Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10 : Masalah gue apa sih?

Setelah selesai mandi, air hangat saja ternyata tidak cukup menghapus bayang-bayang Justin dari gadis yang ia temui di rumah sakit tadi.

Sial, gerutu Justin. Kenapa sekarang ia jadi tidak bisa menghentikan bayang-bayang ekspresi gadis yang menangis itu? Justin tidak peduli kalau kata-katanya menyakitinya atau tidak, tapi masalahnya di sini adalah, ia masih muak dengan gadis itu. Memang gadis itu yang bodoh atau memang kata-katanya yang terlalu keterlaluan? Justin tidak peduli keduanya, tapi setidaknya gadis itu tahu diri sedikit.

Ia memang belum bisa menilai secara keseluruhan mengenai kehidupan gadis itu, tapi setelah secara tak sengaja melihat kehebohan tadi di RS, sekarang ia mengerti kenapa tekanan itu terus berdatangan ke dalam dirinya. Karena mentalnya saja sudah berguncang, ibunya yang sakit, dan kecerobohannya yang tidak seimbang dengan tindakan-tindakannya di tempat umum.

Gadis itu mungkin berpikir, karena ia sendiri, ia tidak butuh siapa-siapa untuk bertahan hidup. Ia berpikir segalanya bisa berjalan lancar dengan asal melangkah mengikuti arus. Tapi pemikiran seperti itu sebenarnya sangat salah. Menurut Justin, seharusnya kalau sudah memiliki permasalahan hidup yang terlihat cukup berat, mengenai ibunya apalagi, seharusnya gadis itu jangan mencoba-coba mencari masalah lain. Justin tidak tahu siapa yang salah, masalahnya atau gadis itu, tapi seandainya gadis itu bisa mengendalikan sedikit dirinya, seharusnya Justin tidak sebenci ini padanya.

Benci? Benarkah sebenci itu? Kalau Justin benci, kenapa sampai sekarang membayangi wajah gadis yang menangis itu ia tiba-tiba merasa serba salah? Perasaan kacau apa ini? Kenapa ia merasa seharusnya tidak sekasar itu pada gadis yang sudah mempermalukannya di depan umum?

Justin menyandarkan kepalanya di sandaran tempat tidur, ia pasti sudah terlalu lelah. Sekarang sudah pukul dua malam, ia tidak boleh memikirkan apa-apa lagi. Kalau tidak, insomnia seperti ini bisa berlanjut sampai pagi. Ia berdiri, lalu mengambil tas kerjanya di atas meja. Merogoh-rogoh isinya kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan obat yang tadi ia ambil dari dokter rawatnya di RS tadi.

"Usahakan makan yang teratur. Obat ini hanya membantumu, tidak memperbaikimu." Suara dokter itu terngiang-ngiang di kepalanya. Kemudian sejenak ia melempar obat itu ke atas meja kerjanya, lalu menghempaskan tubuhnya ke kursi lengan. Tangannya menjetikkan saklar lampu utama, lalu dalam sekejap, ruang kamarnya yang tadi terang benderang menjadi redup. Ia mendorong kursinya mendekat ke arah jendela kaca besar yang ada di belakangnya, menarik tirai hingga seluruh pemandangan kota Jakarta dari atas apartemen ini terlihat luas.

Kota Jakarta dengan lampu-lampu yang menghiasi menara-menara kantor menjulang beradu menyentuh langit. Sama seperti mimpi Justin sewaktu kecil dulu. Ia ingin membuat bangunan setinggi langit, supaya bisa menunjukkan kalau prinsip dan harga dirinya setinggi mimpinya yang hampir menyentuh langit. Tapi, memandangi beberapa hasilnya, ia seperti tidak mengerti mau diapakan lagi. Setelah mendapatkan apa yang ia miliki, sekarang ini, ia hidup untuk apa sebenarnya? Dibanding dengan gadis tadi, yang bertahan hidup demi melihat ibunya bangkit dari koma...

Astaga.

Justin menggaruk kepalanya dengan kesal.

Apaan sih gue. Masa iya tiba-tiba gue cancel pembatalan kontraknya gara-gara nyokapnya?

Mulut Justin seketika terasa pahit.

Menerima obat dan sama-sama menderita seperti ibunya gadis itu, entah kenapa membuat Justin merasa berada di posisi yang sama. Seakan-akan ia tidak mau menyusahkan seorang gadis yang hanya kebetulan membencinya dan ia benci itu. Garis takdir dan pertemuan seseorang kadang berjalan tidak semulus yang kita perkirakan, tapi melihat ibu dari gadis tadi, membayangkan jika roh wanita tadi sekarang ini sedang berdiri di sampingnya, menatapnya atau bahkan memohon kepadanya supaya tidak membatalkan penawaran, ...

Seketika Justin bergidik ngeri.

Ia merogoh ponselnya, mencari kontak asistennya, lalu hendak menelepon. Tapi tindakan itu ia hentikan karena sekarang sudah terlalu larut untuk menganggunya. Sementara proyek masih terus berjalan. Jika dipikirkan lebih jauh lagi, rasanya susah dan merepotkan lagi untuk mengulang perjanjian kontrak dan menentukan biaya kalau bukan sama perusahaan tempat gadis itu bekerja. Dan lagi, perusahaan itu mau dibayar murah karena teman ayahnya, jadi sepertinya ia harus menggantung itu.

Ya, Justin harus mempertimbangkan waktunya. Itu yang paling penting. Ia harus membereskan proyek ini sebelum akhir tahun, dan satu hari baginya itu sangat penting untuk kemajuan proyek ini. Masa iya karena kebenciannya terhadap gadis itu ia sampai harus membatalkannya? Lagi pula gadis itu cuma karyawan kecil, seharusnya segala sesuatunya tidak berhubungan langsung dengan gadis itu, kan?

Seketika penat di kepalanya mereda, ia mengangguk-angguk sendiri sambil minum air putih. Akhirnya ia tahu tingkat stresnya kali ini bukan karena kebenciannya terhadap gadis itu, tapi tetap terhadap proyek yang sedang ditanganinya.

Iya, terhadap proyek, bukan gadis ceroboh itu.

----

Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️

Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.

Ditunggu part selanjutnya Senin depan ya. Terima kasih


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro