14 : Kenapa harus dia mulu sih?!
Justin berakhir di kursi kafetaria dengan sejuta rasa mengerikan di tubuhnya.
Astaga, ini sudah kesekian kalinya maag kambuh dengan rasa sakit sehebat itu. Sialnya, kenapa harus pegawai konsultan lighting itu yang melihatnya terkapar tak berdaya seperti tadi?
Malam ini rencananya Justin memang ingin ke RS karena katanya, Dokter Wu, spesialis organ dalam itu ingin menemuinya dan memberinya beberapa resep lagi. Maka, setelah menyelesaikan pekerjaannya tadi, ia segera ke RS dan pulang. Tapi sebelum itu, tadinya ia mau mampir ke supermarket membeli camilan. Ketika memarkirkan mobil dan turun, tiba-tiba sesuatu dari dalam perutnya bergolak dahsyat dan menerjangnya begitu saja. Rasa nyeri yang biasanya masih bisa ia kendalikan itu, kini tidak berbuah apa-apa. Perutnya terasa terpelintir menit demi menit. Ia tidak bisa merasakan apa-apa kecuali rasa nyeri asam di lambungnya yang kian menusuk-nusuk. Ia pikir malam itu ia akan mati, karena untuk bernapas saja susah apalagi mengambil obat di dashbor.
Sialnya, ada seseorang yang menyadarinya. Dan yang lebih menyebalkan adalah gadis itu. Kenapa gadis yang sudah ia olok-olok itu masih saja membantunya? Malah memberikan makan malam segala. Kalau begini kondisinya, bukannya Justin yang merasa sangat kejam padanya? Masih ditolong, tapi ia terus tidak bersyukur. Padahal kalau saja tadi tidak ada orang yang melihatnya, mungkin ia akan...
Paling tidak ia bisa menelepon asistennya. Paling tidak. Tapi kalau diingat lagi, rasa sakit yang mengerikan tadi, bisa saja memutuskan napasnya dalam menit-menit berikutnya dan itu sedikit... mengerikan.
Justin menatap nasi instan hangat yang diberikan gadis itu. Ia enggan makan, asam lambung di perutnya sudah mulai terasa aneh. Tapi ia tahu ia harus makan. Obat tadi hanya meredakan asamnya. Terakhir ia makan nasi adalah siang tadi. Beberapa gelas kopi sudah mengisi lambungnya beberapa kali. Dan sekarang sudah pukul sepuluh lewat. Sepertinya dengan terpaksa sekali ia harus makan.
Setelah menghabiskan makanan dari gadis tadi, ia menelepon dokter Wu, mencari keberadaannya sambil memasuki koridor rumah sakit yang sepi. Ia mendapat pesan singkat dari ibunya ketika memasuki koridor, isinya; "Justin, hari ini kamu nggak pulang, ya? Mama masak banyak, masih sisa di kulkas. Kalau seandainya kamu pulang, panasin dan dimakan ya."
Kapan terakhir ia membuka pesan ibunya?
Seraya berjalan pelan menuju ruang dokter Wu, Justin menggulung chat box whatssap ibunya, lalu bubble pesan yang tidak terbaca ada banyak sekali. Isinya kurang lebih; "Justin, hari ini papa pulang, kamu nggak?", lalu ada lagi beberapa pengingat jangan lupa makan dan minum air putih yang banyak, dan beberapa bubble chat yang isinya menanyakan kondisi Justin.
Kapan terakhir ia menelepon dan pulang ke rumah? Selama ini diam di dalam apartemennya saja rasanya sudah sangat cukup untuk istirahat. Ia terlalu sibuk sampai lupa dengan "rumah". Apakah kedewasaannya membuatnya seperti ini? Ia menghela napas kecil, mumpung terlihat sebaiknya ia menjawab pesan ibunya itu.
"Hari ini aku nggak pulang dulu ya, bu. Maaf baru sempat baca, akhir ini aku sibuk banget. Banyak proyek. Nanti kalau sempat akhir minggu atau akhir bulan aku mampir ya. Jaga kesehatan, bu."
Terkirim.
Justin merasa seperti anak durhaka. Apa ibunya patah hati dan kecewa kalau pesannya selama ini dibiarkan berdebu, dan kesannya lebih penting orang-orang proyeknya?
Ia hanya menunduk, merasakan hubungan dengan ibunya merenggang. Dulu, waktu kecil, ayahnya menginginkan anak laki-laki yang cerdas dan kuat. Tapi seiring pertumbuhan, fisik Justin suka lemah dan dulu ia sempat asma. Hanya menginjak dewasa, penyakit itu pergi karena ia rajin olahraga. Ayah yang mengajarkan dunia bisnis sejak kecil membuat Justin punya pondasi kuat untuk memulai karirnya sejak awal. Tapi sikap dingin ayah yang terlalu sibuk kerja dan jarang pulang membuatnya kehilangan sesuatu. Ayah hanya sering mengomeli Justin jika terkena masalah dan tidak pernah menanyakan perasaannya. Tidak pernah berbagi rasa takut hingga Justin sendiri dipaksa kuat untuk menghadapi berbagai hal menuju kedewasaannya. Hanya ibu yang sering membelanya jika ayah sedang tidak bisa mengontrol diri. Hal itu yang membuatnya berpikir, mungkin sifat jeleknya menurun dari ayah juga.
Sesuatu yang diturunkan ayah hanya pesona. Ia memiliki karisma sendiri, yang di mana hanya di miliki orang-orang tertentu. Karisma di mana ketika orang itu tidak melakukan apa-apa, diam di kursi dan terpaku pada sesuatu, dalam sekali kedip, pesona itu bisa meluluhkan siapa pun yang melihatnya. Justin punya satu karisma seperti itu, dan karena itu juga yang membuat Justin diterima di mana pun. Karisma dan garis wajah yang membawanya dieluk-elukan di dunia perbisnisan ini, meski Justin sendiri tahu, itu hanyalah sebagian trik untuk mengambil hati para investor.
Kalau Justin boleh katakan, sebenarnya, tidak ada manusia yang baik. Semuanya jahat. Dan ia percaya, semua orang yang berkabung dalam dunia perbisnisan, tidak ada yang tulus.
Kalau pun ada, itu sama saja seperti mencari jarum dalam jerami.
Ia hendak berbelok ke koridor tempat ruang dokter Wu ketika langkahnya berpapasan dengan seorang pria jangkung di depannya. Ia mengangkat kepala dari ponsel, lalu wajah dokter Wu menyapanya.
"Justin, pas sekali." Dokter Wu langsung menggiringnya ke kursi tunggu yang terletak di lorong koridor. Beberapa petugas dan pasien sesekali melintasi lorong sepi itu. Dokter Wu duduk di sampingnya, bersamaan dengan papan kertas yang ia bawa. Stetoskop masih melingkar di lehernya, sambil memakai kacamata, dokter Wu membaca papan kertas di tangannya.
"Baru aja aku mau telepon. Tumben lama," ujar dokter Wu.
Justin terdiam sejenak. Haruskah ia menceritakan kejadian tadi? Keadaan darurat yang rasanya ingin sekali ia ceritakan, tapi ada satu dua hal yang masih kurang yakin. Ia takut entah pada apa. Mendengar dokter Wu memanggilnya saja, ia merasa sesuatu sedang tidak berjalan dengan baik.
"Tadi aku rasanya mau mati." Akhirnya ia mengatakannya juga. Justin memandang lantai koridor dengan tatapan kosong. Dokter Wu yang tadi hendak berbicara lagi, kini menoleh setengah terkejut.
"Kenapa?"
Justin menghela napas, beralih menatap dokter Wu. "Ada apa memanggilku, dok? Resep apalagi yang mau kau berikan? Yang kemarin belum cukup?"
Pria berwajah Asia itu memandang Justin sejenak. Beberapa saat kemudian, ia membuka suara. "Sebenarnya bukan sekedar resep obat. Aku sendiri nggak tahu kamu siap dengar ini atau nggak." Dokter Wu memberikan energi mengerikan ketika Justin menatap mata sipitnya. Seperti sesuatu yang lebih serius daripada bangunan roboh akan menyerangnya.
"Sampai kapan kamu mau nyembunyiin penyakit kamu ini ke orang tua kamu?"
Justin tidak menjawab langsung. "Ada apa sebenarnya, dok?"
"Kamu tahu kan, kalau kanker itu sudah tumbuh, bakal susah di hilangkan, apalagi ini kanker di lambung. Dan pencegahan yang kamu lakukan itu belum seberapa. Kuhitung dari kamu masuk RS ini, sudah hampir enam bulan, tapi kanker itu terus tumbuh. Kenapa kamu baru ke RS ketika itu sudah parah?" ucapan dokter Wu membuat kilasan balik di kepala Justin ketika pertama kali ia di bawa oleh asisten tuanya ke RS karena jatuh sakit akibat tingginya asam di lambung. Dan ketika itu juga dokter Wu lah yang memeriksa, bahkan mengambil alih seluruh pengobatannya.
"Aku mana tahu?"
"Kanker lambungmu sudah nggak bisa disembuhkan lagi, Justin. Kamu harus kasih tahu orangtuamu."
Justin membuang wajah, menyemburkan senyum miringnya dengan tatapan tak percaya.
"Nggak bisa disembuhkan gimana, maksudnya? Selama ini aku minum obat itu buat apa?"
"Dari awal aku sudah kasih tahu kamu, itu obat hanya untuk meredakan, bukan?"
Seketika urat di sekitar mulut Justin seperti tertarik, membuat ludahnya terasa pahit dan asam. Ia merasakan degup jantungnya berdetak tak keruan. Suara dokter Wu berputar seperti kaset rusak di otaknya.
Kanker lambungmu sudah nggak bisa disembuhkan lagi, Justin. Kamu harus kasih tahu orangtuamu.
"Dulu aku juga punya teman, dia kanker lambung stadium 4. Tapi dia selamat karena ada mujizat dalam hidupnya. Kamu tahu, semua orang yang memiliki kanker, hanya 10 persen yang bisa selamat dari 100 persen jiwa. Kamu ngerti kan seberapa bahayanya ini? Kamu sedang nggak main-main, Justin."
"Dok, nggak usah bertele-tele."
Dokter Wu menegakkan pungunggnya, lalu dengan rahang mengeras, ia menatap Justin penuh rasa bersalah.
"Kamu nggak akan tahu rasanya jadi aku, tapi setiap aku kasih tahu ini ke pasien, hatiku selalu patah."
Justin menerima ekspresi pria itu. Sesuatu yang tidak baik akan keluar dari mulutnya, sesuatu yang mengubah hidupnya, di detik itu, di malam itu, akan meruntuhkan semuanya.
Semuanya.
---
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro