12 : Di balik Mukjizat ternyata ada...
Sepertinya mulai hari itu, kereta commuter line di Jakarta berjalan baik. Buktinya sudah beberapa hari ini Nancy tidak telat sejak Justin tidak jadi membatalkan kontrak. Sekarang, rasanya kembali seperti semula sebelum ia mendapat badai topan beberapa hari yang lalu. Semalam Nancy tidak berhenti bercerita pada ibunya yang terbaring di ranjang RS. Meski tidak mendengar, tapi setidaknya dengan ia berceloteh, ia bisa sedikit bernapas sekarang.
Pemandangan ruang kantor kecil yang kemarin ia hindari, entah mengapa jadi kelihatan lebih baik. Senyum para pekerja yang sebelumnya menatap dingin, kini terlihat sedikit cerah. Nancy hanya sesekali mengucapkan selamat pagi, lalu melihat Rini sudah datang, ia langsung beranjak ke pantry.
Ini sudah beberapa hari setelah kabar Justin tidak jadi membatalkan kontrak. Di pantry, ia bertemu dengan Rini dan kelima kawannya, dengan sarapan di atas meja, topik pagi itu lagi-lagi yang terdengar adalah nama "Justin Wijaya". Nancy iseng membuat sereal di dapur, ia melihat dari ujung matanya kalau Rini menyadari kedatangannya. Suara obrolan yang tadinya keras, kini beralih agak pelan, seakan-akan topik tadi langsung dibanting pada dirinya.
Tadinya Nancy mau membahas meeting hari ini, berkas apa saja yang harus ia bawa, karena sudah lama sejak meeting pertama diadakan. Namun, ketka ia melintasi pantry, namanya seketika dipanggil oleh Rini.
Seraya menyesap air putihnya, Rini berkata, "hari ini diskusi langsung sama Justin. Tolong beresin gambar yang kemarin lo belum selesain, abis itu print. Jam sepuluh jalan."
"Aku sendiri?" Nancy berbalik dengan gerak polos.
"Ya sama gue lah. Enak aja lo meeting berdua doang sama Justin." Kelima kawan Rini tertawa rendah. Nancy hanya menjawab sopan lalu pergi meninggalkan pantry sambil menggerutu hampir bersumpah, "mending gue nggak usah pergi meeting, daripada harus ketemu Justin."
xx
"Lo PIC-nya?"
Sesampainya di ruang meeting setelah sepuluh menit menunggu di ruang tunggu kantor Justin yang begitu megah, akhirnya mereka diundang masuk. Dengan ditemani oleh asisten tua Justin, Justin memandang lurus ke arah Rini yang tersenyum sumringah. Sedangkan di sebelahnya, terduduk muram gadis berambut sebahu dan tumpukan berkas di atas mejanya.
"Iya pak. Nama saya—"
"Udah tahu, langsung aja ke pembahasannya." Justin memotong dengan wajah dingin, melihat jam tangannya lalu menulis-nulis sesuatu di atas mejanya sendiri.
"Ketus banget, sih," ucapan itu refleks saja menyembur dari mulut Nancy. Nancy sendiri kaget kenapa dia bisa seceroboh itu, lagi. Justin mengangkat wajah dengan kening berkerut samar, menatap Nancy lebih tajam.
"Nggak usah banyak omong, suara lu nggak enak didengar." Justin kembali menunduk, melanjutkan kesibukannya sendiri. Rini menyikut tubuh Nancy yang membara. Ia tersadar sesaat, lalu menunduk sambil menahan emosi yang mulai bergolak. Nggak boleh, jangan sekarang, pikir Nancy sambil menarik napas banyak-banyak, lalu menahannya sejenak kemudian baru ia hembuskan. Diam-diam, ia melirik lagi ke arah cowok yang duduk di depannya itu.
Kalau setiap minggu disuruh meeting begini sama Kak Rini, apakah gue bakal tahan? Kalau aja dia bukan klien, kalau saja--
"Mana berkasnya?" tiba-tiba Rini menyenggol tubuh Nancy yang sedang panas menatap Justin. Tepat dengan itu, Justin juga mengangkat wajahnya, beralih ke arahnya. Dalam sedetik, Nancy langsung melakukan apa yang diperintah oleh Rini.
Dua jam lebih rapat berjalan, mereka selesai ketika makan siang. Kopi Justin sudah berkali-kali di tuang dan ini adalah gelas terakhirnya. Nancy yang memandangi itu hanya terdiam, sementara Rini tak menghapus senyum manis dari bibirnya sejak awal menginjak tempat ini. Wajah Justin nampak lelah, Nancy menghela napas lega, rapat hari ini berjalan lancar. Meski masih ada beberapa detail yang harus diperbincangkan dengan pihak Interior, rapat hari ini spesial dengan para desainer lampu terlebih dahulu. Katanya, Justin ingin memulai dari yang mudah, biar urutan selesainya cepat dan efisien.
Setelah selesai rapi-rapi, keduanya hendak beranjak dan berpamitan. Tapi ketika Nancy dan Rini hampir melintasi ambang pintu, suara Justin menggema ke seluruh ruangan, menghentikan langkah Nancy dan Rini.
"Eh, lo," panggil Justin memandang Nancy dari kursinya.
Yang dipanggil merasa-tidak-merasa. Nancy mengernyitkan alis, cara memanggil seperti apa itu?
"Bukan lo, Rini. Anak buah lo, bisa gue pinjem bentar?" Justin meminta dengan dagu agak menaik, sementara Rini hanya gelagapan bingung, menatap Nancy penuh rasa iri. Kemudian setelah meminta ruang, Rini pergi meninggalkan keduanya.
"Mau apa?" tanya Nancy lurus, tetap berdiri di tempatnya. Asisten tua Justin sudah meninggalkan ruangan sejak sepuluh menit yang lalu. Di ruang rapat yang luas dan cahaya matahari yang menyembur luas dari jendela kaca itu keduanya saling berpandangan dari jarak jauh.
"Lo nggak mau bilang makasih sama gue gitu?"
"Buat?" Alis Nancy terangkat sebelah.
"Buat diri lo yang nggak jadi di pecat."
Nancy tersadar sejenak ke mana arah pembicaraan cowok itu. Ia tersenyum miring, "setelah gue pikir-pikir mending gue dipecat dan mati sama nyokap gue."
"Nggak usah curhat. Percuma gue nggak bakal peduli juga."
"Kalau lo nggak peduli, kenapa masih terima penawarannya? Bukannya lo udah batalin, ya?" Nancy tidak tahan lagi. Rasa amarahnya terhadap cowok itu tidak pernah berakhir. Sekarang, ia mengucapkan kalimat yang bisa saja membunuhnya sendiri. Tapi ia tidak peduli. Ia ingin mengakhiri siksaan batin ini. Sudah cukup Justin memandangnya sebelah mata seperti orang yang tidak memiliki harga diri. Seenaknya saja dia terus berkata seperti itu mentang-mentang ia memiliki kekuasaan. Nancy tahu di mana tempatnya, tapi ia tidak akan sampai di sini kalau bukan disuruh untuk menyaingi musuhnya ini.
"Emang lo ya, bener-bener nggak punya urat malu." Justin menyipitkan matanya, lalu menggeleng takjub sambil menyesap kopinya lagi.
"Gue diajarin buat jadi cewek kuat. Bukan cewek yang nggak punya harga diri. Puas?"
Nancy memang tidak tumbuh di lingkungan yang di mana sekelilingnya semua tinggal membuka tangan. Ia besar di situasi di mana semuanya harus ia cari sendiri, ia harus gali dan buka sendiri. Ia tidak tahu cara menyelesaikan suatu masalah dengan baik karena tidak pernah ada seseorang yang benar-benar tinggal dan menemaninya setiap waktu, mengajarkan sesuatu seperti seharusnya. Nancy bukan orang yang pandai memutar balikkan fakta dengan lidah-lidah manisnya, tapi Nancy hanya memiliki kekebalan tubuh yang kuat dan mental yang sudah terlatih sejak ia menjadi benih. Kemudian tumbuh menjadi sesuatu yang tidak mudah layu. Lalu ketika semuanya segar dan sempurna, seseorang datang ke dalam hidupnya, menjatuhkan semua yang telah ia bangun meski hanya bermodalkan keberuntungan dan tekat, Nancy mana rela?
Mau mengancam? Ancam saja, Justin makan nasi, Nancy makan nasi. Apa yang perlu ditakutkan? Ia memang miskin, tapi setidaknya hubungan mereka hanya dibatasi jabatan. Walau begitu, baginya, siapa pun itu, di mata Nancy semuanya sama, kecuali Tuhan.
Setelah melepaskan tatapan tajam terakhirnya, dengan sekali hentakan, ia berbalik dan keluar dari ruangan Justin. Berharap semuanya tetap baik-baik saja meski Nancy tidak pernah sama sekali meyakinkan hal itu.
----
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro