Day 14
Kring kring kring
Seorang perawat melirik ke arah saku jas yang dikenakan Jongin, mencoba menebak bahwa suara deringan ponsel itu memang berasal dari dalam sana. Seluruh perhatiannya jatuh pada suara deringan ponsel itu akan tetapi anehnya sang pemilik sama sekali tidak merasa terganggu dengan hal itu.
Mungkin ini sudah terhitung ketiga kalinya ponsel itu berdering tetapi Jongin sama sekali tidak merespon panggilan itu, atau mungkin dia memang tidak menyadarinya. Perawat itu masih mencoba menunggu laporan yang tengah dipelajari Jongin untuk pasien operasi nanti malam akan tetapi tetap saja, ponsel itu malah mengganggunya.
"Dokter," panggil perawat itu membuat Jongin mendongak dan berdehem pelan. "Ponsel dokter berbunyi, mungkin itu panggilan penting."
Respon Jongin semakin membuat perawat itu kebingungan. Bukannya segera mengangkat panggilannya justru Jongin malah bersikap acuh dan tertawa untuk sesaat.
"Keponakanku akhir-akhir ini begitu menyebalkan, dia memiliki ponsel baru dan terus menelponku setiap saat. Jadi biarkan saja."
Perawat itu hanya tersenyum singkat mendengar penjelasan Jongin kali ini. Ya, perawat itu tahu siapa itu keponakan dokter Kim Jongin. Tidak lain bahwa itu adalah Rahee, gadis manis yang terkadang mengunjungi pamannya yang sibuk bekerja di rumah sakit setiap akhir pekan. Lucu rasanya akan tetapi perawat itu masih belum paham kenapa Jongin sampai harus mengacuhkan panggilan itu.
"Apa tidak sebaiknya dimatikan dulu?"
Jongin hanya tersenyum seraya menyerahkan dokumen yang baru selesai dibacanya.
"Dia akan semakin marah jika aku mematikannya, yah.. Wanita memang sulit dimengerti," canda Jongin membuat perawat itu sedikit tertawa. Bukannya merasa tersinggung justru perawat itu malah membenarkan guyonan Jongin. Tidak salah jika orang-orang memang menyukai dokter Kim Jongin, dia adalah orang yang sangat ramah.
"Siapkan ruang operasinya, saya akan datang lima belas menit lagi."
Perawat itu mengangguk lantas segera pergi meninggalkan ruangan Jongin.
Kini hanya tinggal Jongin seorang diri, mengingat ponselnya sudah berhenti berdering. Akhirnya Jongin menarik keluar ponsel itu dari sakunya dan melihat puluhan panggilan dari nama yang sama. Siapa lagi kalau bukan Rahee. Jongin mendesah, sepertinya ia telah salah memberikan ponsel kepada anak berumur delapan tahun ini. Jongin pikir Rahee hanya akan menggunakannya untuk berfoto dan memainkan permainan, tetapi diluar dugaan gadis kecil itu malah menerornya dengan puluhan panggilan setiap harinya. Sepertinya ia harus memperingatkan kakaknya tentang hobi baru keponakannya ini.
Jongin memandangi ponselnya lagi untuk beberapa saat, tanpa sadar membuat ia mendesah panjang. Selama lebih dari seminggu ini sebenarnya kekesalan Jongin bukan hanya karena keusilan Rahee yang terus memanggilnya akan tetapi kekesalannya berdasar dari keputusasaannya akan menunggu panggilan seseorang; seseorang yang sangat berarti bagi hidupnya. Dia adalah Kyungsoo.
Sudah hampir dua minggu. Selama itulah mereka tidak saling bertemu dan selama itu juga Jongin memendam rasa rindu. Jongin berpikir pertemuan terakhirnya bersama Kyungsoo akan memberikan sedikit respon baik akan hubungan mereka. Harapan tinggalah harapan, meskipun Jongin ingin memulai tetapi ia tidak tahu bagaimana cara untuk melangkah mendekatinya kembali. Untuk menghubungi Kyungsoo saja Jongin tidak tahu bagaimana caranya. Jadi bagaimana bisa ia mendapatkan Kyungsoo kembali jika Jongin saja belum tahu apa yang harus ia lakukan untuk memulainya.
Beberapa kali pemikiran itu muncul, beberapa kali juga Jongin memikirkan beberapa kemungkinan yang menjadi latar belakang keengganan Kyungsoo untuk menghubunginya. Semua kemungkinan itu selalu merujuk kepada sosok pria yang selalu berada di samping Kyungsoo, Oh Sehun. Oh.. Bahkan Jongin masih mengingat namanya dengan sangat lengkap. Meskipun Jongin tidak mengharapkannya tetapi tetap saja ia selalu memikirkan bahwa Kyungsoo mungkin memang memiliki hubungan khusus dengan pria itu.
"Kenapa aku selalu memikirkan hal itu, ck.. Benar-benar," monolognya sendiri diselingi tawa yang tidak dapat dipahaminya.
Jongin segera memasukkan ponselnya kembali pada saku jasnya ketika ia melihat jam diruangannya telah menunjukkan pukul 08.25 malam. Ada operasi yang harus di tanganinya saat ini dan waktu istirahatnya sudah cukup. Ia harus kembali bekerja sekarang.
Jongin berjalan dengan tenang meninggalkan ruangannya untuk menuju kamar operasi yang telah disiapkan. Selama perjalanan itu juga ponselnya kembali berdering. Jongin bisa mendengarkan suara itu samar-samar, beruntung keadaan ruangan yang sedang ramai oleh pembesuk membuat suara deringan itu teredam dan tidak terlalu mengngganggu orang di sekitarnya. Barulah ketika ia mencapai koridor menuju ruang operasi, suara deringan ponselnya semakin nyaring terdengar.
Jongin menyerah, pada akhirnya ia harus kalah melawan kekesalannya akan keusilan Rahee. Jongin segera meraih ponselnya dan mengangkatnya begitu saja dengan setengah kesal.
"Rahee.. Sudah cukup! Jangan menelpon paman lagi oke! Ada operasi dan paman jangan diganggu dulu. Nanti paman akan menelponmu."
"Rahee? Apa? Aku bukan Rahee."
Jongin berhenti melangkah. Ia tertegun untuk beberapa saat mendengar suara itu. Suara yang di dengarkannya bukanlah suara manja dan kecil khas anak-anak. Suara wanita dewasa dan Jongin tidak cukup bodoh untuk menyadari suara siapa yang ada dalam panggilannya kali ini. Dengan takut, Jongin menarik ponsel dari telinganya untuk melihat sebuah nomor belum tersimpan tengah memanggilnya kali ini.
"Halo.. Halo.. Jongin?" suara samar itu terdengar dari panggilan itu dan Jongin terlalu terkejut untuk menjawab panggilan itu.
"Dokter Kim Jongin, semuanya sudah siap," intruksi seorang perawat membuat Jongin terkejut dan tanpa sadar memutuskan panggilan itu sepihak.
Ketika ia melihat ponselnya kembali. Ia mengumpat pelan. "Ah sial, kyungsoo."
"Dokter?"
Jongin kembali terkesiap dan buru-buru menyimpan ponselnya ke dalam saku. Ia melihat ekspresi tak terbaca milik perawat di depannya dan Jongin baru menyadari bahwa ia tidak seharusnya mengumpat seperti itu disini. Terlebih di tengah situasi yang harus ia jalani, sebuah operasi.
"Ba..baiklah.. Aku akan masuk," gagap Jongin seketika.
Ketika perawat itu kembali memasuki ruang operasi, diam-diam Jongin kembali mengeluarkan ponselnya. Ia melihat nomor yang menghubunginya tadi memastikan bahwa nomor ini belum pernah ia simpan sama sekali.
Jongin tahu dari suaranya, ia sudah cukup lama mengenal bagaimana suara itu melalui sambungan telepon.
Jongin tidak cukup bodoh
Setidaknya ia tahu bahwa itu Kyungsoo dan wanita itu benar-benar menghubunginya.
Jongin seketika bahagia meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa ia harus segera mencari kalimat basa-basi apa yang kiranya pantas untuk membalas panggilan Kyungsoo malam ini. Ya, tentunya setelah operasi ini selesai. Jongin tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
***
"Apa-apaan dia ini?" kesal Kyungsoo seraya melemparkan ponselnya ke atas meja. "Kau tahu, menghubunginya bukanlah ide yang bagus. Lihat, bahkan dia mematikan panggilanku. Ck.. Memangnya dia ini siapa."
"Dokter Kim memustuskan panggilannya begitu saja?" tanya Baekhyun penasaran.
"Ya, apalagi. Dia bahkan memanggilku siapa? Rahee? Aku bahkan belum bicara dan dia sudah mencercaku begitu. Tidak sopan sekali," ucapnya dengan wajah memberengut kesal.
Baekhyun berpikir sejenak sebelum ia kembali membuka suaranya. "Mungkin dokter Kim tidak tahu bahwa itu nona. Nona bisa menghubunginya kembali sekarang."
"Tidak," Kyungsoo segera menggeleng. "Kenapa aku harus menghubunginya? Kemana harga diriku nanti? Seharusnya laki-laki yang menghubungi wanita bukannya wanita menghubungi laki-laki."
"Tapi dokter Kim tidak tahu nomor nona."
"Setidaknya sekarang dia tahu, aku kan sudah menghubunginya."
"Nona benar-benar ingin dokter Kim menghubungi nona ya?"
Kyungsoo menajamkan tatapannya kepada Baekhyun membuat gadis itu seketika bergidik dan menutup bibirnya rapat.
"Maaf," bisik Baekhyun dengan takut.
Kyungsoo memejamkan matanya seraya memijat pangkal hidungnya perlahan. Memang bukanlah ide yang bagus untuk meminta Baekhyun membantunya; alasan tentang bagaimana seharusnya Kyungsoo memulai menghubungi Jongin. Baekhyun memang dapat diandalkan dalam urusan pekerjaan tetapi ia telah salah menerima saran baekhyun soal urusan pribadinya. Bodohnya Kyungsoo yang bahkan terlihat seperti baru pertama kali mengenal pria, padahal ini hanya Kim Jongin.
"Sudahlah baek, atur saja tiketku ke New York lusa depan. Dan oh ya.. Apa visa-ku masih berlaku? Sepertinya aku akan tinggal cukup lama di New York nanti."
"Kenapa?!" tanya Baekhyun dengan terkejut.
"Mencari peluang bisnis," decak Kyungsoo mengabaikan tatapan terkejut Baekhyun saat ini. Meskipun Kyungsoo sendiri tidak tahu peluang bisnis apa yang ia cari, ia hanya asal menjawab saja. Alasan sebenarnya Kyungsoo ingin benar-benar memiliki waktunya untuk sendiri sementara.
Kyungsoo kembali menatap Baekhyun yang masih termangu di kursinya. Kyungsoo berdeham sebentar sebelum akhirnya bersuara. "Tunggu apalagi? Ayo siapkan."
Seolah tersadar, dengan tanggap Baekhyun segera mengangguk dan bangkit dari kursinya. Ia pamit pergi sebelum akhirnya setengah berlari meninggalkan ruangan Kyungsoo.
Kyungsoo mendesah lega ketika akhirnya Baekhyun meninggalkan ruangannya. Ia memejamkan matanya beberapa saat sebelum akhirnya menyadari bahwa matahari telah tenggelam dalam kegelapan malam. Pukul delapan malam dan Kyungsoo baru ingat bahwa sebaiknya ia menyuruh Baekhyun untuk pulang saja dibandingkan untuk menemaninya lembur disini. Akan tetapi Kyungsoo mengurungkan hal itu dengan dalih bahwa ia masih membutuhkan Baekhyun setidaknya sampai hari keberangkatannya ke New York lusa nanti.
Ya, lagipula masih banyak yang harus ia selesaikan malam ini.
Kyungsoo hendak kembali siap untuk bekerja ketika arah pandangannya tiba-tiba tertuju pada benda persegi yang berada di atas mejanya. Lagi-lagi ia mengingat Kim Jongin dan hal itu sudah sangat jelas memancing emosi Kyungsoo. Tanpa sadar ia menggerutu dan mengumpat begitu saja.
Aneh memang tetapi akhir-akhir ini Kyungsoo memang terasa tergelitik setiap kali menatap kartu nama Jongin yang dimilikinya. Kyungsoo tidak pernah menampik bahwa selama kurun waktu dua minggu ini ia berusaha untuk menghubungi pria itu. Akan tetapi ia selalu menemukan jalan buntu untuk mencari alasan yang tepat agar tidak canggung ketika bicara dengan Jongin kembali. Menggunakan alasan Rahee, bisa saja tetapi ia tidak mungkin menghubunginya hanya untuk menanyakan kabar Rahee. Setidaknya ada hal lain yang bisa dibicarakan sepeti misalnya mengajak Rahee untuk bertemu dan bermain bersama akan tetapi hal itu mustahil dilakukan di tengah jadwal Kyungsoo yang sangat padat. Bahkan dalam waktu dekat ia akan bertolak menuju negeri Paman Sam untuk menghadapi undangan fashion show disana.
Baru kali ini lah Kyungsoo benar -benar berani memanggil Jongin setelah berhari-hari hanya menyimpan kartu nama itu dalam dompetnya. Tentu itu juga atas bujukan Baekhyun, seperti alasannya yang ia berikan; Kyungsoo harus menghubungi Jongin untuk mengabarkan kondisi kesehatannya dan juga kakinya. Meskipun awalnya Kyungsoo menganggap alasan yang diberikan Baekhyun sangat konyol; seolah Kyungsoo merasa sangat harus untuk mengabari Jongin tentang kondisinya, tetapi pada akhirnya jari-jemarinya tak bisa lagi menahannya untuk mengetikkan nomor Jongin lantas memanggilnya begitu saja.
Kyungsoo bahkan sudah benar-benar memantapkan hatinya untuk bicara dengan Jongin namun diluar dugaannya, sebaliknya pria itu malah membicarakan hal aneh kepadanya. Tentang Rahee, Jongin menganggap dia adalah Rahee? Oke Kyungsoo mungkin bisa mewajarkan hal itu akan tetapi Kyungsoo yakin, setelah Jongin menyadari bahwa yang menelponnya bukan Rahee lantas menutup panggilannya begitu saja tanpa bertanya siapa; saat itulah Kyungsoo merasa diabaikan. Terkesan bahwa Kyungsoo bukanlah hal penting untuk Jongin ketahui. Bagaimana bisa Jongin memutuskan panggilannya secara sepihak seperti itu. Sangat tidak sopan.
Dan lihatlah sekarang? Apa pria itu balik menghubunginya? Tidak kan? Sudah sangat jelas bahwa Jongin tidak peduli dengan apa dan siapa yang menghubunginya.
Kyungsoo kembali menggerutu dan menyingkirkan ponsel itu dari hadapannya dengan kesal. Ia memilih memerhatikan layar komputernya ketika suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya dari kekesalannya terhadap Jongin.
Setelah Kyungsoo memberi ijin kepada orang dibalik pintu itu untuk masuk. Ia dapat menemukan senyuman teduh seorang pria dengan satu kantong kertas restoran cepat saji di tangannya.
"Pesanan delivery. Kau sudah makan malam?" tanyanya dan Kyungsoo seketika tersenyum menatap ekpresi jenaka pria itu.
"Masuklah Oh Sehun, kau datang di waktu yang tepat."
***
Jongin menatap ponselnya dengan cemas. Sesekali ia mengecek ponselnya sesaat sebelum akhirnya berdecak ketika tidak ada lagi panggilan yang masuk untuknya. Sebelumnya ia memang kesal karena terus diganggu oleh panggilan-panggilan di ponselnya. Tetapi itu Rahee dan yang di tunggunya saat ini adalah Kyungsoo.
Sudah pukul sebelas malam dan Jongin masih berharap bahwa Kyungsoo mau menghubunginya lagi. Tetapi sampai kapan ia harus menunggu?
Dengan sigap ia meruah ponsel yang tergeletak sejak tadi di atas meja. Ia menatap lekat-lekat nomor panggilan terakhir di ponselnya; yang ia yakini bahwa itu adalah nomor Kyungsoo. Jongin hendak menekan tombol panggilan sebelum akhirnya ia mendesah panjang dan kembali meletakkan ponselnya di atas meja begitu saja.
Oke, Jongin memang tengah bingung saat ini. Sisi lain ia ingin menghubungi wanita itu tetapi di sisi lain ia tidak ingin mengganggu wanita itu. Bagaimanapun ini pukul sebelas malam. Apa wanita itu masih terbangun hingga selarut ini
Jongin mengetuk jari jemarinya dengan resah di atas meja. Ia masih tidak bisa berpaling pada ponsel di hadapannya. Dalam pikiran Jongin yang berkecamuk oleh segala kemungkinan-kemungkinan bodoh jika ia menghubungi Kyungsoo, Jongin sadar bahwa sebenarnya ini adalah waktu yang tepat. Ia tidak menjamin bahwa besok ia bisa menghubungi Kyungsoo seperti ini, selagi ada kesempatan kenapa ia harus menyia-nyiakannya?
Jongin menyerah, tidak lagi berpikir dua kali hingga ia meraih ponsel itu dan menekan nomor panggilan yang sedari tadi di perhatikannya. Jongin menunggu dengan cemas ketika sambungan telepon itu berdengung berulang kali di telinganya. Akan tetapi hingga dengungan terakhir, ia tak kunjung mendapat jawaban.
Tidak putus asa, Jongin kembali menghubungi nomor itu untuk kedua, ketiga, keempat, hingga Jongin tidak dapat lagi menghitung panggilan keberapa telah ia lakukan. Jongin mendesah, mungkin benar; Kyungsoo sudah tidur. Jongin memang salah menghubunginya di tengah malam seperti ini tetapi entah kenapa perasaannya mengatakan bahwa Kyungsoo mungkin tidak benar-benar sudah tidur. Jongin tahu betul kebiasaan gadis itu yang selalu begadang setiap malam. Meskipun ia tidak yakin apa kebiasaan lamanya itu masih berlangsung hingga sekarang, akhirnya Jongin kembali mencoba menghubungi nomor itu kembali sebagai kepastian. Ini yang terakhir, jika Kyungsoo tidak menjawabnya berarti dia memang sudah benar-benar tidur; atau mungkin mengabaikan panggilannya dengan sengaja.
"Halo?"
Jongin tergagap, ia seperti seorang remaja belasan tahun yang baru pertama kali menghubungi seorang gadis. Bukannya menjawabnya, Jongin hanya mematung dengan bibir yang terbuka tanpa tahu apa yang harus di katakan.
"Halo? Kau Jongin kan?"
Jongin masih tetap diam, pikirannya seakan kosong hanya untuk mencari satu kata pembuka sebagai jawabannya. Sialnya, jangankan bicara, mengatakan iya saja Jongin tidak bisa.
Sekian detik waktu berselang hanya diisi dengan kediaman akhirnya suara decakan malas terlontar dari ujung panggilan.
"Baiklah, aku akan menutup teleponnya. Aku tidak-"
"Tu-tunggu!" potong Jongin dengan cepat.
"Oh kau bisa bicara juga? Kupikir aku mendapat panggilan dari hantu."
"Kyungsoo kan?" tanya Jongin gugup takut bahwa yang di hubungi nya bukanlah Kyungsoo meskipun ia yakin dengan betul bahwa suara yang dimiliki wanita ini sama seperti dalam ingatannya. Bedanya sekarang terdengar tidak terlalu ramah.
"Kau pikir aku siapa? Lee Hyori? Aku tahu suaraku memang bagus tapi tidak seharusnya kau mematikan panggilanku begitu saja!"
Jongin mengerutkan keningnya mendengar nada bicara Kyungsoo mulai meninggi. Apa ia tengah kesal saat ini, apa salahnya?
"Kau pikir kau pria hebat apa? Harga diriku harus kusimpan dimana lagi? Bagaimana bisa aku menghubungi seorang pria dan dia malah memutuskan panggilannya secara sepihak? Menyebalkan."
"Tunggu, siapa? Aku?"
"Kau ini benar-benar menyebalkan ya!"
Jongin semakin tidak mengerti dengan arah pembicaran Kyungsoo saat ini. Ia tidak mengerti kenapa Kyungsoo dengan tiba-tiba marah kepadanya?
Selagi mendengar kalimat kekesalan yang dilontarkan Kyungsoo, Jongin mencoba memikirkan apa kiranya yang telah ia lakukan. Kyungsoo mengatakan bahwa ia telah memutuskan panggilannya secara sepihak. Benarkah? Jongin berpikir keras hingga akhirnya ia mengerti tentang keadaan yang di alaminya beberapa jam yang lalu. Ia terlalu terkejut, bukan hanya karena mendapat panggilan dari Kyungsoo tapi ia terkejut akan panggilan perawat yang memintanya untuk segera menangani operasi. Maka dari itu tanpa sengaja ia memutuskan panggilannya.
Ketika akhirnya Kyungsoo mulai diam, Jongin menghela napas panjang. Ia ingin menjawab semua pertanyaan Kyungsoo akan tetapi ia tidak ingin dianggap hanya mencari alasan saja. Maka dari itu ia hanya mengucapkan kata maaf sebelum akhirnya berbicara dengan tenang.
"Aku tidak ingin kau menganggap ini sebagai sebuah alasan tetapi aku benar-benar terkejut saat itu terlebih ada operasi yang harus kutangani maka dari itu aku tidak sengaja memutuskannya."
Sebuah keheningan cukup panjang terjadi sebelum akhirnya suara ragu miliki wanita itu terdengar lirih di telinginya.
"Jadi kau tidak balik menelponku karena ada operasi ya?"
Jongin berdehem membenarkan. "Kau terdengar panik hanya karena aku mematikan panggilanmu. Apa kau benar-benar marah karena aku tidak balik menelponmu begitu?" goda Jongin menyadari dasar kekesalan Kyungsoo kepadanya saat ini.
"Itu.. Hey.. Siapa yang mengatakan itu?"
"Kau terdengar gugup Kyungsoo." Diam-diam kini Jongin yang tersenyum mendengar kegugupan Kyungsoo kali ini. "Apa kau merindukanku?" godanya.
"Apa? Tentu saja tidak."
"Lalu kenapa kau menghubungiku?"
Kini Kyungsoo yang terdiam. Jongin menunggu apa kiranya yang akan Kyungsoo katakan. jongin penasaran, pasti ada alasan lain dibalik kekesalan Kyungsoo karena panggilannya yang terputus. Menggoda wanita itu selalu mencari kebenarannya.
"Hanya menanyakan kabarmu saja."
"Aku selalu baik, lalu apa lagi?"
"Ya hanya itu?"
"Kau sudah menelponku, kesal karena aku memutuskannya secara tidak sengaja dan marah karena aku tidak balik menelponmu, sekarang kau mengatakan hanya untuk menayankan kabar saja? Wah, kau sangat sabar sekali menunggu berjam-jam untuk itu semua."
"Hey, maksudku bukan seperti itu."
"Menanyakan kabar saja tidak cukup. Bagaimana kalau kita bertemu? Besok kebetulan aku tengah libur. Apa kau ada di kantormu besok? Aku akan datang menjemputmu."
"Untuk apa aku bertemu denganmu?" ketus Kyungsoo akan tetapi Jongon masih dapat mendengar suara kegugupan wanita itu.
"Tentu saja mematikan dengan mata kepalamu sendiri bahwa aku baik-baik saja."
"Itu membuang waktuku."
"Baiklah kalau begitu, aku akan datang. Sampai bertemu kembali." tanpa menunggu jawaban dari Kyungsoo, Jongin memutuskan panggilannya sama seperti beberapa jam yang lalu. Bedanya kini ia sengaja melakukannya. Ia penasaran dengan kemarahan Kyungsoo kali ini; atau mungkin kegugupannya yang malah terdengar sangat lucu. Jongin merindukannya.
***
Siang ini Kyungsoo bergegas menuju pintu utama kantornya untuk keluar menemui Jongin yang katanya sudah menunggu di depan. Walaupun sebenarnya ia terlalu malas untuk memastikan apa pria itu benar-benar ada disini tetapi perasaannya mendorong Kyungsoo untuk segera menemui pria itu beberapa menit setelah Jongin mengirim pesan untuknya.
Meskipun sejak awal Kyungsoo meragukan apakah Jongin memang benar-benar tahu letak kantornya, mengingat bahwa pria itu rutin membeli Cloud9 mungkin saja Jongin mengetahui alamat kantornya dari majalahnya. Oke, awalnya Kyungsoo menganggap Jongin bercanda tetapi melihat pria itu yang telah berdiri di samping mobilnya lantas tersenyum ketika Kyungsoo baru saja melewati pintu keluar, ia tertegun. Entah apa yang terjadi tetapi seluruh perhatiannya jatuh pada senyuman ramah pria itu yang seolah menyambut kedatangannya setelah sekian lama tidak bertemu.
Ketika Jongin mulai melambaikan tangannya, Kyungsoo sama sekali tidak terusik dari berdirinya saat ini. Ia terlalu terpaku pada senyuman itu, pada sambutannya, pada langkahnya yang perlahan menaiki satu persatu anak tangga hingga kini Jongin berdiri di hadapan Kyungsoo.
Jantungnya berdebar, Kyungsoo tidak pernah mengingat bagaiman aroma tubuh Jongin; seminggu ketika ia berada di bawah penanganan Jongin. Tetapi menghidu kembali aroma tubuh pria itu seolah mengembalikan memorinya yang sempat hilang lantas mengingatkannya betapa dalam waktu satu minggu itu adalah saat-saat dimana Kyungsoo sangat dekat dengan Jongin.
Selama ini Kyungsoo menyembunyikan kegundahannnya dengan bersikap acuh dan masa bodoh ketika ia telah keluar dari rumah sakit; tepatnya berpisah dengan Jongin. Tetapi siapa yang mengira bahwa di sudut hatinya menyembunyikan secercah rasa rindu akan keberadaan Jongin di sisinya. Ia terlalu kesal hingga pada akhirnya perasaan itu sedikit demi sedikit menguap dari dalam dirinya tetapi Kyungsoo masih berusaha untuk menjaga sikapnya. Setidaknya ia masih berada di dalam batasannya untuk tidak lagi jatuh pada kesalahan yang sama.
"Kau terus diam, ada apa? Terkejut melihatku baik-baik saja?" ucap Jongin namun Kyungsoo sama sekali tidak menjawabnya. Sebaliknya ia masih terpaku dengan keberadaan pria itu yang kini telah berada di hadapannya.
Jongin mendesah ringan sebelum akhirnya menyilangkan lengannya menunggu. "Jadi sekarang apa lagi yang akan kau pastikan, humm?"
"Apa?" tanya Kyungsoo dengan bingung.
"Tidak ada ya? Baiklah kalau begitu ayo kita makan siang." Tanpa izin apapun, Jongin meraih tangan Kyungsoo. Terlalu terkejut, sebaliknya Kyungsoo menahan langkahnya hingga Jongin menoleh mencari tahu apa yang terjadi.
"Makan siang denganmu?" tanya Kyungsoo kini dengan ekspresi terkejut.
Jongin terkekeh, "Hentikan memainkan ekpresimu itu, kau pikir dengan siapa lagi? Apa kau terlalu biasa makan siang dengan pria itu hingga akhirnya terkejut ketika aku mengajakmu makan siang? Atau kau takut membuat pria itu marah? Tenang saja, ini hanya makan siang bukan aksi penculikan."
"Siapa yang kau maksud? Sehun?" tanggap Kyungsoo seketika namun Jongin hanya memutar bola matanya malas. Ia menarik kembali tangan Kyungsoo untuk segera pergi akan tetap lagi-lagi wanita itu menahan dirinya untuk tak beranjak. "Biar aku mengambil mobilku dulu?"
Jongin berdecak, "Kau pikir aku sengaja datang untuk mengajakmu balapan ke restoran? Jangan bercanda Kyungsoo, ayo ikut aku!"
Kini Kyungsoo tidak ada pilihan lain lagi untuk mengelak. Pada akhirnya ia mengikuti langkah Jongin menuju letak mobilnya. Perasaannya terlalu gugup saat ini dan Kyungsoo bingung dengan dirinya sendiri yang tidak bisa lagi bersikap sama sepeti biasanya bersama Jongin. Hanya makan siang, semuanya akan baik-baik saja. Sebelumnya ia pernah makan siang bersama Jongin saat di rumah sakit jadi kenapa ia harus gugup saat ini? Kyungsoo, lupakan saja perasaan asingmu saat ini, batinnya.
***
Ini bukan lagi kali pertama Jongin duduk satu meja dengan Kyungsoo. Duduk di hadapannya dengan mata yang terpaku memerhatikan wanita itu memakan makanannya sesuap demi sesuap, seolah hal itu terlalu berharga untuk di lewatkan.
Tidak ada percakapan penting yang terjadi, mereka sama-sama menikmati makanannya masing-masing dan hanya saling tersenyum canggung ketika beradu tatapan. Lucu sekali, mereka benar-benar seperti sepajang remaja yang menjalani kencan pertama mereka. Ya, mungkin hanya Jongin yang menganggap ini kencan. Entahlah dengan Do Kyungsoo, dia bersikap terlalu biasa dalam menyambutnya.
Akhirnya Jongin memutuskan untuk menghentikan kebisuaan ini lantas berdehem hingga Kyungsoo menarik perhatiannya dari makanan yang tengah ia santap.
"Jadi bagaimana tentang projectmu itu?" tanya Jongin namun Kyungsoo hanya mengernyitkan keningnya tak mengerti. Sadar bahwa wanita itu tak mengerti dengan apa yang ditanyakan Jongin kali ini. "Maksudku tentang New York fashion week-mu itu. Kau tengah sibuk mengurusnya kan?" ulangnya.
"Oh itu," desah Kyungsoo perlahan. "Ya.. Semuanya sudah disiapkan. Besok aku akan segera berangkat."
"Kemana? New York?" tanya Jongin tenang.
"Tentu saja, kau pikir kemana lagi?" ketus Kyungsoo. Ia melirik Jongin sekilas dan saat itulah ia diam mendapati bahwa kini Jongin tengah menatapnya dengan tatapan terkejut. "Kenapa kau menatapku seperti itu?"
"Kupikir acara fashion itu masih lama," balas Jongin seraya menyembunyikan keterkejutannya saat ini. "Jadi berapa hari kau disana?"
"Bukan hari," bisik Kyungsoo perlahan membuat atensi Jongin kini lebih terpusat kepada manik mata wanita itu yang nampak serius. "Aku tidak tahu pasti.. Tapi ya mungkin selama beberapa minggu."
"Itu terlalu lama," komentar Jongin.
"Kenapa? Aku tidak masalah.. Aku ke New York menggunakan uangku sendiri bukan menggunakan uangmu."
"Bukan itu maksudku," jengah Jongin.
"Lalu apa? Kau merasa kehilanganku? Kau takut aku tak kembali sehingga kau tidak memaksaku bertemu untuk makan siang seperti ini lagi?"
Jongin menggeleng, "Bukan. Lagipula aku tidak takut. Aku pernah kehilangan dirimu selama lima tahun ini, kenapa aku harus takut karena kehilanganmu selama beberapa minggu saja?" tekan Jongin dengan tenang membuat Kyungsoo saat itu juga bungkam. "Aku hanya, maksudku yah.. Entahlah apa yang tengah aku rasakan, tetapi ini terlalu singkat ketika aku baru menemuimu lagi seperti ini."
"Aku tak mengerti," bisik Kyungsoo berusaha memalingkan wajahnya dari tatapan Jongin yang begitu intens. Jantungnya masih berdegup dengan aneh hingga saat ini dan Kyungsoo tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
"Bolehkah aku mengantarmu besok ke bandara?" pertanyaan Jongin mampu menarik perhatian Kyungsoo untuk kembali menatapnya tak percaya. "Aku bisa mengambil waktu beberapa jam besok. Ya jika kau tidak keberatan dan tidak ada yang mengantarku."
"Ada Baekhyun," bisik Kyungsoo lirih.
"Dan Sehun?" tebak Jongin.
"Tidak," balas Kyungsoo seraya menggeleng pelan secara tak langsung membuat Jongin bernapas lega saat itu juga.
Kyungsoo maupun Jongin kini mulai teridam. Jongin dengan harapan agar Kyungsoo mau mengijinkannya untuk mengantar kepergian Kyungsoo di bandara dan Kyungskk yang masih gundah memikirkan apakah ini adalah pilihan yang tepat atau salah.
Butuh waktu cukup lama mereka berpikir dalam pikirannya masing-masing. Meskipun Jongin ingin sekali bertanya untuk meminta kepastian itu. Akan tetapi ia lebih memilih mengalah. Ia hanya bisa menunggu.
"Baiklah," ucap Kyungsoo membuat Jongin seketika mendongak menatapnya. "Sekitar pukul delapan malam aku berangkat, kau bisa datang ke bandara."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro