan dalam upaya menenangkan batinnya.
"Ayo," dari depan pintu kali ini Justin menoleh sambil menahan pintu. Dan Nancy hanya berpasrah menurut pada iblis di depannya itu.
xx
Nancy terkejut bukan main waktu Justin memakirkan mobilnya di depan sebuah restoran mewah di dekat pinggir kota. Otaknya seperti membeku dalam keramaian suasana restoran siang itu. Ia menatap Justin terkejut, tapi cowok itu hanya menunduk diam, membaca menu, lalu dengan santai mengangkat tangan, memanggil pelayan dan dengan anggunnya mengucapkan pesanan.
"Lo mau apa?"
Otak Nancy yang belum sinkron itu akhirnya meledak ketika matanya bertemu dengan mata cowok yang menatapnya terlalu lama itu.
"Lo sakit? Ngajakin gue makan di sini? Gue nggak—"
"Nggak usah bawel. Gue yang bayar."
"Ngapain sih ngajakin gue? Nggak punya temen?" Nancy membanting buku menu. Si pelayan yang berdiri di sampingnya hanya menatap notesnya, berpura-pura tidak mendengar percakapan keduanya. Nancy tidak habis pikir, ada apa anak ini tiba-tiba mengajaknya makan, duduk berdua berhadapan di restoran mewah yang makannya pakai pisau dan garpu? Nancy ingin meledak rasanya. Justin itu benar-benar tidak punya otak ya? Makan siang harga lima belas ribu rupiah saja ia sudah sesak napas, ditambah makan di tempat antah berantah seperti ini. Kalangan para bos mengisi meja setiap sudut restoran, pelayan dengan baju menawan hilir mudik, rapi melayani setiap pengunjung layaknya raja. Lah, sedangkan Nancy?
"Buruan pilih. Gue cuman nggak mau punya utang sama lu," ujar Justin sambil menunjuk buku menu dengan dagunya lalu dengan tatapan intens memandang Nancy seakan-akan cowok itu super duper yakin menyatakan kalimat barusan.
"Utang? Utang apa?" tanya Nancy tidak mengerti.
"Nasi instan lo yang kemarin."
Seketika Nancy tertawa miring. Giliran dia yang menatap takjub cowok itu "Tenang aja, duit gue nggak ada harganya kan di mata lo, nggak usah ngerasa hutang budi juga." Ia berdiri, benar-benar tidak ingin ada di sini. Apalagi dengan makan dari kantung laki-laki brengksek itu. Lebih baik ia menahan lapar daripada harus menyicipi uang Justin.
Ketika Nancy hendak beranjak, secara mengejutkan, pergelangan tangan Nancy dicekal olehnya.
"Sekeras kepala inikah lo?" Justin menatap Nancy dalam-dalam.
Apa-apaan, sih dia? Sakit jiwa, ya?
"Duduk." Satu kalimat dengan nada ketus Justin keluar dari mulutnya. Yang entah bagaimana menghipnotis gerakan Nancy untuk mundur dan menurutinya. Masih dengan wajah menahan curiga dan sebal, ia pun duduk kembali ke kursinya. Pelayan tadi sudah pergi entah kemana, sepertinya ia tahu keduanya masih butuh waktu untuk bertengkar.
"Soal kemaren lo nggak cerita ke siapa-siapa, kan?"
Ah, Nancy tahu rencana Justin sekarang.
"Nggak penting buat gue juga," sahut Nancy lurus. Ia sama sekali tidak menyentuh buku menunya lagi, malah berpaling memandang orang-orang di sekitarnya daripada menatap laki-laki yang memuakkannya itu.
"Terserah. Gue cuman bilang, ortu atau siapa pun nggak ada yang boleh tahu soal itu."
Nancy seketika merasa geram. "Apa sih? Tahu apa? Tahu lo sakit lambung? Terus apa peduli gue?"
Kenapa sih Justin ini? Itukan hanya penyakit, kenapa sampai harus segala dirahasiakan seperti rencana negara saja?
"Sebegitu bencinya lo sama gue?" tanya cowok itu sejenak.
Nancy terdiam di mata Justin. Memberi ruang jeda dalam beberapa detik sebelum ia berkata lagi.
"Sori."
Tiba-tiba kata-kata itu meluncur dari mulut Justin. Nancy mengerling kaget. Ia mengerut samar, menatap Justin lekat-lekat.
"Lo beneran sakit ya? Lo ngigau? Atau kesambet? Atau besok mau mati makanya ngomong gini?"
Justin tidak menjawab langsung, cowok itu menyesap air putih di atas meja. Raut wajahnya melunak, ia menatap biasan wajahnya sendiri dari pantulan gelas kaca itu. Sejenak, ia menatap Nancy lurus.
"Lo emang nggak kenal gue, tapi soon or later, proyek yang ada di tangan kita ini memaksa kita buat menjalin hubungan. Gue nggak mau proyek ini berjalan nggak baik karena gue dan lo musuhan." Kalimat itu entah bagaimana keluar secara mengejutkan dari mulutnya. Nancy yang mendengar itu hanya bisa terdiam, merasa ada yang aneh dari diri Justin yang ia kenal selama ini. Rasanya, kalimat barusan adalah kalimat yang biasa ia utarakan pada klien-kliennya, meyakinkan prinsip visi dan misi perusahaan hingga entah bagaimana semua kata-katanya berhasil menyentuh hati mereka. Kalimat yang menyatakan usaha memperbaiki hubungan. Dan Nancy merasa kalimat barusan meluncur dengan sangat sempurna. Seperti Justin sudah benar-benar memikirkan kalimat itu untuk dikatakan dalam suasana seperti ini.
"Terserah lo mau berpendapat apa, yang penting gue udah utarain semua apa yang mau gue bilang ke elo."
Nancy memandang Justin lekat-lekat, seperti ingin memastikan kalau perkataan tadi benar-benar keluar dari mulutnya yang pedas itu. Manusia memang memiliki dua sisi. Bahkan banyak. Nancy memang tidak tahu sosok Justin yang ia kenal selain mulut kasar dan tingkah arogannya. Nancy tidak tahu apakah ada karakter lain yang melekat dalam diri cowok itu. Meski berharap walau hanya kecil, Nancy selalu percaya, sejahat-jahatnya seorang iblis, ia pasti memiliki satu titik kebaikan dalam dirinya. Sama seperti malaikat yang kadang lalai dalam menjalakan tugasnya.
"Lo aneh tau?" Nancy curiga, "kemarin lo kayak iblis, lihat gue kayak mau bunuh gue. Sekarang, lo malah minta maaf." Justin seperti tahu reaksi Nancy seperti itu, ia kembali menjelaskan dengan suara tenang.
"Gue tahu pertemuan kita nggak berawal dengan baik. Mau besok gue mati atau nggak itu juga bukan urusan lu. Yang pasti, setelah ini gue nggak bakal ganggu hidup lu lagi. Dan kita hanya sebatas partner di kantor, paham?"
Nancy hanya tertawa miring, lalu dengan yakin ia beranjak berdiri.
"Oke. Makasih. Tapi gue bener-bener nggak akan makan dari uang lo."
Meninggalkan Justin begitu saja, Nancy keluar dari restoran cepat-cepat, dengan harapan ia lupa akan kejadian ini. Tapi, kenyataan berkata lain. Ketika matahari menyembur kepalanya keluar dari restoran mewah itu, suara Justin yang mengucapkan "sori" malah tiba-tiba terngiang-ngiang di kepalanya. Membuat langkah kakinya menuju stasiun semakin terhentak-hentak penuh emosi.
Seorang iblis meminta maaf? Kenapa bisa? Iblis itu untuk dijauhi, dibenci, kan? Kenapa jadi malah meminta maaf, mengetuk secuil jiwa kebaikan Nancy di dalamnya?
Benar-benar tak habis pikir. Tapi kenapa dadanya tiba-tiba sesak dan semakin kesal ketika memikirkan itu? Kenapa rasanya ia tidak terima mendengar ucapan maaf itu dari mulutnya? Kenapa rasanya Justin jadi lebih dewasa ketimbang dirinya?
----
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro