13 : Oh...? Hm.
Sekarang pukul 10 malam. Duduk di depan supermarket dekat rumah sakit rasanya tenang sekali. Hanya ditemani suara jangkrik malam, dipandangi bulan dari jauh, dan ditemani nyamuk-nyamuk yang menyayanginya seolah berkata, "tenang kamu nggak sendiri". Tapi Nancy hanya membalas, "omong kosong para nyamuk ini", lalu memukul-mukul tangannya karena para nyamuk itu mulai menggila.
Nancy menghela napas, melihat bungkusan nasi instan yang ia beli. Akhirnya ia bisa makan setelah beradu perang bahu dengan para penumpang di kereta. Setidaknya, delapan belas ribu lumayan mengisi perut dan tenaga. Walau rasanya ia masih mending beli nasi goreng sepuluh ribu di kota kecilnya, ya mau bagaimana lagi. Ini Jakarta. Segalanya menjadi maut bagi para dompet-dompet tipis.
Rencananya ia mau tidur di RS saja, malas pulang ke indekos. Tidur di sebelah ibunya yang koma rasanya lebih baik. Ditemani suara mesin hemodinamik yang berbunyi setiap detik dan bau-bau obat di sepanjang koridor. Rasanya tenang saja meski ibunya diam dan ia tetap mengoceh marah-marah. Walaupun ibunya terpejam dari balik masker napas, setidaknya Nancy masih bisa merasakan hangatnya tangan wanita itu.
Ah, seandainya dunia berbaik hati sedikit padanya, ia yakin tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Seandainya ibunya membuka mata, seandainya, seandainya...
Bulan terlihat semakin dekat. Cuaca di Jakarta tidak pernah dingin, tapi entah kenapa malam itu Nancy bergidik ketika angin melewatinya. Sepertinya saat ini ia harus kembali ke kamar rawat dan tidur. Besok siap bertempur lagi. Apalagi pekerjaan sehari-harinya sudah mulai jelas. Proyek besar sudah mulai berjalan, kehidupan dan masalah barunya harus diperbaiki bersamaan dengan itu.
Nancy beranjak bangkit dari kursi makan, tapi langkahnya tertahan ketika ia mendengar sesuatu yang tidak lazim di sekitar parkiran depan supermarket itu. Suaranya seperti orang sedang mengerang kecil.
Nancy mengedarkan pandangan ke parkiran yang cukup banyak mobil. Bunyinya seperti berasal dari salah satu mobil yang terpakir di dekatnya. Sekalian jalan, Nancy melirik-lirik kecil di antara dua mobil yang terparkir diam. Semakin ia mendekat, suaranya semakin jelas. Suara seperti orang mengerang kesakitan dan napas yang pendek-pendek. Awalnya ia agak panik, tapi ketika seseorang di balik mobil itu nampak, Nancy malah membulatkan matanya, terkejut bukan main.
"Justin?"
Orang yang diajak bicara tidak membalas. Hanya membuka matanya sedikit di antara sesak... Eh, kenapa dia? Justin terlihat sedang memegangi perutnya dan menahan sesuatu. Seluruh wajahnya berkerut, menahan sakit yang entah apa. Nancy terdiam di tempatnya, memandangi tubuh bergetar cowok itu. Justin dengan kemeja kusut itu terduduk di tanah, berkeringat dingin menahan sesuatu. Lihatlah perbedaan ini. Sekarang Nancy malah kasihan melihatnya. Ia ingin sekali segera membantu cowok itu, tapi kalau diingat lagi kata-katanya semalam...
Nancy berjalan mendekat pelan-pelan.
"Mau dibantuin, nggak?" Nancy melirik Justin yang menahan erangannya. Napasnya kian pendek-pendek, tak bohong, Nancy benar-benar mulai khawatir melihat kondisi itu. Meskipun cowoki yang ada di depannya ini sudah sama seperti iblis, tapi hati kecilnya yang rapuh tidak bisa melihat orang kesakitan berlama-lama seperti itu.
Justin membuka matanya, berkata dengan susah payah di antara napasnya. "Nggak—usah sok—peduli—"
Nggak usah sok peduli?! Dasar tengik! Membiarkan orang seperti ini mati di tengah jalan, masuk neraka nggak, sih? Sialnya, Nancy tidak punya nyali seperti itu. Ia malah menelan ludah memandangi kondisi cowok yang kian mengerut itu. Tubuhnya semakin gemetar, bahkan wajah Justin yang datar seperti biasa seketika lenyap dalam pucat. Nggak, nggak benar ini.
Tanpa bicara lagi, ia segera berjongkok, menggeledah kantung celana, kemeja dan jas Justin. Cowok itu memandang curiga di antara kerut keningnya. Tapi ia tidak mencegah gerakan Nancy.
"Di dashbor," katanya pendek. Nancy segera mengerti. Ia merampas kunci mobil di tangan Justin, lalu membuka sedan hitam di belakangnya itu dalam beberapa detik. Nancy membuka dashbor dengan cepat, lalu ia menemukan satu strip obat kapsul. Ia memandanginya sesaat, membaca itu obat apa.
Obat maag? Ah, penyakit bos-bos besar yang kaya. Sudah sangat biasa. Tapi, keadaan seperti Justin, rasanya sulit dibayangkan kalau sebuah maag bisa membuat Justin yang bermulut pedas jadi diam dan bahkan meminta pertolongan.
Begitu mendapat obatnya, ia segera menghampiri Justin lalu membuka strip obat lalu memberikan satu kapsul yang langsung ditelan bulat-bulat. Nancy merasa lega. Wajah Justin tidak begitu berkerut lagi untuk beberapa detik, napasnya mulai teratur dan tidak tersendat-sendat seperti tadi. Cepat juga reaksi obat ini. Pasti mahal harganya, pikir Nancy.
Tiba-tiba cowok itu merampas obat dari tangan Nancy dengan cepat. Nancy terkesiap kaget, lalu mengerjap, apa-apaan itu?
Justin bangkit berdiri dengan susah payah. Tapi ia terjatuh lagi, kembali memegangi perutnya dan meringis.
"Lo tuh udah di bantuin nggak usah belagu bisa, nggak?"
Justin hanya memberikan tatapan sinis di tengah keadaannya.
Masih bisa dia bertingkah begitu? Tahu begitu ia biarkan saja tadi, tidak usah ditolong! Dasar iblis, pikir Nancy. Ia kesal sekarang. Kenapa rasa ibanya selalu mengalahkan rasa gengsi? Ayolah, harga diri, kau ini tidak bernilai. Kenapa mau dilemparkan uang yang tak seberapa oleh makhluk tidak tahu diri seperti yang ada di hadapannya ini? Ternyata benar kata ibunya kalau ia itu bodoh. Tidak bisa menilai uang, hanya menilai harga diri saja. Makan tuh harga diri, bahagia sana tanpa nasi dan lauk pauk. Lebih baik mati saja, kata ibunya waktu itu.
Lama-lama membiarkan cowok itu dengan rasa sakit yang tak kunjung reda, Nancy mengerang sebal. Kenapa sih harus dia yang melihat kondisi Justin seperti ini? Bagaimana seorang iblis sepertinya meluluhkan hati Nancy yang sekeras batu karang? Bagaimana cara Justin menahan rasa sakit di perutnya, memejamkan mata kuat-kuat, menggigit bibir bagian dalam, bernapas susah—Nancy mengutuk dirinya sendiri. Membantu iblis dari rasa sakitnya adalah sama saja membuat iblis itu lancar jaya melakukan tugasnya dengan baik. Tapi Nancy bisa apalagi? Ia membiarkan Justin mati dan sekarat begitu saja lalu masuk penjara karena membiarkannya mati akibat balas dendam? Lucu sekali, tapi rasanya lebih baik ia mengulurkan tangan dan membantunya.
Awalnya Justin membuang wajah, tak ingin di tolong, tapi akhirnya Nancy menarik paksa tubuh Justin. Meski berat, tapi akhirnya, Justin yang berjalan bungkuk-bungkuk dengan satu tangan menahan perutnya berhasil Nancy gopoh ke meja kafetaria supermarket tadi.
"Lo tuh kenapa sih? Gue kira pake obat tadi bisa langsung sembuh." Nancy setengah memprotes, ia berdiri di samping Justin yang masih berusaha bernapas dengan benar.
Cowok itu melirik sekilas, nampaknya menelan ludah sejenak lalu mulai berbicara pelan.
"Jangan kasih tahu siapa-siapa soal ini," katanya singkat. Nancy berkerut samar, setengah menduduk menatap laki-laki itu.
"Dih, apa peduli gue juga ngasih tahu kabar lo hari ini kejang-kejang." Nancy setengah mencibir. Justin yang nampak sedikit serius itu hanya menghela napas kecil.
"Terserah lo. Awas sampai ada yang tahu gue begini."
"Kenapa? Lo malu punya sakit lambung?" Nancy menyembur asal karena teringat keterangan yang tertulis di strip obat tadi, membuat alis Justin menaik setengah.
"Bisa nggak, mulut lo tuh di jaga?"
"Lagi sakit nggak usah ngancem-ngancem, deh." Nancy ingat ia masih punya satu nasi instan di tas plastiknya di atas meja. Tadinya ia mau makan buat besok pagi. Tapi lihat kondisi Justin yang menyedihkan, sepertinya ia tidak akan menyesal kalau bisa meredakan sedikit rasa sakit di lambung tak berdosa milik iblis itu.
"Makan, nih." Ia mengeluarkan nasi instan itu ke depan muka Justin lalu hendak langsung beranjak saja.
"Nggak usah."
Nancy melotot. "Makan," katanya setengah membentak.
Justin sama-sama tercengang melihat reaksinya. "Bawel. Gue bilang nggak usah—"
"Terserah lo."
Kemudian tanpa bicara apa-apa lagi, Nancy mengibaskan kepalanya, pergi meninggalkan laki-laki itu. Berharap dealapan belas ribunya tidak berakhir di tempat sampah.
----
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro